Hamparan hijau lembah timbulan, deratan pohon jagung yang mulai berbunga menanti lebah menghisap nektar dan membantu pembuahan hingga kelak petani menuai. Timbulan, hamparan pertanaman jagung di Desa Parsoburan Barat, Kecamatan Habinsaran, Kab. Toba Samosir, Sumatera Utara.
Pagi-pagi benar, ketika kabut masih membatasi pandangan, udara dingin yang menusuk hingga ke tulang. Para petani jagung luat Habinsaran (baca: wilayah Kecamatan Habinsaran) sudah bergegas menuju ladang masing-masing. Pun demikian dengan Hampung Tita, pria paruh baya yang memilih kembali ke kampung halaman untuk mengais rezeki. Menjadi petani jagung adalah pilihannya.
Akhir bulan Maret, saat cuaca tak menentu, jalanan berbatu ciri khas Kecamatan Habinsaran masih menyimpan rinai hujan, Hampung Tita dengan motor tuanya bergegas menuju ladang jagung miliknya. Musim panen telah tiba baginya. Seperti biasa petani-petani di Timbulan menggunakan jasa sesama petani untuk melakukan panen. Senda gurau, sambil sesekali cemas akan cuaca yang tak menentu menjadi ciri khas panen jagung di musim hujan.
Bagi Hampung Tita, panen kali ini tidak maksimal. Tongkol jagung terlihat kecil dibanding biasanya, pohon jagung mati perlahan akibat serangan hawar daun, serta serangan hama tikus dan babi hutan.
Pupuk adalah faktor produksi yang krusial bagi petani. Mengingat pupuk berfungsi sebagai pasokan utama nutrisi agar pertumbuhan tanaman bisa optimal. Sehingga, produksi saat panen maksimal. Realitanya, pasokan pupuk subsidi sangat terbatas, hanya sekitar 37-42 % dari total kebutuhan petani di Indonesia. Di sisi lain, harga pupuk non subsidi mahal.
Mahalnya harga pupuk tentunya sangat memberatkan bagi petani-petani jagung. Petani juga juga tidak dapat berharap banyak terhadap pupuk subsidi. Bagaimana mau berharap? Jatah yang didapatkan terkadang hanya 20 kg dalam satu periode tanam. Untuk memupuk lahan 1 rante Jagung saja kurung. Sangat memprihatinkan memang.
Kurangnya suplai nutrisi tentunya membuat produksi akan semakin merosot sehingga tak jarang membuat petani semakin merugi. Tak hanya soal pupuk, penyakit hawar daun menjadi ancaman baru bagi petani-petani Jagung. Penyakit yang menyerang tanaman di usia muda membuat tanaman kelihatan lebih cepat panen, akan tetapi menyebabkan produksi jagung berkurang hingga 50%. Realita di lapangan, dengan pemupukan yang baik, sekitar 500 kg/ hektare, sebelum hawar daun menyerang, petani mampu memproduksi jagung sekitar 8 ton pipil kering. Semenjak hawar daun menyerang, meskipun pemukan baik, petani hanya mampu memproduksi sekitar 4 ton pipil kering. Produksi merosot, petanipun merugi.
Tak sampai di situ, petani juga harus dihadapkan dengan hama babi hutan, monyet dan juga tikus. Tak jarang serangan hama-hama ini membuat petani hanya mampu memanen sekitar 50% tanaman jagungnya. Para petani harus berjuang lebih ditengah gempuran mahalnya pupuk dan penyakit, mereka harus turut serta memburu babi hutan, mamuro (baca: menjaga tanaman dari serangan hama), serta mengeluarkan ongkos lebih untuk meracun hama tikus.
Lemahnya Perhatian Pemerintah