“ Wanita akan disebut tangguh, bila mampu melewati tiap ujian dalam hidupnya”
fidia
Dari sekian banyak curhat temen wanita. Curhat inilah yang membuat saya begitu down, dan marah.Saya ikut menangis, tangan saya bergetar hebat menahan emosi. Mendengar ceritanya saja. Darah saya sudah di ubunubun.
Disaat saya menata hati dan mulai nyaman. Herannya ada saja curhat yang membuat saya terhempas dan kembali ke titik nadir. Akhirnya saya harus memotivasi diri saya kembali, supaya senyum saya kembali mengembang. Dan itu tak mudah,ibaratnya gelas saya sudah jernih, dan tiba tiba ada seekor burung, menjatuhkan kotorannya didalam gelas tersebutyang membuat air itu menjadi kotor. Sehingga saya kembali menuangkan air jernih pelan-pelan supaya kotoran tersebut hilang.
Saya tidak tahu, kenapa selalu saja begini, ada saja curhat tentang sesuatu yang saya ingin lupakan. Mungkinkah semua ini caraNYA, supaya saya belajar dan mensyukuri hidup, karena diluar sana masih banyak sekali perempuan – perempuan yang hidupnya masih terbelenggu oleh kesakitan baik fisik maupun psikis.
Berkali-kali saya berjumpa dengan ibu itu dalam sebuah kesempatan. Kami tak banyak bicara, hanya saja saya perhatikan mata itu seperti menyembunyikan suatu kesedihan dan kemarahan. Dan akhirnya dia datang kerumah dan berceritalah tentang perkawinannya. Dia tak menyangka ternyata selama ini, sahabat karib yang sudah dianggap saudara tega menusuknya dari belakang. Sahabatnya telah menjadi duri dalam daging. Sama sama sudah memiliki keluarga dan anak. Namun dengan lihainya masih bernafsu untuk merebut suaminya. Rela menjadi WIL suaminya.
“Kurang apa aku mbak fid, aku sudah kerja keras membantunya kerja, semua keinginannya juga kuturuti. Karena gajiku lebih besar. Tiap idhul fitri kakinya selalu kubasuh dan kuminum airnya mbak, sebagai tanda baktiku padanya. Tidak cukupkah dia selalu menyakiti hatiku mbak” tangisnya.
Betapa Dia sangat shock ketika suatu malam, sepulangnya bekerja. Rumah sedang sepi, anak anaknya sedangmenginap dirumah saudaranya dan jantungnya serasa berhenti berdetak takkala melihat suaminya sedang asyik masyuk menikmati lekuk tubuh sahabatnya ditempat tidur mereka. Hati siapa yang tak terbakar cemburu dan gelap mata, bila melihat belahan jiwanya melakukan perbuatan tak senonoh semacam itu.Hanya tempat tidurnya yang dia bakar sebagai pelampiasan sakit hatinya. “Jijik aku mbak, tidur di tempat tidur yang pernah mereka pakai begituan” katanya dengan badan yang gemetar menahan emosi.
Ada Kalanya dia bercerita seperti ada bisikan ingin melakukan tindakan bunuh diri dan membunuh suami dan selingkuhannya itu.
“Mbak Fid,kemaren aku pergi kesuatu tempat. Pinginnya aku terjun bebas mbak. Namun aku tersadar setelah inget wajah kedua anakku.”
Saya hanya terdiam, mencoba memahami perasaannya. Saya juga memaklumi akhirnya dia menyepi untuk menenangkan perasaannya apakah akan menuntut cerai atau memaafkan suaminya. Saya juga tak akan menyalahkannya bila dia menuntut cerai,karena ini sudah perselingkuhan yang kesekian kalinya.
Untuk apa juga terus memaafkan bila suaminya tak jua jera. Sabar boleh saja, tapi kalau kebangetan ya sudah diakhiri saja. Jangan mau di injak injak terus. Toh hidup hanya sekali bukan? Hidup butuh bahagia, bukan untuk meratap.
Setelah curhat itu,lama kami tak bertemu dan sore itu sebuah undangan tergeletak di meja. Undangan dari si ibu, “ syukuran Re married” saya terkejut. Pikiran saya berkecamuk, terbuat dari apakah hati si ibu ini? Berkali kali dikhianati masih mau menerima suaminya.Apalagi sahabatnya seperti tak berdosa melakukan hubungan itu. Rumah mereka juga bersebelahan. Sekuat kuatnya tebing bila ditempelin air tiap hari akan runtuh juga. “ Saya ingin menjadi istri sholehah mbak Fid, kasihan anak anak, mereka depresi karena masalah kami, mereka butuh figur seorang ayah,saya tak bisa mbak, biarlah saya menanggung derita” Ya Allah, haruskah menjadi seorang istri sholehah itu jalannya begitu berliku dan penuh airmata. Saya membathin.
Jujur hati saya tak terima dengan jawabannya. Sekali khianat, bisa dimaafkan. Namun bila berkali kali khianat kemudian dimaafkan akan sulit saya terima. Butuh waktu yang lumayan untuk menyembuhkan hati yang luka dan kembali percaya lagi. Hati bukan seperti komputer yang tinggal di delete atau dibersihkan dengan smadav bila terkena virus.
Lagi lagi, saya terdiam, tak mampu berkata kata lagi. Ibu itu sudah memilih, dan bukan hak saya lagi untuk merubahnya.
Semoga saja perkawinan mereka langgeng dan suaminya benar benar insyaf.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI