Banyak hal terjadi di tungku api kesayangan ibu. Sebagian besar terbawa dan membentuk diriku saat ini. Entah tutur kata, sikap, perilaku dan hal lainnya yang positif.
Hujan masih meneteskan sisa-sisa pada gerimisnya, setelah hampir 3 jam mengguyur kampung kami dengan lebatnya. Beberapa pepohonan tumbang dan rata dengan tanah akibat hujan yang disertai angin kencang. Jalanan menjadi sunyi dan sepih. Kendaraan yang biasanya lewat di depan rumah pun tak terdengar. Hanya patahan ranting-ranting kecil dan dedaunan memenuhi badan jalan.
Seisi kampung mendadak sepih, seakan tak berpenghuni. Hanya hujan gerimis yang masih terdengar dari balik atap rumah. Aku bersimpuh di tungku kesayangan ibu. Tubuhku dingin dan kaku. Dan setelah agak lama, hangat perlahan mengusir dingin dari ragaku yang mungil. Aku tidak ingat persis, entah sore yang ke berapa aku duduk di sini. Yang jelas ini terjadi pada 1998 silam.
Duduk mengitari tungku api setiap hari dan terutama saat hujan sudah menjadi ritus kami sekeluarga. Di tungku api, jika pas musimnya, kami akan ditemani jagung, ubi, singkong, biji-bijian buah yang bisa dimakan (biji nangka, lale, kacang tanah). Tetapi karena musimnya telah lewat, sore itu aku hanya duduk diam dan melamun.
Lama berselang suara dari balik pintu membangunkanku dari lamunan. Aku bergegas ke arah pintu dan membukanya. "Ende Kole ite ga - Ibu sudah pulang ya?", Â tanyaku sembari membantu melepaskan beban dari pundaknya dan kayu api di atas kepalanya.
Tak ada kata-kata dari mulutnya. Hanya diam. Sementara pakaian di tubuhnya basah kuyup. Tubuhnya yang mulai keriput kedinginan dan ringkih. Saya terharu dan tak banyak berkata-kata. Â "Cinta akan rumahnya dan orang-orang terkasih membekukan tubuhnya dalam dingin dan ringkih". Inilah pelajaran atau didikan pertama yang aku terima sore itu saat menyambut ibu sepulang dari ladangnya. Cinta itu penuh pengorbanan.
Ia segera bergegas mengganti pakaiannya. Tidak lama kemudian ia datang dan duduk di sampingku dengan membawa serta gelas di tangannya. Air yang telah mendidih saat ia tiba beberapa menit lalu dituangkannya pada gelas itu lalu perlahan diminumnya. "Biar hangatnya tidak hanya dari luar tetapi juga dari dalam", cetusnya.
Setelahnya diam dan tak menjelaskan lebih lanjut apa yang dikatakannya. Begitulah ibu. Akan banyak diam jika saatnya tiba. Saya pun sadar, setelah menjadi dewasa oleh banyak keadaan, bahwa setiap tingkah dan tutur katanya selalu merupakan didikan yang berharga. Â
Dan cetusan tadi adalah salah satu dari sekian ribu cara ibu mendidikku dengan tanpa kata-kata. Ia lebih memberi teladan dengan contoh nyata daripada berceramah berkepanjangan. Â Cetusan itu tentu memberi pesan tersirat, "lihatlah dan lakukanlah ini untukmu di saat ini dan di hari-hari depan". Itulah pelajaran atau didikan kedua di tungku apinya sore itu.
Saya mengingat dan mengenang momen ini dengan baik. Itu sebabnya, hingga kini, saat raga kedinginan sehabis hujan atau saat sakit dan pada momen lainnya, saya selalu minum air hangat. Inilah didikan ibu yang hidup dalam diriku hingga kini dan ke masa depan.