Mohon tunggu...
Fidia Wati
Fidia Wati Mohon Tunggu... wiraswasta -

Cerita khas emak emak http://omahfidia.blogspot.co.id

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Uang Receh Naik Tahta

4 Agustus 2014   02:54 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:30 1205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melihat anak-anak membayar pake uang dolar seplastik kecil. Hati saya serasa dihantam godam, deg! Dollar ini bukan bergambar Benjamin Franklin tapi bergambar burung kakatua raja dan ada tulisannya 100 rupiah!

Yach, 100 rupiah! Bukan dollar singapur, australi apalagi Amerika! Sayanya saja yang suka nyebut uang receh dengan uang dolaran. Hehehhe, kali aja suatu hari nanti uang receh itu berganti dengan uang dollar asli.

Satu persatu saya hitung. Pertama kali ngenes banget dibayar uang receh atau uang kertas yang sudah lusuh sekali, kadang sudah sobek sana sini,entah tangan saya sudah yang keberapa. Makanya pas hari raya gini saya seneng ketika anak-anak  bayarnya uangnya pada kenceng kenceng dan berbau harum bank, bukan yang lecek,lusuh, robek dan berbau apek.

Kembali ke uang receh. Saat memiliki banyak uang, seringkali kita abaikan uang receh. Apalagi nominal kecil 100, 200 perak, sepertinya kita nggak butuh mereka. Karena sayapun begitu, sampai saya pernah di tegur oleh almarhum abah karena sembarangan menaruh uang receh. “ Nduk, simpan yang baik uang recehnya nak, saat kamu tak punya uang,uang ini akan sangat berguna sekali buatmu. Abah sama mamamu pernah mengalaminya. Saat tak punya uang, kami mencari kemana-mana, buka laci, bawah kasur, saku, dan lipatan baju. Sayangnya kami tak menemukan 100 perakpun” kata beliau.

Saya hanya terdiam tapi belum ngeh,maklumlah saya dan suami masih bekerja, dengan gaji yang menyenangkan menurut kami. Supaya Abah tak gelo saya kumpulin saja uang receh tersebut. Lumayan! Pas pulang kampung bisa dibagikan ke anak-anak yang mencari uang receh pas di kapal. Kita lempar uang ke laut kemudian anak-anak pada rebutan menyelam siapa cepat dia dapat. Disatu sisi saya kasihan juga lihatnya, kenapa tak diberi saja mereka uangnya langsung. Namun disisi lain, mungkin mereka tak mau menjadi pengemis,yan gampangnya mendapatkan uang hanya dengan menengadahkan tangan saja, sehingga jalan itulah yang mereka pilih. Memberikan sedikit hiburan, sebagai gantinya kita melemparkan uang koin ke mereka.

Roda kehidupan berputar, saya tak pernah berpikir akan kembali ke tempat kota asal. Boro-boro berpikir, ngebayangin aja ogah. Sudah keburu nyaman di perantauan dengan pekerjaan, pertemanan dan segala fasilitas yang kami miliki.

Disini, kami memulai hidup dari nol lagi, tanpa tabungan dan kenyamanan-kenyamanan lainnya.

Akhirnya saya mengerti nasehat abah dulu.Betapa berharganya uang receh, buktinya disini uang itu masih di gunakan. Bagi orang yang banyak uang, uang itu tak ada nilainya. Tapi disini anak-anak banyak memakainya, untuk membayar kesenangan mereka berselancar di dunia maya dan bermain game online.

Dari uang recehlah, dapur kami bisa mengepul, juga bisa bayar uang sekolah Key. Sekarang saya tak pernah menyia-nyiakannya lagi. Tak peduli pecahan 100,200,500 dollar saya kumpulin. Apalagi yang 1000 dolar. Wuich senengnya minta ampun. Pecahan 1000 dolar sudah punya tempat tersendiri. Saya sudah punya rencana, mau beli emas nanti kalau celengannya sudah banyak.

Ya sudah, ayo berlomba sama saya ngumpulin duit dolar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun