Mohon tunggu...
Abdul Fickar Hadjar
Abdul Fickar Hadjar Mohon Tunggu... Dosen - Konsultan, Dosen, pengamat hukum & public speaker

Penggemar sastra & filsafat. Pengamat hukum

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kritik Tak Mampu Kartun Puisi pun Jadilah

1 Juli 2018   22:52 Diperbarui: 1 Juli 2018   23:13 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Meski gambar kartunnya berisi sebuah kritik, tetapi tetap membuat penikmatnya tersenyum. 

Begitu banyak orang menilai kartun kartun karya almarhum GM Sudarta. Tidak keliru memang begitu, sy pun berpendapat serupa. Sejak SMA sy penikmat harian Kompas, yang selain menikmati news, kolom artikelnya dipenuhi tulisan berbobot (penulisnya al MAW Brower, YB Mangunwijaya, Gus Dur, Mahbub Junaidi dan lainnya) tentu saja sy pasti menikmati kartun kartunnya Alm mas GMS.

Mengapa saya mbaca dan menikmati Kompas? Selain isinya memandaikan, saya adalah murid dari seorang Jurnalis Kompas Alm Alfred Simanjuntak guru sejarah sy di SMA Negeri 18 Jembatan Batu Jakarta Barat. Pa Alfred buat kami muridnya selain sbg guru juga motivator yg selalu "membakar" semangat kami murid muridnya. 

Ia petarung begitu kesimpulan sy, menurut ceriteranya dari seorang "preman lontong" di Medan ia merantau ke Jakarta, menjadi guru di sekolah kami dan menjadi wartawan Kompas. 

Tulisan-tulisannya kritis dan menginspirasi, selain motivasi separuh provokasinya di kelas. Itu sebabnya saya menjadi salah seorang demonstrans pd peristiwa lima belas januari (Malari 1975). Kalau dipikir pikir sikap kritis ini lahir dan terawat sejak SMA itu. Smoga alm Pa Alfred mendapatkan kedamaian disisiNYA.

Kembali ke laptop, kunci kalimat diatas adalah kritik dan senyum. Artinya kartun itu bisa memodifikasi kritik sedemikian rupa hingga melahirkan senyum bukan kemarahan.

Tentu saja tdk sembarang org bisa "memindahkan" kritik dari sebuah peristiwa menjadi sebuah gambar dan kalimat kalimat dialog pendek yg efektif, shg dapat mengena sasaran kritiknya tapi tak menimbulkan kemarahan melainkan senyum. Tentu saja pula dibutuhkan kapasitas dan kapabilitas dr orang yang mengerti dan "mendalami" peristiwa yang akan dikritisinya melalui gambar gambar lucu alias kartun.

Jika memindahkan "kritik" ke ruang parlemen dan dilakukan oleh sesama anggota DPR itu disebut perbedaan pendapat. Jika DPR melakukan kritik terhadap Pemerintah itu disebut pengawasan.

Jika kritik dipindahkan ke ruang publik dan dilakukan oleh masyarakat terhadap wakilnya di DPR, itulah kritik. Tapi ironisnya melalui UU MD3 DPR menganggapnya itu merendahkan martabat Dpr dan anggota DPR dan itu menjadi dasar untuk memanggil paksa dan memprosesnya secara hukum melalui MKD. Untung Tuhan tidak tidur, Gusti ora sare melalui Mahkamah Konstitusi diBATALkanlah pasal pasal MKD itu, dan selamatlah rakyat Indonesia atas hak "mengkritik" wakil wakilnya di DPR.

 Ya kemampuan mengolah kritik melalui kartun dgn akurasi tepat sasaran dan melahirkan senyum inilah "kemahiran" mas GMS. Dan saya percaya kemapuan ini lahir melalui sebuah proses yang didalamnya ada waktu, pengalaman dan kreatifitas. Saya juga percaya tidak hanya kartun yang bisa moda kritik senyum, karena itu jika tak mampu kartun "puisi"pun jadilah.

Indonesia tanah airku
tanah tak sejengkalpun milikku
Air sebotol lima ribu rupiah..

He....he...he...
Jangan marah ya

(Jatibening010718)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun