Mohon tunggu...
Abdul Fickar Hadjar
Abdul Fickar Hadjar Mohon Tunggu... Dosen - Konsultan, Dosen, pengamat hukum & public speaker

Penggemar sastra & filsafat. Pengamat hukum

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Deponering dan Fastabiqul Khayrat

13 Maret 2016   14:18 Diperbarui: 13 Maret 2016   14:42 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Photo sendiri"][/caption]

DEPONERING & FASTABIQUL KHAYRAT

Abdul Fickar Hadjar

Pasca Jaksa Agung mendeponering perkara yang disangkakan kepada Abraham Samad (AS) dan Bambang Widjojanto (BW) ada beberapa media elektronik mengundang untuk mendiskusikan masalah ini. Tentu saja tidak semua permintaan dapat dipenuhi, tapi yang menarik buat saya, ada diskusi deponering yang mengaitkannya dengan hubungan antara KPK dengan Kepolisian (Cicak vs buaya) yang akan menimbulkan kegaduhan baru antara kepolisian dan kejaksaan (Buaya vs Buaya – kata host acara polemic onTv Latif Siregar). Karena itu menurut pendapat ini Jaksa Agung harus menjelaskan tafsir kepentingan umum yang sejelas-jelasnya agar kepolisian dapat menerimanya. Lebih jauh menurut pendapat ini harus diciptakan hubungan yang harmonis dan sinergis antara ketiga lembaga penegak hukum Kepolisian, Kejaksaan dan KPK. Dalam kontek sinergitas hubungan inilah saya melontarkan konteks “Fastabiqul Khaerot”.


Diskusi yang dipandu Latief Siregar, diikuti oleh Alfon Limahu (Praktisi hukum mantan Polisi), Supratman Andi Atgas (Komisi III DPR/Ketua Baleg), Abdullah Hehamahua (Mantan Penasehat KPK) dan saya didudukan sebagai pengacara BW & AS. Meski secara yuridis deponering itu ada dasar dan landasan hukumnya (Pasal 35 C UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia), namun karena konsiderasi subtantifnya kepentingan umum dan pengertian kepentingan umum ini tidak secara terang dijelaskan dalam undang-undang, maka sangat mungkin penggunaan lembaga deponering ini bisa disalahgunakan. Dengan alasan itu pula beberapa pihak termasuk lembaganya pa Alfon, mengajukan berbagai “upaya hukum” diantaranya: praperadilan, gugatan PTUN, Laporan penyalahgunaan wewenang ke Polisi, dan gugatan PMH oleh penguasa, yang menurut saya tidak ada pintu masuknya segala upaya hukum keberatan untuk membatalkan keputusan deponering ini.

Dominus Litis

Dalam khasanah hukum acara pidana, kita mengenal institusi khusus yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penuntutan pidana ke pengadilan, yaitu penuntut umum. Berdasarkan ketentuan pasal 1 butir 6 a dan b serta pasal 137 KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981) penuntut umum adalah Jaksa. Jika institusi “penyidik” itu tidak hanya dimonopoli oleh kepolisian, karena dalam tindak pidana tertentu bisa juga ada penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) atau penyidik KPK, maka sebelum lahirnya UU KPK penuntut umum hanya satu yaitu Jaksa, tetapi pasca lahirnya UU No. 30 Tahun 2002, pimpinan KPK juga berstatus sebagai penyidik sekaligus penuntut umum.

Sebagai institusi yang memiliki kewenangan menuntut juga disebut DOMINUS LITIS, Jaksa Agung sebagai penuntut tertinggi di kejaksaan mempunyai kewenangan mengenyampingkan perkara demi kepentingan umum. Dalam konteks kewenagan penuntutan ini dikenal dua asas yang saling berdampingan, yaitu asas legalitas dan asas oportunitas, kewajiban menuntut suatu tindak pidana disatu sisi juga sekaligus ketidak wajiban menuntut seseorang yang melakukan tindak pidana dengan pertimbangan akan merugikan kepentingan umum. Dengan kewenangan ini, maka Jaksa sebagai penuntut umum (terkecuali Jaksa KPK tidak bisa) mempunyai kewenangan untuk menghentikan perkara dengan dua kategori, yaitu demi kepentingan hukum dan demi kepentingan umum. Demi kepentingan hukum bisa didasarkan pada hal-hal antara lain tidak cukup bukti, peristiwa bukan merupakan pidana, atau lewat waktu (daluarsa) dan karenanya perkara tersebut ditutup demi hukum (Psl 140 KUHAP). Sedangkan menghentikan dengan mengenyampinkan perkara demi kepentingan umum ditafsirkan sebagai kepentingan bangsa dan Negara dan/atau kepentingan masyarakat luas.

Jika kita menelusuri sejarah penegakan hukum khususnya yang berkaitan dengan penerapan asas oportunitas ini, maka pada zaman Jaksa Agung Suprapto, Gunawan dan Sugiharto sering diterapkan transaksi terhadap tindak pidana ekonomi (penyeludupan) yaitu dikenal dengan istilah sickking. Dasar hukum dari pengesampingan ini adalah asas oportunitas meskipun asas ini belum secara tegas diatur dalam undang-undang. Sebagian dari denda dan penjualan barang sitaan diberikan kepada mereka yang menangkap pelaku kejahatan ekonomi itu (Andi Hamzah 2014 : 42). Di Belanda pengesampingan perkara karena kepentingan umum dengan kebijakan (policy) bisa berupa perkara ringan, usia terdakwa yang sudah tua, dan kerusakan telah diperbaiki, alasan yang terakhir ini nampaknya yang diterapkan beberapa Jaksa Agung pada masa lalu dalam penanganan perkara tindak pidana ekonomi.

Dalam konteks deponering BW dan AS, tafsir atas kepentingan umum oleh Jaksa Agung inlah yang dianggap tidak jelas oleh beberapa pihak. Secara resmi Jaksa Agung mengeluarkan keputusan deponering didasarkan pada alasan bahwa pemberantasan korupsi adalah kepentingan umum, dan dua mantan Pimpinan KPK (AS & BW) merupakan aktivis anti-korupsi yang memiliki jaringan luas dalam upaya pemberantasan korupsi yang merugikan keuangan Negara, sehingga perkara dua pegiat anti-korupsi harus segera diselesaikan agar tidak meluas dampaknya pada semangat pemberantasan korupsi dan turunnya kepercayaan masyarakat. Demikian juga dikhawatirkan hilangnya kepercayaan masyarakat luar untuk berinvestasi di Republik Indonesi.
Setiap orang mempunyai hak untuk mempertanyakan bahkan mempersoalkan setiap keputusan pejabat public, namun menurut saya (pasti subjektif) adalah hak Jaksa Agung juga sebagai representasi dari Negara ic kekuasaan penuntutan Negara berhak menafsirkan bahwa ada kepentingan umum yang akan terganggu jika perkara AS dan BW ini tidak dikesampingkan.

Deponering vs kriminalisasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun