"Saya lagi di Basway sayang.." Kalimat itu tak sengaja saya lihat di chatingan WA seorang lelaki, penumpang Transjakarta jurusan Kampung Rambutan - Kampung Melayu pagi ini. Ia mengambil sebuah foto dalam bush lalu menuliskan caption di bawahnya persis seperti kalimat di atas "Saya lagi di Basway sayang..", lalu mengirimkannya kepada pasangannya.
Mungkin terkesan biasa saja, tetapi buat saya menarik dan luar biasa. Dan saya merasa kagum. Kenapa?
Kekaguman saya pertama-tama ketika melihat kata 'sayang'. Kata yang biasa dan sangat kita akrabi. Tetapi rasanya pagi ini kata itu menjadi tidak biasa saja tetapi luar biasa.
Kata yang dikirim lelaki samping kanan saya itu seakan menabrak narasi-narasi viral di dunia medsos kita hari-hari ini. Bahwa sapaan sayang itu hanyalah drama menuju pernikahan alias hanya terucap saat masih pacaran. Dan kalau sampai dibawa hingga lewat hari pernikahan, paling-paling bertahan sebulan, dua bulan hingga satu tahun awal. Tahun-tahun berikutnya ya kembali ke 'mode default' alias settingan pabrik. Kembali pada keaslian karakter masing-masing yakni egois, merasa benar sendiri, tidak mendengar, dan sebagainya.
Dan lagi, usia yang makin renta rasanya tidak elok lagi untuk memanggil sayang. Sudah tua kok masih sayang-sayang. Orang-orang zaman now bilang itu lebay.
Fenomena inilah yang membuat kata 'sayang' perlahan-lahan memudar, hilang dan akhirnya lenyap. Tentu saja ada benarnya. Tetapi tidak bisa disimpulkan untuk semua orang atau seperti orang timur bilang 'tra bisa sapurata begitu sa oo..'
Pria tadi adalah satu dari banyak kekecualian. Usianya yang menginjak 50-an menjadi alasan kekaguman saya yang kedua. Panggilan sayang tidak memudar meski usia kian renta. Ia jujur. Ia polos. Ia menyampaikan keadaannya yang sesungguhnya.
Mungkin saja ini terkesan tafsiran, sebab saya tidak tahu seluk-beluk atau latar belakang pria tadi. Apakah keluarga baik-baik atau apa benar itu pasangannya yang sesungguhnya? Saya tidak mau su'uzon.
Namun, lepas dari ketidaktahuan saya soal itu, apa yang sepintas saya lihat dari isi chatnya membuat saya kagum dan menggunggah hati saya untuk menjadikan itu sebagai bahan refleksi.
Setiap pribadi memiliki tingkat kedewasaan berbeda-beda dalam menjalani roda kehidupan rumah tangga. Tidak bisa disamakan. Walau pada kenyataannya rumah tangga penuh onak dan duri, namun itu tidak lalu menjadi alasan untuk tidak merasa bahagia dan bersyukur. Dibalik segala masalah selalu ada sisi hidup yang membuat bahagia dan bersyukur, sekecil apa pun itu.