Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena kos-kosan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan banyak generasi muda, terutama Gen Z. Baik untuk tujuan pendidikan, pekerjaan, atau sekadar mencari kemandirian, tinggal di kos-kosan menawarkan banyak keuntungan.Â
Namun, di balik kemudahan dan kebebasan yang ditawarkan, ada dampak yang tidak bisa diabaikan, yakni ancaman terhadap kesehatan fisik dan mental penghuni kos, terutama bagi mereka yang baru beradaptasi dengan lingkungan tersebut.
Salah satu aspek yang paling terasa adalah dampak terhadap kesehatan mental. Tinggal jauh dari keluarga dan teman, tanpa dukungan sosial yang memadai, dapat menyebabkan rasa kesepian yang mendalam.Â
Gen Z, yang dikenal dengan kecenderungannya untuk lebih terbuka dalam membicarakan kesehatan mental, sering kali menghadapi perasaan cemas, terisolasi, atau bahkan depresi di kos-kosan. Kehidupan yang serba mandiri, tanpa teman serumah yang bisa diajak berbicara atau berbagi masalah, membuat mereka semakin terjebak dalam rasa sepi. Â
Menurut saya, banyak Gen Z yang sebenarnya merasa malu untuk mengakui kesepian mereka karena takut dianggap lemah. Ini menunjukkan bahwa meskipun generasi ini lebih terbuka terhadap isu kesehatan mental, stigma sosial masih menjadi hambatan besar. Sebagai seseorang yang pernah tinggal di kos-kosan, saya sering merasa terisolasi karena tidak adanya ruang bersama untuk berinteraksi dengan penghuni lain. Kos-kosan terasa seperti tempat transit saja, bukan rumah yang hangat.
Tidak hanya kesehatan mental, kesehatan fisik penghuni kos juga terancam. Salah satu masalah utama adalah kurangnya aktivitas fisik. Kos-kosan sering kali memiliki fasilitas terbatas, dan penghuninya cenderung lebih memilih untuk menghabiskan waktu di depan layar, baik untuk belajar, bekerja, atau sekadar bersantai. Aktivitas fisik yang terbatas ini, ditambah dengan pola makan yang sering kali tidak sehat karena keterbatasan waktu dan akses ke bahan makanan bergizi, dapat berdampak buruk pada tubuh. Â
Saya rasa, kurangnya fasilitas di kos-kosan sering kali diabaikan oleh pemilik kos, padahal penghuni membayar cukup mahal. Jika fasilitas olahraga atau ruang terbuka disediakan, mungkin gaya hidup penghuni bisa lebih aktif.Â
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), gaya hidup sedentari atau kurang aktif berkontribusi pada peningkatan risiko penyakit kronis, yang sering dialami oleh penghuni kos yang terlalu sering duduk di depan layar.
Beberapa orang mungkin berpendapat bahwa hidup di kos-kosan justru melatih kemandirian. Namun, menurut saya, kemandirian yang terlalu mendadak tanpa persiapan mental justru menjadi beban yang sulit ditanggung oleh banyak Gen Z.Â
Ada juga yang beranggapan bahwa semua ini adalah masalah adaptasi. Tetapi, dukungan lingkungan tetap menjadi faktor utama yang bisa mempermudah proses adaptasi, terutama bagi mereka yang baru pertama kali tinggal jauh dari rumah.
Penting untuk menyadari bahwa tantangan kesehatan yang dihadapi oleh Gen Z di kos-kosan bukanlah hal yang tidak bisa diatasi. Ada beberapa langkah konkret yang bisa diterapkan untuk menjaga keseimbangan antara kemandirian dan kesehatan: Â