BARU-BARU ini saya baru saja ngalor-ngidul-genjer-kangkung-eceng-gondok di sebuah warung kopi sachet pinggir jalan, yang sepi meski di tengah jalanan macet; bersama seorang teman lama masa kuliah pengagum kata (atau ide) revolusi. Dengan polos, dia berpendapat bahwa bila dalam sebuah pemilihan, persentase Abstain lebih dominan, kenapa bukan Abstain yang duduk di pemerintahan?
Saya garuk-garuk kepala. Mungkin, gerak tubuh saya itu membuat dia berasumsi kalau pemikirannya tersebut tidak tercerna oleh pikiran saya; atau, mungkin menurut dia, berbau revolusioner. “Harusnya, Abstain yang menang dong? Iya kan? Aneh kan?” Tambahnya bangga, entah bangga karena apa.
Sambil menyambut kopi yang baru tersaji, dan menyeruputnya beberapa mililiter, plus menghisap rokok beberapa detik, saya bertanya: “Memang, sejak kapan ada Partai Abstain yang daftar ke KPU? Lalu, kelompok Abstain ini, apa punya struktur organisasi yang cukup matang untuk bisa mengorganisir negara? Apa mereka punya sebuah perencanaan matang untuk menerima mandat sebuah bangsa, business plan skala kebangsaan yang lengkap di setiap sektor kehidupan negara ini nantinya?”
Mendengar pertanyaan balik dari saya tersebut, dia tertegun sejenak.
Karena after-taste kopi sachet 'dua-ribu-perak-dapet-tiga' yang dia seruput sudah keburu menjalar ke seluruh rongga rahang-nya, dia kemudian mengajukan lagi sebuah argumen a'la warung kopi. Bersikeras bahwa, inti demokrasi adalah suara terbanyak, voting. Sehingga, bilamana jumlah yang Abstain lebih banyak daripada jumlah yang non-Abstain, maka sudah semestinya pihak Abstain yang menang, atau menurut bahasa dia “Revolusi” yang menang.
Lalu, saya garuk-garuk lubang kuping sebelah kanan. Dengan jari kelingking tangan kanan.
Karena saya lihat isi gelas kopi masih cukup untuk mengajukan beberapa negasi. Saya kembali timpali argumen teman saya tersebut dengan pertanyaan berikut: “Menurut kamu, dengan tidak memilih di pemilu, apakah seseorang tersebut sudah memenuhi kriteria demokratis? Kemudian, dengan Abstain, apa sih esensi yang mau ditawarin? Diem menghindari penderitaan tanggung jawab hidup? Banci banget sih.. Abstain itu, sikap 'cuci tangan'. Tidak mau ikut tanggung jawab, walaupun sebetulnya punya mandat untuk bertanggung jawab.”
“Lah? Lalu kenapa Abstain masuk hitungan, hayoh?” Timpal teman saya, dengan raut muka yang masih yakin bahwa “jumlah abstain” memiliki “bobot”. Kemudian dia tambahi lagi: “Banyak orang Abstain, karena kita sudah muak sama aksi korupsi para politikus di atas sana, brow!!!” Tegasnya.
Lalu saya tanya lagi: “Jadi, dengan Abstain, kalian berfikir bisa menghentikan korupsi? Angka Abstain itu tidak punya bobot. Nihil. Ibarat nol dikali satu milyar, ya tetep aja nol. Lagipun, apaan korelasi logis antara Abstain dengan pemberantasan korupsi.. Sama kayak, kalian mau distribusi narkoba berhenti, tapi setiap melihat tersangka pengguna atau penjual narkoba, kalian masuk ke rumah & diam. Imbang nggak tuh analogi-nya?“
“Ya beda dong. Lagipula, narkoba itu sindikat kelas berat, brow!! Kecuali, kalau masyarakat mendirikan ormas, baru kita bisa ambil tindakan!! Ngerti nggak sih, lu?!” sahutnya dengan penuh keakraban, sambil meraih kuping gelas kopi di depannya.
“Tindakan gimana sih? Tinggal SMS Polsek aja, ribet banget. Ormas? Jadi ormas lu mau bawa-bawa pentungan, ngejar-ngejar orang yang kalian ‘pikir’ jual narkoba? Gimana kalo orang yang kalian kejar sebenarnya agen polisi yang lagi nyamar untuk masuk ke jaringan narkoba?” Timpal saya yang merasa tergelitik dengan ide ormas sang pengagum revolusi itu.
“Gimana kalo memang bandar narkoba?” Sahutnya dengan antusias. “Perlu bukti, lah! Makanya ada perangkat, aparat & proses hukum, bukan?” Sambut saya sambil menyeruput kopi lagi. “Ya ormas gue tinggal bawa itu orang ke pengadilan. Gampang kan?!” Timpal dia dengan semakin antusias.
“Ormas lu ini bawa si ‘tersangka’ ke pengadilan. Memang ormas lu punya surat perintah pengadilan buat nahan orang itu? Tapi kalo gue jadi orang tersebut, gue tinggal bilang ke pengacara gue untuk tuntut balik ormas lu. Karena selain merusak nama baik gue, juga tidak menghormati proses hukum & tata negara alias makar, lalu gue juga balik menuntut setiap anggota ormas lu yang terlibat, untuk diperiksa dengan tuduhan memanipulasi barang bukti, alias dengan sengaja menaruh setiap narkoba di waktu ‘penculikan’ gue. Atau dengan kata lain, gue bisa & diperbolehkan untuk menuduh balik ormas lu yang justru mengkambing-hitam-kan gue untuk menutupi aktivitas pengadaan narkoba di dalam organisasi kalian? Karena basis kalian simpel, cuma tuduhan. Gue punya hak yang setara sama ormas lu, kalo ormas lu bisa nuduh gue, ya gue juga bisa nuduh ormas lu. Lu tau hukum bukan cuma keadilan vonis, tapi juga hak.”
Balas saya, sambil memeriksa HP yang menerima sebuah pesan promosi apartemen, tidak jelas asal-usul apalagi wujud produk yang ditawarkan. Sebetulnya SMS tersebut sudah terkesan pekerjaan orang yang sporadis dan tidak lagi perduli etika. Tapi mengingat statistik biaya hidup yang sudah jauh di atas pendapatan per-kapita. Saya akhirnya maklum.
Teman saya terdiam. Menatap saya dengan keheranan. Lalu dia berguman: “Lu ini sebetulnya ngerti realita nggak sih? Kayaknya lu ini pro status-quo, percaya banget sama orang-orang di balik seragam hukum itu ya? Lu nggak lihat apa? Berapa banyak opsir polisi yang ketahuan nyabu, hakim & anggota parpol di setiap jenis partai ada aja yang korup, belom lagi ambruk-nya moral & mental generasi kita sekarang.. pelacuran udah sampe ke anak SMP. This country is so fucked up, man!!” Sambil mengangkat gelas kopi berkuping tadi untuk diseruput lagi.
“This whole world was already fucked up since the sixth day, man!! Deal with it by becoming a useful person to your society!! Gue juga nggak percaya sama orang-orang partai manapun, karena gue nggak kenal mereka secara personal, tapi gue bisa percaya mereka kalau ideologi yang dianut partai itu menguntungkan gue, orang-orang yang gue sayangi, orang-orang yang gue kenal; semisal lu dan adik cewek bontot lu.. hehehe; dan yang terutama, menguntungkan negara gue, NKRI; tanpa merugikan pihak pemilih partai lain.” Timpal saya, sambil berfikir darimanakah para sales apartemen tersebut bisa mengetahui nomor HP saya, sehingga bisa dengan seenaknya menjadikan area pribadi saya ini jadi wilayah cari makan mereka, tanpa se-izin saya?!
“Oh ya? Ah, polos bangat sih lu? Hahahaha..” Ujar dia, tapi dengan sedikit intonasi serius dalam tatapannya. “Partai apa tuh, kalo boleh tahu?” tambahnya, dengan sedikit kadar penasaran.
“Apa aja sih, asal punya nukleus Pancasila yang kuat. Plus, tidak pake politikus seleb.. entah itu selebriti tulen, atau yang keseringan nongol-mbacot di TV. Gue nggak suka sama orang-orang yang candu cari sorotan publik berkepanjangan. Cenderung punya gangguan mental, minimal narsistik kronis.. coba aja test psikologi-nya.” Sahut saya, sambil memblokir nomor pengirim sms promosi apartement tersebut.
“Lu kuliah kan waktu jaman reformasi? Lu ikut aksi reformasi nggak sih waktu itu? Gue ikut, dan nggak lihat lu di rombongan kita..” Tanya teman saya ini lagi, yang sepintas saya sadari sedang menyiapkan argumen semi-ad hominem.
“Oh, gue kuliah lah waktu itu. Sambil nyambi jadi tukang servis komputer, dan jadi tukang terjemahin buku-buku akademik bahasa inggris anak-anak fakultas kedokteran yang waktu itu rata-rata gagap bahasa inggris, karena gaji nyokap gue yang cuma guru SD nggak cukup buat dibagi sebagai uang saku gue selama kuliah dan biaya sekolah dua adek gue. Biasalah, anak sulung musti berani ngalah. Sementara, kalo gue ngikut ke Jakarta cuma dikasih nasi bungkus. Emang kenapa, brow?” Saya balik bertanya, sambil melahap goreng pisang yang sudah dingin tapi saya cocol ke dalam kopi yang masih relatif hangat.
“Nggak kenapa-napa sih..” Sahutnya, singkat dengan sedikit aura sungkan.
“Kalo lu pikir, karena kondisi itu tadi gue nggak ngerti apa-apa soal revolusi. Lu salah deh.. Hahaha.” Tandas saya dengan santai.
“Gue pengen kok ikut. Tapi gue lihat prioritas dulu. Gue tau bener, kalaupun gue ikut, itu nggak akan langsung mengubah garis hidup nyokap gue & gue. Meskipun waktu itu, gue berharap sebaliknya. Terbukti juga, toh kondisi ‘rakyat kecil’ yang coba kita suarakan begitu-begitu aja kan? Paling yang nambah, jumlah stasiun TV. Artinya, makin banyak lah sumber propaganda mental cengeng & melodrama via sinetron-sinetron yang jelas-jelas menyebarkan sindrom Cinderella ke kaum perempuan, plus mental konsumtif via iklan. Sementara di jaman orde baru, taktik kuno a.k.a membombardir masyarakat dengan lagu-lagu cengeng & lugu; dari radio ampe TV semata wayang. Itu doang.” Sahut saya sambil menyeruput kopi lagi.
Lalu sambil menghisap rokok kreteknya, dia bertanya: “Menurut lu, apakah hidup di masa Orde Baru lebih baik dibanding pasca reformasi?” Tanya dia lagi dengan penuh minat.
“Jujur, gue pikir dari label ‘reformasi’ aja, gue tahu faedahnya nggak ada beda dengan format ulang hard-drive komputer, atau reset ulang HP. Yang berubah cuma kandungan data, semua struktur sistem OS sama saja dengan yang lama. Secara harfiah, reformasi ya memang berarti format ulang. Reformasi ibarat strategi untuk mengganti orang-orang di sistem yang lama, tapi dengan lugu kita berharap ada perubahan. Pengen naekin produksi, tapi kapasitas mesin produksi mentok segitu-gitu aja.” Sahut saya sambil melihat isi gelas kopi yang tinggal seperlima gelas lagi.
“Maksud lu, apa tuh konkritnya?” Tanya teman saya, yang sebetulnya sudah tahu jawabannya.
“Ya kalo balik ke pertanyaan lo sebelum yang tadi, gue nggak bisa bandingkan. Karena sistem yang kita pake, masih itu-itu juga. Gue bicara soal update OS, bukan ganti OS.” Sahut saya sambil tersenyum ke teman yang berharap wacana ngalor-ngidul ini akan bergeser ke tema favoritnya; yakni, revolusi.
“Konkrit ajalah, lu juga pengen ada revolusi kan?” Bujuk dia, sambil memanggil penjaga warkop, mengisyaratkan isi ulang gelas kopi kami berdua. “Lu bloon apa nggak ngerti analogi sih?” Sahut saya sambil tertawa sedikit heran.
Lalu saya lanjut, “ganti OS itu namanya revolusi, update OS berarti adaptasi. Kenapa gue pilih update OS? Karena resources kita masih sangat mumpuni buat bersatu sebagai NKRI. Mau itu resource dalam hal struktur masyarakatnya, material, maupun potensi-nya. Kalo misalnya, setiap provinsi di NKRI udah nggak membutuhkan lagi satu sama lain, besar kemungkinan revolusi terjadi. Tapi buat apa? RAPBN nggak diukur dari besar kecil-nya wilayah negara, tapi besaran potensi ekonomi-nya. Taruh lah, muncul Negara Jakarta, Negara Jawa Barat, Negara Jawa Tengah, dst. Berapa banyak duit yang masing-masing negara cilik ini butuhkan buat melengkapi properti kenegaraan yang baru?"
Saya ambil jeda untuk menghisap lagi rokok di tangan. "Misal, buat membangun satuan perang masing-masing negara ajalah dulu. Belum jaringan intelijen. Belum lagi, persiapan sistem moneter, rancang mata uang, keamanan pangan, kesehatan, pendidikan, segala macem. Darimana duit itu nanti-nya? Pinjem? Pinjem siapa? Pinjem dari bokap lu? Hahahaha.. ayolah, dewasa sedikit. Bikin negara modal utang? Seriously?!”
“Revolusi memang indah, kalau revolusi itu makhluk raksasa penurut yang mau membereskan sendiri reruntuhan akibat kemunculan-nya di negeri ini dalam satu malam. Tapi kalo cuma buat bikin acara capek-capek sampe anak cucu, nanti dulu. Ngapain lu harus beli hardware komputer yang baru, atau beli HP baru, cuma buat ganti OS? Sementara kualitas & beban kerja lu masih begitu-begitu aja.. Prestis? Keren? Persetan sama prestis kalo ujungnya banyak utang & susu anak masih cari yang diskonan... iya kan?”
“Ah, elu.. anti banget sama revolusi.. justru lu yang takut perubahan kali..” Tantang teman saya.
“Perubahan? Ke arah mana dulu? Soal generasi pelacur, ini berkaitan sama kualitas pendidikan dari dalem rumah. Watak anak itu dibentuk orang tua, kalo kelakuan si anak berengsek, besar kemungkinan belajar dari orang tua-nya. Itu sih udah hukum ilmiah.." Ujar saya sambil mencari tissue untuk membersihkan tangan yang agak berlumuran minyak goreng curah dari pisang goreng tadi.
"Buset, konservatif banget sih cara mikir lu.. Maksud lu, ungkapan bibit-bebet-bobot itu masih berlaku jaman sekarang? Gila lu.. Orang bisa aja berubah, brow!!" Tukas dia sambil mengambilkan gulungan tissue toilet yang di-improvisasi menjadi tissue meja warung kopi.
"Orang berubah, kalo dia sendiri yang mau. Bukan karena permintaan orang lain.. Lagi, kita ini di Asia, brow.. kalo kita nikah, udah pasti nikahin sekeluarga pasangan kita. Ampe modar kita terkait terus. Jangan bilang tabiat mertua cewek lo yang bawel & matre itu kagak turun ke bini lu sekarang, walaupun dulu waktu pacaran dia pendiem, penurut dan nrimo-nrimo aja. Ngaku.. Dulu gue udah bilang, kalo mau serius ama cewek, lu lihat dulu nyokap-nya. Begitulah dia entar pas tua.." Timpal saya sambil meluruskan tulang belakang.
"Sialan lu ah, gue ngajak lu ngopi biar kagak perlu dengerin mereka lama-lama pas pulang ntar, brow!! Kagak ada pengertian banget sih.." Keluh teman saya ini.
"Hahahaha... Sori-sori. Jujur aja, gue masih nggak ngerti kenapa guru yang punya standard disiplin tinggi malah diseret ke kantor polisi karena jalanin tugas-nya. Kalo anak gue males ngerjain PR, terus dijitak sama guru-nya.. besoknya gue bakal titip batang rotan ke guru tersebut buat kasih tau konsekuensi rasa malas ke anak gue bila masih ulangi tabiat-nya. Daripada nanti anak gue modar dipukulin realita karena nggak tau tanggung jawab sosial." Saya coba mengembalikan ritme ngalor-ngidul ke trek awal.
"Lha ini? Muncul generasi orang tua yang cengeng ala sinetron, seenak jidat salahin sekolahan & negara. Segala agama dibawa-bawa. Agama cuma bisa memanusiakan manusia, lu ceramahin sapi biar pake baju, sampe kiamat juga nggak akan didenger itu sapi.. iya kan? Manusia manja, mana perduli sama empati & moral?” Tambah saya, yang melihat kedua alis di wajahnya semakin mengkerut.
“Adeuhhh.... pusing dah ah. Jadi, lu pilih siapa pemilu ntar?” Tanya dia dengan intonasi menandakan antiklimaks dini wacana obrolan soal revolusi.
