Masalah pelestarian lingkungan merupakan isu yang umum dan sering kita dengar. Sejak pendidikan dasar hingga menengah terkadang guru memberi sisipan topik ini di sela-sela mata pelajaran atau mengadakan sosialisasi terkait isu yang sedang terjadi. Selain itu, tidak jarang siswa diberi tugas untuk membuat kerajinan tangan dari sampah yang merupakan salah satu dari langkah sosialisasi pelestarian lingkungan. Namun entah karena apa atau saking seringnya mendengar, sebagian orang justru menyepelekan topik ini meski tidak semua dampaknya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.
Sebanyak apapun kita memberi pengetahuan dengan menyebutkan dampaknya saja, kemungkinan terburuknya orang-orang makin bosan mendengarnya. Belajar dari konten yang kerap kali menjadi trending topik---di media sosial maupun media elektronik, cetak, dan lain-lain---adalah sesuatu yang sensasional, aneh, dan memberi kepuasan secara emosional. Oleh karena itu, dari sini kita mulai berbicara soal perekonomian masyarakat yang paling mendasar yaitu, uang. Karena dengan berbicara soal uang, hampir semua orang membuka mata lebar-lebar.
Uang sering dikaitkan dengan kebutuhan hidup---dari yang primer hingga tersier. Dengan uang, kita bisa menukarkannya dengan barang yang kita butuhkan sebagaimana dahulu kita mengenal sistem barter. Mekanismenya sama. Hanya saja bukan lagi barang tukar dengan barang, tetapi uang tukar dengan barang dan berlaku sebaliknya. Melihat pengertian transaksi keuangan paling sederhana saja sudah terlihat bahwa manusia mendapatkan uang dari kegiatan penukaran barang atau jasanya kepada orang lain atau disebut juga dengan bekerja.
Manusia bekerja dengan tujuan utama mencari keuntungan bagi dirinya. Namun sejalan dengan suasana WFH (Work From Home) yaitu bekerja dari rumah, hampir segala sesuatunya terhambat. Barangkali gaji yang terpotong karena tidak bekerja penuh seperti biasanya. Ada juga yang terkena PHK dari kantor dan kesulitan mencari pekerjaan. Lalu, ada para pedagang yang gulung tikar karena tidak laku seperti hari-hari normal. Kemunduran roda perekonomian ini kemudian mendongkrak kembali angka kemiskinan. Kondisi seperti ini yang berlarut-larut memberi imbas pada peningkatan angka kriminalitas, seperti kasus pencurian di rumah-rumah warga. Hal ini memupuk kekhawatiran masyarakat, baik pemenuhan kebutuhan hidup mereka maupun keamanan dan perlindungan.
Jika melihat dari persepsi yang dikemukakan dalam film documenter "Kinipan", maka kita menghubungkan pandemi ini dengan kondisi alam. Kondisi alam di Indonesia mungkin bukan penyebab utama dari adanya pandemi Covid-19, tetapi merupakan salah satu penyumbang penyakit menular.
Pembukaan lahan hutan sudah menjadi pemandangan akrab yang menyesakkan. Pembukaan lahan hutan ini bertujuan untuk membangun perkebunan industri, menggali tambang, dan lain sebagainya. Kegiatan ini ada yang legal, ada juga yang ilegal. Untuk beberapa perusahaan, pemerintah memberi izin. Meski mengantongi izin dari pemerintah, kegiatan pembukaan lahan ini menjadi polemik karena sudah mengeksploitasi terlalu banyak sumber daya alam. Beberapa membuka lahan dengan menebang.
Menurut Basuki, aktivis lingkungan dalam film tersebut, butuh waktu ratusan tahun untuk pohon-pohon di sana kembali seperti sebelumnya, terutama pohon palagium. Jenis ini tumbuh rata-rata hanya 1 mm per tahun. Palagium merupakan jenis pohon yang bisa menumbuhkan buah-buahan sebagai pakan utama orang utan. Akan tetapi, pihak perusahaan terus menyerempet lokasi-lokasi rimbun. Akibatnya, tanah gambut Kalimantan menjadi kering dan ketika hujan datang, tanah tidak lagi mampu menampung sebanyak dahulu. Kemudian air mencari arah aliran lain dan terus menggenangi tanah yang tidak mampu menyerap itu. Banjir lalu terjadi.
Banjir bukanlah bencana alam yang sekadar menggenangi rumah warga lalu esok harinya surut. Banjir bisa menyebabkan berbagai macam penyakit kulit, pencernaan, demam ringan hingga berat. Pengungsian yang berisi banyak orang dalam masa pandemi sangat rentan akan menularkan virus, bakteri, dan kuman. Selain itu, kegiatan perekonomian ikut terkena getahnya. Meski sebagian tidak benar-benar kehilangan pekerjaannya, tetapi dengan terhambat itu pun sudah menghambat pemenuhan kebutuhan hidup mereka. Apalagi jika berbicara soal banjir yang melanda Desa Kinipan pada bulan September 2020 atau satu bulan setelah ditangkapnya Effendi Buhing atas tuduhan pencurian perlengkapan milik industri yang sedang membuka lahan.
Sedangkan sebagian industri lainnya membuka lahan dengan membakar. Dampak langsungnya adalah udara yang berubah drastis menjadi tingkatan udara tak layak hirup. Selain itu, dampak pasca kebakaran seperti tanah menjadi tandus, kurangnya tempat serapan air hujan, dan kematian para binatang hutan, sedangkan lainnya mencari tempat berlindung (misalnya permukiman warga).
Binatang-binatang penghuni hutan turut kehilangan tempat tinggalnya bahkan ada yang tidak sempat melarikan diri ketika pembukaan lahan dilakukan dengan cara pembakaran. Binatang-binatang yang lepas ke rumah-rumah warga lalu mengkontaminasi lingkungan mereka dengan virus, kuman, atau bakteri yang aman bagi binatang tetapi tidak bagi manusia. Hal ini berlaku juga sebaliknya. Ditemukan salah satu penyebab dari suatu kasus kematian harimau Sumatera yakni, parasit dalam saluran pencernaan. Disinyalir parasit ini tumbuh dari apa yang dikonsumsinya di sekitar perkampungan warga.
Punahnya beberapa spesies pun menjadi faktor ketidakseimbangan rantai makanan. Film "Kinipan" juga menjelaskan bagaimana kelangkaan harimau Sumatera berdampak pada meningkatnya populasi babi hutan dan binatang lain yang seharusnya menjadi mangsa predator ini. Babi, kelelawar, dan binatang lain akhirnya diburu dan dijual untuk dikonsumsi manusia sebagai pengganti protein sapi dan ayam sebab dianggap lebih murah. Tidak semua daging binatang yang bisa dikonsumsi adalah aman. Kelelawar pun sempat menjadi bahan penelitian para ahli untuk menyelidiki virus Covid-19 di banyak negara.