Mohon tunggu...
Arfidel Ilham
Arfidel Ilham Mohon Tunggu... Administrasi - Arfidel Ilham

Koresponden Koran Lokal

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Keseharian Petani Sumatera Barat yang Bertaruh Nyawa pada Titian Sungai

28 Februari 2018   14:08 Diperbarui: 28 Februari 2018   20:04 9360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Menyeberangi sungai dengan seutas tali sling menjadi perjuangan berat petani di Jorong Lompek, Nagari Halaban, Kecamatan Lareh Sago Halaban, Sumatera Barat setiap hari. Tidak ada pilihan lain, risiko terjatuh dan hanyut terbawa arus sungai menjadi bahaya yang selalu mengintai.

Gemuruh air di sela-sela bebatuan berukuran besar di dalam aliran sungai Batang Sinama, membuat bulu kuduk bergidik. Betapa tidak, arus sungai yang deras siap mengahanyutkan apa saja.

Sementara petani di daerah yang berada di sudut paling selatan Kabupaten Limapuluh Kota itu, seakan tak berpikir panjang soal risiko yang dihadapinya saat melintas di atas tali sling sebagai jembatan.

Ukuran tali yang lebih kecil dari telapak kaki menjadi pijakan sepanjang bentangan sungai dengan lebar aliran sekitar 70 meter tersebut. Pengamanya hanya rajutan kawat yang ukurannya lebih kecil dari jari kelingking orang dewasa sebagai pegangan.

Sementara tali sling berdiameter satu inci tersebut, diikatkan pada batu besar dan kayu di kedua sisi sungai. jauh dari standar keamanan petani tak punya pilihan lain selain berharap agar jembatan permanen yang lebih representatif segera dibangun.

Di bawah jembatan tali atau yang biasa disebut warga setempat dengan nama titian penyeberangan tersebut, terdapat aliran Sungai Batang Sinama yang arusnya cukup deras lengkap dengan batu-batu besarnya. Jarak tali sling kepermukaan air berjarak sekitar belasan meter.

Artinya jika sempat terjatuh ke aliran sungai, dipastikan akan hanyut terbawa arus atau jika terjatuh ke atas bebatuan, rasanya akan sulit selamat akibat terempas dari ketinggian jembatan hingga belasan meter itu.

Namun petani tak punya pilihan lain untuk menyeberangi sungai menuju perkebunan karet dan gambir mereka. Permukiman penduduk dengan lahan perkebunan di Bukit Cubadak harus dicapai dengan menyeberangi sungai.

Sehingga setiap hari petani harus melintasinya untuk pergi dan pulang dari berkebun. Tidak peduli perempuan ataupun orang tua, semua yang ingin kekebun harus meniti tali menyeberangi sungai.

"Mambao pupuak ka ladang harus dijujuang manyubarang nak (jika harus memupuk tanaman karet atau gambir, ya harus dipikul di atas kepala sembari menyeberangi titian jembatan)," ungkap Khairuzal Datuak Tunggang (69), petani pemilik kebun karet di Bukik Cubadak, Jorong Lompek, Rabu (21/2) siang.

Tidak satu dua petani yang menggunakan jembatan tersebut, sebab hampir sebagian besar petani di Jorong Lompek memiliki perkebunan di Bukik Cubadak. Bukik Cubadak menjadi lahan utama perkebunan warga di daerah penghasil karet Lareh Sago Halaban.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun