Mei, kuceritakan padamu
Biar tapak-tapak kaki kita
Kembali mengisi setiap bagian-bagian rumpang
Pada jalan yang tak lagi sejalan, sekalipunÂ
Mei, kuceritakan padamu
Biar saja jika langit temaram kala itu
Kita sederhanakan dengan sebuah langkah yang diawali aku diakhiri dengan kau
Mei, bisa saja ia mundur pada setiap rencana yang sudah ia lingkari dengan pena merah miliknya
Mei, ia memberi lelucon bahwa ia tak ingin ikut berperan pada rencananya
Jelas saja, hafal
Jika satu ia beri tanda seru
Jika dua ia beri gelombang pada dahinya yang sama sekali tak ada badai yang sedang bergeloraÂ
Ia hanya sedang bermain peran pada leluconnya pagi itu
Mei, sama-sama lupa dikatakan sinkronisasi
Dikatakan tetap berkomunikasi untuk sinkronisasi
Adu pandang, tertawa bersama yang dilakukanÂ
Mei, kuceritakan padamu
Kala senja di pelupuk matanya ingin pamit untuk pergi
Kita masih saja bergurau
Duduk bersanding
Menunggu waktunya pulang
Mei, monokrom hitam putih itu memanggil kita untuk kembali
Namun, tak ada lagi yang menunggu didepan pintu itu
Sudah pamit terlebih dahuluÂ
Kau dengan anganmu
Sedangkan aku yang sibuk menenun waktu untuk kembali merangkai angan itu agar tak lupa
Mei, kita berperan hanya sekali, tidak terjadi lagi untuk kedua kali
Biar saja, monokrom itu yang berdiskusi perihal kenangannya yang perlahan menjadi debu
Mei, kita pernah ada setelah pada akhirnya tiada
Mei, kita pernah bersama berlari setelah pada akhirnya berjalan sejauh ini tanpa kita lagi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H