Virus corona semakin merebak di berbagai negara termasuk Indonesia. Kasus semakin bertambah diiringi dengan jumlah kesembuhan pasien. Untuk menyikapi keadaan ini, maka pemerintah resmi melarang pelaksanaan mudik menjelang Hari Raya Lebaran tahun 2020 dengan maksud untuk mencegah penyebaran virus ke berbagai daerah. Perintah larangan disampaikan langsung oleh Presiden Joko Widodo dan diwujudkan oleh Kementerian Perhubungan dalam bentuk Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Musim Mudik Idul Fitri 1441 Hijriah dalam rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) .
Tentunya hal ini memicu berbagai polemik diberbagai kalangan sehingga banyak wadah diskusi yang dibuka untuk membahas tentang permasalahan ini, salah satunya diskusi online oleh Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Fiat Justicia dari Universitas Negeri Semarang (UNNES) melalui salah satu aplikasi teleconference (Selasa, 5/9/2020). Diskusi online ini menghadirkan tiga narasumber dari bidang hukum, medis, dan perhubungan yaitu C. Dr. Theodorus Yosep Parera, S.H., M.H. , dr. Agustiawan, dan Syukron Wahyudi.
Diskusi diawali dengan pemaparan oleh C. Dr. Theodorus Yosep Parera, S.H., M.H. yang mengatakan bahwa larangan mudik menjadi polemik dikarenakan peraturan yang dibuat pemerintah "simpang-siur".  Aturan telah  dibuat namun pelaksanaannya tiap daerah berbeda sehingga menimbulkan banyak tanda tanya dan ketidakpastian di masyarakat. PSBB dan larangan mudik memang dapat diterapkan apabila dari pemerintah sendiri sudah memberikan dan mencukupi segala kebutuhan pokok masyarakat dan hewan ternak yang dimilikinya serta mengikuti segala aturan yang ada dalam UU Karantina.
"Larangan mudik yang dilakukan pemerintah kepada masyarakat sebenarnya cacat secara hukum karena orang-orang yang diberlakukan PSBB banyak yang dirumahkan dari pekerjaan sedangkan pemerintah belum bisa memenuhi kebutuhan pokok mereka. Ditambah lagi mereka tidak boleh ke daerah asalnya untuk memenuhi kebutuhan hidup", ungkap C. Dr. Theodorus Yosep Parera, S.H., M.H. Belum lagi akhir-akhir ini, semakin banyak travel illegal yang berlalu-lalang dan diberikan sanksi padahal seharusnya tidak dapat diterapkan sanksi karena ini adalah bukti dari kelalaian pemerintah dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya sehingga beberapa dari mereka harus terpaksa untuk pulang dan menjalankan bisnisnya. Kemudian pendiri dari Rumah Pancasila dan Klinik Hukum ini menuturkan bahwa pemerintah pusat dan daerah diharapkan untuk bekerja sama terutama dalam memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, memberikan informasi penting tentang kesehatan dan menjaga jarak antar masyarakat. C. Dr. Theodorus Yosep Parera, S.H., M.H. berharap bahwa kedepannya ada pejabat yang mempunyai kelebihan dapat menjual sebagian dari hartanya untuk membantu rakyatnya.
Syukron Wahyudi selaku Commercial Manager PO Bus Efisiensi Kebumen pun sependapat dengan ungkapan  C. Dr. Theodorus Yosep Parera, S.H., M.H. mengenai ketidaktegasan pemerintah dalam menetapkan larangan mudik. Menurutnya, larangan mudik berdampak langsung pada pengusaha biro perjalanan. Dimulai dari pukulan pertama yaitu penutupan obyek wisata dan pembatalan mudik bersama dari berbagai instansi (perusahaan dan Permenhub) dan dilanjutkan dengan pelarangan mudik secara besar-besaran. Pemerintah memang telah memberikan kelonggaran untuk melakukan perjalanan bagi beberapa unit, namun perjalanan yang diperbolehkan hanya untuk keperluan dinas dan bisnis, pasien medis, hal mendesak untuk pulang kampung, dan pemulangan WNI. Menurut para pengusaha biro perjalanan terutama PO Bus, kebijakan tersebut tidak memberi dampak langsung sehingga dikhawatirkan akan terjadi skenario PHK secara besar-besaran dalam usaha auto-bus bila kasus pandemi belum berkurang. Syukron Wahyudi sangat menyayangkan kebijakan tersebut dan berharap agar pemerintah segera memberikan bantuan dan memperhatikan para supir bis beserta awaknya yang sangat bergantung pada keadaan arus mudik tahun ini.
Di sisi lain menurut dr. Agustiawan sebagai Ketua Ketua HEP Indonesia, kita harus menekankan pemahaman di seluruh aspek masyarakat dan bukan menyalahkan pemerintah, dokter, atau yang mudik untuk mengatasi berbagai permasalahan yang timbul. Dapat dimulai dari pemahaman pemerintah mengenai aturannya dimana aturan yang diberlakukan harus jelas dan pemberian pemahaman.pemudik mengenai pencegahannya dan bahaya dari Covid-19 sehingga semuanya dapat berjalan beriringan. Jikalau pun nantinya diperkenankan untuk mudik, setidaknya masyarakat harus memperhatikan beberapa syarat seperti yang diungkapkan oleh dr. Agustiawan, "tidak berasal dari/akan ke zona merah, tetap terapkan physical distancing, mengisolasi mandiri dikampung halaman selama 7-14 hari, menerapkan rekomendasi WHO untuk selalu mencuci tangan dan menghindari menyentuh area wajah, segera hubungi medis jika mengalami gejala covid-19 dan jujur tentang keadaan yang dirasakan". Seperti yang diketahui bahwa virus ini bermutasi sehingga mudah untuk tertular kembali ataupun tertular namun tanpa gejala. Maka dari itu, dari pihak medis sebenarnya menyarankan untuk menunda mudik sembari menunggu redanya virus corona.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa ketika kebijakan larangan mudik dilaksanakan, syarat wajib yang harus dilakukan negara adalah menyediakan makanan-minuman dan menjamin kebutuhan bagi orang-orang yang dilarang mudik serta hewan ternak yang dipelihara. Nyatanya, saat ini pemerintah belum bisa memenuhi kebutuhan mereka. Terkait orang-orang yang menurut peraturan diperbolehkan mudik, setidaknya mereka harus tetap melaksanakan protokol kesehatan selama perjalanan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H