Beberapa Catatan  atas  RUU Pengampunan Pajak.[1]
Abdul Fickar Hadjar[2]
Diperkirakan Pemerintah dan DPR RI minggu depan (20 Juni 2016) menjadwalkan akan mengesahkan  RUU Pengampunan Pajak (Tax Amnesty), namun kebijakan Tax Amnesty ini masih menimbulkan pro kontra. Rabu 15 Juni 2016 kemarin sambil ngabuburit  ICW dan ILRC mengadakan diskusi bersama dengan judul Tax Amnesty dan NasibPengembangan Pajak, dengan pembicara Firdaus Ilyas (Koordinator Divisi Riset ICW), Ah Maftuchan (Direktur Eksekutif Prakarsa) Ecky Awal Mucharam (Anggota DPR Panja RUU Tax Amnesty) yang tidak hadir dan Saya sendiri. Berikut ini beberapa catatan yang saya sampaikan pada diskusi itu.  Â
&
Dalam konsiderasi sosiologis RUU Penganmpunan Pajak (RUU PP) ini disebutkan  bahwa kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya masih perlu ditingkatkan karena terdapat banyak Harta, baik di dalam maupun di luar negeri yang belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahunan Tahunan Pajak Penghasilan, yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan penerimaan negara dan pertumbuhan perekonomian nasional. Sedangkan tujuan dibuatnya RUU PP ini disebutkan dalam rangka meningkatkan penerimaan negara dan pertumbuhan perekonomian dalam jangka panjang serta meningkatkan kesadaran dan kepatuhan dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan, perlu untuk menerbitkan kebijakan Pengampunan Pajak.
Dari dua statement ini bisa disimpulkan bahwa masih banyak uang orang-orang Indonesia yang tidak tercatat dan tidak masuk dalam system keuangan  Indonesia, khususnya perbankan kita. Terbongkarnya nama-nama orang Indonesia (dari pengusaha sampai lawyer, bahkan pengamat ekonomi termasuk didalamnya juga Kepala BPK) pada kasus Panama Papers atau tempat tempat surge pajak lainnya (tax heaven) menjadi bukti bahwa memang benar apa yang disinyalir oleh Pemerintah bahwa banyak uang-uang WNI yang tidak tercatat dalam system keuangan baik yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri. Bukti terakhir, uang sejumlah satu milyar lebih yang disita KPK di rumah Nurhadi Sekjen Mahkamah Agung dalam konteks penangkapan panitera perkara Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Pertanyaannya, mengapa terjadi demikian? Seacara umum ini dapat dikatakan sebagai bentuk-bentuk perlawanan terhadap pajak yang dilakukan oleh masyarakat, bisa macam-macam sebabnya bisa masyarakat enggan membayar pajak yang tinggi, bisa juga uang yang diperolehnya itu merupakan uang hasil kejahatan. Apapun sebabnya itu merupakan bentuk-bentuk perlawanan masyarakat terhadap kewajibannya membayar pajak.
Modus-modus perlawanan pajak
Secara umum modus-modus perlawanan pajak oleh masyarakat dapat dikualifisir menjadi dua, yaitu bentuk perlawanan pasif dan aktif. Â Â Perlawanan Pasif bisa berupa :
- Masyarakat Wajib Pajak (WP) aktif tidak atau berhenti membayar pajak, karena melihat ada WP lain tidak bayar pajak, tetapi tidak dikenai sanksi;
- Tidak jelasnya pembukuan, terutama pencatatn penghasilan para WP;
- Pemilikan harta yang tidak dilaporkan setiap tahun dalam laporan tahunan.
Sedangkanperlawanan Aktif,bisa berupa tindakan-tindakan:
- Penghindaran pajak (tax avoidance) yang dilakukan dengan 3 (tiga) cara, yaitu:
- Menahan diri tidak merokok, tidak membeli barang-barang yang kena pajak tinggi dan  kena cukai misalnya;
- Memindahkan lokasi penyimpanan uang ke lokasi yang pajaknya lebih ringan (tax heaven), walaupun tax atas penyimpanan uang di Indonesia bagian Timur lebih murah, tapi kecenderungannya  masyarakat Indonesia menyimpannya ke  luar negeri – ke Negara-negara yang merupakan surge pajak (Tax heaven)
- Penghindaran pajak secara yuridis dilakukan dengan cara-cara
- Tidak membeli produk-produk  yang kena PPN atau Ppn BM (Pajak pendapatan barang mewah)
- Mengelakan pajak agar tidak kena Pajak Import mobil, denan mengisi dokumen impor sebagai limbah.
- Pengelakan Pajak (tax evasion) dilakukan sebelum wajib pajak menerima Surat Ketetapan Pajak (SKP), dengan maksud melepaskan diri atau mengurangi dasar penghitungan pajak (dengan cara menyembunyikan atau tidak memasukan sebagian penghasilan)
Modus-modus baik penghindaran (tax avoidance) maupun pengelakan (tax evasion) bisa terjadi karena beberapa sebab pendukung, antara lain:
- Bagi wajib pajak besar (konglomerasi)  kecenderungan  melakukan penghindaran pajak (tax avoidance), dengan  dukungan biro hukum/Tim lawyer maupun Konsultan pajak  yang mampu mencari celah-celah  UU Pajak;
- Pengaturan pembukuan agar bayar pajaknya rendah/kecil (dengan memperbesar pengeluaran atau memperkecil keuntungan) biasanya dilakukan atas bantuan konsultan.
- Masih banyaknya kelemahan pada perundang-undangannya (banyakloft hole),yang dapat disiasati oleh para WP dibantu lawyer dan konsultannya;
- Aparat pajaknya mudah disuap,beberapa kasus penangkapan OTT KPK dalam kasus-kasus pajak membuktikan sinyalemen ini.