Mohon tunggu...
Abdul Fickar Hadjar
Abdul Fickar Hadjar Mohon Tunggu... Dosen - Konsultan, Dosen, pengamat hukum & public speaker

Penggemar sastra & filsafat. Pengamat hukum

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Menyambut HUT KPK ke XI 29 Desember 2014: Tanpa KPK, Pemberantasan Korupsi Wassalam!

30 Desember 2014   06:19 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:12 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanpa KPK, Pemberantasan Korupsi Wassalam !

Oleh : Abdul Fickar Hadjar

Sayup-sayup terdengar gosip, pasca terbentuknya legislatif baru 2014-2019, akan ada gerakan pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui perubahan perundang-undangan. Gosip ini mendekati kebenarannya ketika realitas politik telah melahirkan dua koalisi yang bersebrangan bahkan menjadikan “DPR” terbelah dua. Tidak terbayangkan jika KPK jadi dibubarkan, mungkin riwayat pemberantasan korupsi menjadi wassalam. Ada politikus yang berargumen bahwa KPK dihadirkan untuk menstimulasi penegak hukum lain di bidang pemberantasan korupsi agar menjadi lebih optimal, namun kenyataannya justryu KPK yang optimal, sementara lembaga penegakan hukum di bidang korupsi tetap “memble”, dan ini berarti KPK tidak berhasil karenanya KPK harus dibubarkan.

Seiring dengan berjalannya waktu, ternyata gerakan pembubaran KPK melemah (?), resistensi tidak hanya datang dari politisi yang banyak menjadi “korban” KPK, tetapi juga dari koruptor swasta. Yang ironis resistensi justru datang dari sesama penegak hukum. Sejarah telah membuktikan beberapa kali upaya kriminalisasi terhadap aparat KPK (penyidik & komisioner) telah gagal, perlawanan masyarakat sipil menjadi benteng terakhir pertahanan KPK. Persoalannya, dengan kewenangan dan dukungan masyarakat yang besar, apakah kinerja KPK telah optimal ?
aktualisasi kewenangan

Yang membedakan KPK dengan lembaga penegakan hukum korupsi yang lain (kejaksaan & kepolisian) adalah kewenangannnya. KPK relatif mempunyai kewenangan yang lebih besar, perbedaannya dengan lembaga lain, antara lain: kewenangan menyadap; kewenangan menyidik “pejabat publik” tanpa harus memperoleh izin Presiden. Bahkan ada kewenangan yang signifikant dan sangat berkorelasi dengan pemberantasan korupsi. Kewenangan tersebut baru diperoleh melalui UU No.8 Tahun 2010, yaitu kewenangan menyidik dan menuntut tindak pidana pencucian uang. Harus diakui sejak itulah UU tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dapat dibunyikan, maka lahirlah kasus-kasus TPPU seperti Baasyim (bekas pegawai pajak), Waode Nurhayati (anggota DPR), Djoko Susilo (Ditlantas), Luft Hasan Ishak (DPR) dan sebagainya.
Adalah realitas, KPK sebagai lembaga independen yang secara khusus melakukan kerja-kerja pemberantasan korupsi dalam kiprah kesehariannya “lebih mampu mengaktualisasikan (menggunakan) kewenangan yang diberikan undang-undang dibandingkan dengan lembaga lain yang menangani korupsi, meski kewenangan yang sama juga dimilikinya. Sebagai contoh, KPK mampu mengkonvergensikan (mengawinkan) “laporan masyarakat” dengan kewenangan “menyadap” sehingga banyak menghasilkan OTT (operasi tangkap tangan) dalam menjaring para koruptor. Hal lain yang juga harus diakui keberhasilannya adalah pasca pemberian kewenangan menyidik dan menuntut tindak pidana pencucian uang, KPK telah berhasil membunyikan UU Tindak Pidana Pencucian Uang dengan lebih keras. Salah satu sebabnya mungkin karena KPK tidak memunyai beban psikologis dibanding penegak hukum lain.