“Siapa aja yang punya nyali sebesar nyali Marthin Luther King Jr., yang bisa mengakhiri masa segregasi setelah ribuan tahun. Tapi di depan muka-muka pemimpin asing.” Sahut saya. “Gue udah muak, kita ini dipaksa ikut globalisasi, tapi dipecundangi via nilai tukar mata uang & rentenir kerah putih bernama investasi asing. Bullshit banget.. Subsidi dicabutin satu-satu, daya beli masyarakat jadi segitu-gitu aja terus, akhirnya investasi asing bisa diputer di sini. Nggak nerima investasi dari luar juga, negara kita punya banyak uang buat dikelola. Buktinya uang negara yang dikorupsi kok bisa nggak habis-habis..” Tambah saya dengan ringan.
“Martin Luther King itu revolusioner, brow!! Lu munafik ah.. " Tukas teman saya ini sambil mata berbinar.
"Revolusioner apaan? Dia cuma menuntut amandemen di AS ditegakkin, se-relevan mungkin. Ibarat orang yang minta UUD 45 diimplementasikan atau dipertanyakan implementasi-nya sejauh ini. Siapa yang bilang gue ini malaikat? Emang gue kadang munafik sih kalo lihat adek cewek lo yang bontot itu.. Hehehe.. Eh, berapa sih nomer HP-nya, brow?" Saya coba mengkoreksi teman saya.
"Sontoloyooo.. Lu kira gue rela adek gue digauli orang sinting macem lu? Hahaha... Nah, terus, kalo partai & sosok yang mau tadi nggak ada? Abstain kan?” Bujuknya, masih bersikeras.
“Gue percaya pilihan, bro. Gue bukan manusia abu-abu. Manusia abu-abu biasanya oportunis berlidah ular. Yang dipikirin cuma enak-nya sendiri, cari aman pantat sendiri. Mungkin, di benak mereka, abu-abu itu pilihan, tapi yang gue tahu.. Orang dilabeli jahat, bukan karena melakukan yang salah, seolah salah itu esensi-nya nyata.. tapi karena tidak melakukan yang semestinya, nggak punya konsistensi, alias meniadakan setiap esensi kebaikan dalam pilihannya yang ‘abu-abu’ itu. Baik dan buruk, ya lu takar aja dari akibatnya nanti ke orang-orang di sekitar lu dan generasi mendatang..”
“Buset?! Ampe sigitu-nya, bro? Emang apa hubungannya pilihan gue sekarang ke generasi mendatang? Kejauhan lo mikirnya!! Hiduplah hanya untuk hari ini...” Ujar teman saya mencoba memperluas ngalor-ngidul menjadi bayam-kangkung.
“Lu yang kependekan kali nalarnya. Lu kira dunia ini dibikin buat nampung isi MCK & jadi kuburan lu doang? Enak aja... Kita ngatasi kasus boraks sama jajanan berformalin aja masih loyo, karena masih banyak orang yang pilih ‘abu-abu’ demi disebut suskes secara ekonomi. Modal sekecil mungkin, laba setinggi langit. Prinsip ekonomi primitif. Orang di luaran negeri sana udah mikirin kelangsungan hidup bumi, udah ngitung & mencoba melestarikan harimau sumatera, konservasi ikan tuna dan populasi pohon biar keseimbangan ekosistem terjaga.. Lu bicara revolusi? Kejauhan, jangankan revolusi atau evolusi, coba utak-atik biologi SMP ajalah dulu.” Sahut saya sambil nyengir mengejek.
“Jadi maksud ceramah lu apaan? Gue tanya lu pilih siapa, lo nggak jawab.. kalo nggak ada pilihan yang sreg, lo juga nggak jawab..” Tukas teman saya, sedikit geram.
“Justru lu yang bloon, bro.. Hahahaha.. lha kampanye aja belum jalan. Gimana sih? Gue mau jagoin siapa, belom jelas kan? Udah ah, cabs ajalah kita, cuy. Udah nggak begitu macet juga. Begah nih perut diisi mulu sama kopi bergula-gila begini.” Ajak saya untuk menetralisir rasa geram teman saya yang sudah kehabisan argumen.
“Brengsek lu, bisa aja nutup obrolan.. ya ayo dah!! Eh, bentar. Jadi berapa semua, Bu?!” sahut dia sambil tertawa, sadar kalau kekalahan dia dalam debat bergenjer-kangkung-eceng-gondok-genjer-bayam-kangkung tadi mengharuskan dia yang membayar kopi perdebatan kali ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H