Puncak penuh duka sedikit terhibur oleh kehadiran sosok mereka, terutama sang Bunda. Setidaknya secara manusiawi kita dapat mengatakan demikian. Artinya, Yesus, dalam kengerian yang hebat tidak merasa sendirian. Ibu dan murid-Nya setia berdiri di kaki salib-Nya.
Cerita tentang peran perempuan dalam jalan Salib itu berakhir pada pangkuan sang bunda. Persembahan terakhir dari sang bunda kepada sang putera adalah pangkuannya. Bunda Maria sekali lagi menyerahkan pangkuannya bagi rebahan raga sang anak. Raga yang tak lagi bernyawa itu didekap untuk terakhir kalinya oleh sang ibu.
Inilah cinta sang ibu. Terbukti setia hingga akhir. Ia menyimpan segala perkaranya dalam hati. Ada duka tetapi juga sukacita.
Beberapa kisah di atas, cukup menjadi signal bahwa jalan kebencian alias jalan salib sepanjang perjalanan dari istana Pilatus hingga puncak Golgota itu ternyata masih dihiasi kelembutan dan belaskasih. Ada sukacita dibalik duka yang ngeri. Kehadiran perempuan dibalik kekejian, caci maki dan kebengisan serdadu di jalan itu adalah cerita cinta yang tak pernah sirna. Kesetiaan mereka setidaknya menjadi bukti bahwa kasih tak pernah kalah oleh ketakutan, kebengisan dan kejahatan.
Kasih yang terbesar tentu saja adalah kesetiaan dan ketaatan Yesus sendiri pada jalan itu. Dan kasih itulah yang juga menggerakkan hati perempuan-perempuan yang setia menyertainya di jalan itu. Dari perempuan, kita belajar tentang kelembutan dan kesetiaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H