Demikian juga dengan “penuntutan secara maksimal ancaman hukuman” dan penggunaan tuntutan hukuman tambahan “pencabutan hak politik” (Pasal 35 ayat (1) KUHP disebut hak atas jabatan tertentu dan hak memilih dan dipilih), merupakan kemampuan KPK mengaktualisasikan kewenangan yang sebenarnya sudah ada, namun jarang digunakan oleh penegak hukum lainnya. Lagi-lagi Djoko Susilo dan Lutfi Hasan Ishak yang putusan perkaranya sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht) dengan hukuman pencabutan hak politiknya.

Meski belum maksimal, harus diakui bahwa KPK jilid ketiga ini punya prestasi lebih dari generasi sebelumnya, dalam artian jumlah koruptor yang diperiksa lebih banyak, asal instansi juga beragam (eksekutif, legislatif maupun judikatif), yang menarik justru beberapa pejabat publik aktif dibidik menjadi tersangka (Menpora Andi Malaranggeng, Mentri ESDM Jero Wacik, Surya Darma Ali Menteri Agama dan beberapa Kepala Daerah aktif) yang tidak bahkan belum pernah dilakukan oleh Kejaksaan sebagai penegak hukum korupsi. Meski demikian ada banyak kasus belum tertangani dengan cepat, seperti belum tuntasnya Kasus Hambalang, Century, Kasus Pajak BCA, Korupsi Haji, dan banyak kasus lainnya termasuk kasus BLBI.

korban Korupsi

Mantan Jaksa Agung Abdurahman Saleh pernah berujar pada dasarnya hampir setiap orang Indonesia telah menjadi korban korupsi, khususnya bila ia berurusan dengan birokrasi (Tempo 26 Oktober- 1 Nopember 2004). Pernyataan ini menggambarkan bahwa hampir tidak ada sektor di dalam masyarakat yang tidak tersentuh dan bebas dari korupsi. Korupsi sudah tertanam secara mendalam di dalam masyarakat dan berbagai institusi. Korupsi telah menjadi endemik di birokrasi, BUMN/D, korupsi juga menjadi masalah yang serius di jajaran penegak hukum dan sektor judisial pada umumnya. Partai p;olitik, anggota arlemen, kelompok masayarakat sipil, akademisi, bahkan mediapun tidak kebal terhadap korupsi. Karnanya hampir menjadi tidak jelas lagi siapa yang menjadi korban dan pelaku korupsi, jangan-jangan pelaku korupsi juga sekaligus korban korupsi.

Secara konvensional, negara mewakili rakyat merupakan korban dari perbuatan korupsi, sehingga “kerugian negara” menjadi faktor dominan dalam pengaturan tindak pidana korupsi. Pertanyaannya Siapa yang bertanggung jawab atas kerugian pihak yang menjadi korban korupsi selain negara ? Sebagai contoh nyata dalam kasus-kasus Gubernur Banten, Korupsi Quota Sapi, korupsi Al Quran dan korupsi Haji, selain merugikan negara, apakah mereka bertangung jawab atas ketidak adilan dan kemiskinan di Banten, kesulitan tukang bakso mendapatkan bahan baku, atau umat Islam yang merasa dikhianati ?

Kerugian merupakan terminologi hukum privat, konsekwensinya jika digunakan konstruksi Perbuatan Melawan Hukum secara perdata, maka kerugian harus berkorelasi langsung dengan perbuatan yang menimbulkan kerugian, Dengan kata lain sebab akibatnya nyata. Ketika dikontekskan pada pertanyaan “siapa korban” selain negara, maka rakyat miskin disuatu daerah karena korupsi alat kesehatan didaerah tersebut, atau pedagang baso yang bangkrut karena tidak sanggup membeli daging sapi karena harganya tak terjangkau akibat korupsi quota sapi, adalah korban-korban yang secara nyata menderita kerugian. Dimana peran KPK, bagaimana mekanismenya? Dan ketika kita ngomong soal mekanisme, yang mengawinkan “mekanisme keperdataan” kedalam ranah acara pidana, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana telah mengaturnya dalam ketentuan tentang penggabungan tuntutan perkara pidana dan perdata. Dalam konteks ini KPK bisa sejak awal menstimulasi kelompok-kelompok dalam masyarakat yang potensial menjadi korban korupsi, untuk bersama-sama menggugat para koruptor.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun