[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Gedung KPK (Sumber: Tribunnews.com)"][/caption] I.KPK adalah “political will” -Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lahir dari kemauan politik (political will) pemerintah dan rakyat dalam hal ini DPR; -Political will didasarkan oleh kesadaran bahwa : Korupsi adalah tindak pidana yang luar biasa ( extra ordinary crimes) dan harus ada lembaga khusus yang menanganinya, itulah sebabnya antara KPK dengan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) diatur dalam satu UU yang sama, yang kemudian dipisah karena JR di MK, -Kemauan politik ini tercermin dalam Pasal 43 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. -Pertanyaannya, mengapa harus ada lembaga baru ? Jawabannya ada dua alasan, pertama: pemberantasan korupsi yang dilakukan belum optimal, dan kedua: lembaga yang menangani pemberantasan korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien (konsiderans UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK). -Yang ingin dikatakan pada bagian ini, meskipun Komisi Pemberantasan Korupsi yang dibentuk pada tahun 2003, merupakan komisi independen yang secara khusus melakukan kerja-kerja pemberantasan korupsi, tapi eksistensinya tetap berada pada ranah “political will”, mengingat: KPK bukan lembaga original penegakan hukum, ia hanya duplikasi dari fungsi penyidikan (kepolisian) dan fungsi penuntutan (Kejaksaan) dan fungsi analisis kerugian negara (BPK) yang disatukan karena lembaga yang ada belum optimal. Karenanya keberadaan dan kehadirannya akan terus bergantung pada “political will” dua lembaga Presiden dan DPR. [caption id="attachment_345831" align="aligncenter" width="300" caption="(dok.pri)"]
[/caption]
II.Kemampuan mengaktualisasikan kewenangan -Yang membedakan KPK dengan lembaga penegakan hukum korupsi yang lain adalah kewenangannnya. KPK relatif mempunyai kewenangan yang lebih besar, yang perbedaannya dengan lembaga lain, antara lain: - kewenangan menyadap; - kewenangan menyidik “pejabat publik” tanpa harus memperoleh izin Presiden. Sebagai konsekwensinya KPK tidak mempunyai kewenangan menghentikan penyidikan / penuntutan (SP3). Bahkan ada kewenanganyang signifikant dan sangat berkorelasi dengan pemberantasan korupsi, baru diperoleh melalui UU No.8 Tahun 2010,2) yaitu kewenangan menyidik dan menuntut tindak pidana pencucian uang. Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga independen yang secara khusus melakukan kerja-kerja pemberantasan korupsi dalam kiprah kesehariannya “lebih mampu mengaktualisasikan (menggunakan) kewenangan yang diberikan undang-undang dibandingkan dengan lembaga lain yang menangani korupsi. Sebagai contoh, KPK mampu mengkonvergensikan (mengawinkan) “laporan masyarakat” dengan kewenangan “menyadap” sehingga banyak menghasilkan OTT (operasi tangkap tangan) dalam menjaring para koruptor. Hal lain yang juga harus diakui keberhasilannya adalah pasca pemberian kewenangan menyidik dan menuntut tindak pidana pencucian uang, KPK telah berhasil membunyikan UU Tindak Pidana Pencucian Uang dengan lebih keras. Salah satu sebabnya mungkin karena KPK tidak memunyai beban psikologis dibanding penegak hukum lain. Demikian juga dengan “penuntutan secara maksimal ancaman hukuman” dan penggunaan tuntutan hukuman tambahan “pencabutan hak politik” (dalam KUHP disebut hak atas jabatan tertentu dan hak memilih dan dipilih- kata Karni ilyas hak politik lebih luas) 3) , merupakan kemampuan KPK mengaktualisasikan kewenangan yang sebenarnya sudah ada, namun jarang digunakan. (Memang ironis, jika penuntutan hukuman tambahan pencabutan hak politik ini dilakukan oleh Kejaksaan, maka bisa diduga akan melahirkan tuduhan terhadap Presiden berkuasa sebagai “penyingkiran lawan politik”. Hal ini terjadi karena Kejaksaan merupakan bagian dari pemerintahan (eksekutif) yang berada dibawah Presiden).
III.Hambatan, tantangan dan kekuatan KPK - Sejak kelahirannya KPK sudah mendapatkan resistensi dari berbagai pihak, yang jika dikelompokkan terdiri dari: a. Para Koruptor; b. Sesama penegak hukum; c. Oknum-oknum dengan menggunakan dan mengatasnamakan institusi; sedangkan bentuk-bentuk “perlawanan” yang dilakukan, tercatat sejarah antara lain: a.Gugatan melalui “
judicial review” ke Mahkamah Konstitusi, Praperadilan ataupun gugatan perdata ke pengadilan negeri; b.Kriminalisasi terhadap komisioner maupun petugas pelaksana (kasus antasari, bibit candra, kasus Noval); c.Perebutan / klaim kewenangan penanganan kasus (kasus Anggodo, Djoko Susilo, Ditlantas); d.Pelemahan melalui legislasi di DPR (meskipun baru percobaan) Hambatan-hambatan diatas justru telah melahirkan kekuatan dan tantangan, yaitu kerja-kerja KPK utamanya dibidang pemberantasan (fungsi represif) tanpa mengenyampingkan fungsi pencegahan (preventif), telah melahirkan tidak hanya banyak simpati, tapi juga gerakan-gerakan nyata masyarakat yang membela KPK, lebih luas memberantas Korupsi melalui pengawasan masyarakat. Dukungan masyarakat adalah kekuatan yang lahir murni karena kerja-kerja KPK diangap telah memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat. Inilah juga yang melahirkan “ekspektasi” yang besar dalam masyarakat terhadap pemberantasan korupsi yang sudah terstruktur, sistematis, masif dan meregenerasi. Harapan besar dari masyarakat inilah yang harus dipenuhi KPK sebagai tantangan tidak hanya menindak para koruptor, tetapi juga upaya-upaya bagi pencegahan terjadinya korupsi.
IV.Komposisi komisioner; -Dari tiga generasi yang pernah ada, meskipun bervariasi dominasi unsur lawyer, sarjana hukum masih menduduki peringkat pertama. Pada generasi pertama misalnya dimana pembangunan kelembagaan (
institusional building) menjadi prioritas selain menjalakan tugas dan fungsi, dari 5 komisioner hanya 2 orang yang sarjana hukum Ruki (mantan polisi) dan HP Panggaben (mantan Jaksa). Sedangkan yang lain swasta bekas direktur BUMN (eryriyana) dan BPKP (Rasul dan Amin sunaryadi). -Generasi kedua ada 3 orang sarjana hukum (Antasari Jaksa, Bibi Waluyo Polisi dan Chanrda Advokat) dua lainnya dari BPKP. -Generasi ketiga KPK didominasi oleh sarjana hukum (Abraham Samad, BW, BM, Pandu dan Zulkarnaen masing-masing 4 lawyer dan 1 Jaksa). Harus diakui bahwa generasi ketiga ini punya prestasi lebih dalam artian jumlah koruptor yang diperiksa lebih banyak, asal instansi yang beragam (eksekutif, legislatif maupun judikatif), mungkin karena hampir seluruhnya praktisi hukum. Maka, ketika kita ajukan pertanyaan tentang sosok Komisioner KPK yang ideal menghadapi tantangan penegakan hukum korupsi masa depan, maka mau tidak mau harus juga melihat setting politik masa depan. -Realitas politik kini menggambarkan adanya dua kekuasaan yang berbeda haluan, hal ini tercermin dari : koalisi Indonesia hebat disatu sisi yang mengasai eksekutif, dan koalisi merah putih di sisi lain yang menguasai legislatif, yang dari sisi personalnya sudah diketahui merupakan tantangan berat buat KPK. Namun demikian meski KPK ada di ranah “
political will” keduanya, adalah suatu keberuntungan (
blessing indisguise) perbedaan itu pasti akan melahirkan ketidak sepakatan ketika berbicara menganai pembubaran ataupun pengurangan kewenangan KPK. Dalam setting politik seperti ini berani dan jujur menjadi syarat yang -
conditio cine quad non- bagi seorang komisioner KPK ke depan, Cuma persoalannya adalah seperti juga syarat-syarat tak terukur lainnya (taqwa, berintegritas, moral baik, reputasi) seperti juga “kejujuran” merupakan syarat yang juga sulit mengukurnya. Saya kira Panity seleksi sudah cukup ketat menyeleksi persyaratan-persyaratan sebagaimana diamanatkan UU, tinggal pembuktiannya bagaimana kiprahnya di KPK. Oleh karena itu mari kita awasi bersama, disamping kita jaga dan lindungi. Smoga Tuhan memberikan ridhonya. 1) Catatan disampaikan dalam Focus Group Discussion Mencari Sosok Komisioner KPK Tahun 2014, Hotel Haris, 3 Oktober 2014. 2) Undang-undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. 3) Pasal 10 jo Pasal 38 KUHP mengelaborasi “pencabutan hak tertentu” menjadi 1. Hak memegang jabatan pada umumnya, 2. Hak memasuki Angkatan Bersenjata; 3. Hak dipilih dan memilih pada pemilihan berdasarkan peraturan perundang-undangan; 4. Hak sebagai penasehat hukum mengurus urusan pengadilan; 5. Hak kekuasaan orang tua; dan 6. Hak menjalankan mata pencaharian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Catatan Selengkapnya