Mohon tunggu...
Abdul Fickar Hadjar
Abdul Fickar Hadjar Mohon Tunggu... Dosen - Konsultan, Dosen, pengamat hukum & public speaker

Penggemar sastra & filsafat. Pengamat hukum

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Perspektif Hukum : Hoax Sebagai Bohong Hitam

20 Januari 2017   15:07 Diperbarui: 20 Januari 2017   15:21 1921
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

abdul fickar hadjar

Kita tidak mau Negara khususnya rezim yang berkuasa mengatur pikiran kita, karena apapun ceriteranya “kebebasan berpendapat” merupakan partikel penting dalam kosmologi demokrasi. Apapun teori atau defenisi tentang demokrasi, baik sebagai sebuah konsep filosofis maupun sosiologis, kebebasan berpendapat adalah keniscayaan sebagai konsekwensi logis dari kebebasan berpikir. Hukum itu mengadili perbuatan bukan pikiran.

Kamis kemarin (19/01/17) diundang sebagai nara sumber pada Redbons Discussion di Redaksi Okezone.com MNC Group dengan tajuk “Menyoroti Sepak Terjang Hoax” bersama beberapa orang yang memang berkompeten di bidangnya, seperti Henry Subiakto, Guru Besar Unair yang staf ahli Menkominfo bidang hukum, Pengamat Pengamanan Siber Pratama Persada, Dewan Pers Ahmad Djauhar dan Septiaji Eko Nugroho Ketua Masyarakat Indonesia Anti Hoax.

Dari Kominfo pada initinya menyatakan sudah memblokir ribuan situs hoax pasca perubahan UU ITE No.11/2008, dan mendefenisikan Hoax sebagai berita bohong. Saya tidak keberatan atas defenisi dan tindakan yang dilakukan pemerintah, hanya saja tindakan pemblokiran itu tidak harus dilakukan secara sewenang-wenang, harus ada tahapan penindakan sebelum akhirnya memblokir. Tahapan itu bisa berupa sosialisasi mekanisme penindakan, pemanggilan, peringatan atau kemudian pemblokiran bahkan penutupan.

Perdefenisi, Hoax bisa diartikan sebagai berita bohong (palsu) atau Rocky Gerung (dosen filsafat UI) menyebutnya di acara ILC  sebagai  berita yang bernilai nol. Lengkapnya Hoax bisa disebut sebagai  “pemberitaan palsu” yaitu usaha untuk menipu atau mengakali pembaca/pendengarnya untuk mempercayai sesuatu, padahal sang pencipta berita palsu tersebut tahu bahwa berita tersebut adalah palsu (Wikipedia Indonesia).

Salah satu contoh pemberitaan palsu yang paling umum adalah mengklaim sesuatu barang atau kejadian dengan suatu sebutan yang berbeda dengan barang/kejadian sejatinya. Pemberitaan palsu beda misalnya dengan pertunjukan sulap; dalam pemberitaan palsu, pendengar/penonton “tidak sadar” sedang dibohongi, sedangkan pada suatu pertunjukan sulap, penonton justru mengharapkan supaya ditipu.

Hoax sebenarnya bukan hal baru, karena itu tidak ada hukum, aturan atau undang-undang yang melarang atau menghukumnya, kecuali “penghoaxan” itu memenuhi unsur tindak pidana baik yang diatur dalam KUHP maupun UU lain seperti UU Pers dan UU ITE.

Secara sosiologis di dalam masyarakat justru berkembang istilah “bohong putih” dan “bohong hitam”, maksudnya bohong putih itu menyampaikan suatu berita yang tidak sebenarnya kepada seseorang atau komunitas untuk menghindari terjadinya konflik jika suatu berita disampaikan sebagaimana adanya. Sedangkan “bohong hitam” ditafsirkan sebagai perbuatan sengaja untuk membohongi dengan maksud menipu, atau dengan maksud agar menarik perhatian masyarakat, lebih popular kita kenal sebagai Gosip, terus digosok makin siiip katanya… bahkan menjadi trend pemberitaan yang disebut infotainment alias berita hiburan (pembaca/penonton asyik seperti nonton sulap siap dibohongi he..he..).

Ilustrasi: okezone.com
Ilustrasi: okezone.com
Hoax memang jahat, tetapi hoax juga bisa ditempatkan sebagai sebagai alat pembanding atau alat untuk   meningkatkan “kepercayaan masyarakat” terhadap media-media mainstream, karena itu menjadi tugas media mainstream dan Dewan Pers untuk terus menjaga kepercayaan masyarakat untuk pemberitaan yang resmi, jangan malah media manstream ikut-ikutan menyebarkan berita Hoax.

Menurut saya (yang dibantah oleh pa Henry, tapi saya tetap berpendapat demikian) Hoax merupakan sisi negative dari kebebasan berpendapat dan mengeluarkan pikiran, karena dunia maya itu dunia tanpa penguasa, Negara tanpa pemerintahan, dan tentu saja ia menjadi media untuk mengekpresikan kebebasan berpendapat dan mengeluarkan pikiran.

Rumusnya adalah bahwa boleh orang bebas melakukan apa saja di dunia maya, tetapi tetap dengan kesadaran bahwa dalam setiap kebebasan selalu berhimpit dengan akutabilitas (tanggung jawab), dan tanggung jawab itu adalah hukum dan peraturan perundang-undangan. Artinya setiap perbuatan kita yang diekspresikan melalui dunia maya (situs, media social, twitter, WhatAps dsb) termasuk membuat berita bohong (Hoax) dibatasi oleh Undang-undang, tidak boleh menghina atau mencemarkan nama baik orang, tidak boleh melakukan perjudian, tidak boleh melanggar kesusialaan atau tidak boleh melakukan pengancaman atau pemerasan (Pasal 27 UU ITE). Artinya lagi kita harus bertanggung jawab terhadap perbuatan yang merugikan orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun