Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang cukup heterogen. Hal ini bisa dilihat dari aspek Agama, Suku, Bahasa, hingga Ras. Keberagaman yang menjadi kekayaan sekaligus kekuatan. Bhinneka Tunggal Ika, perbedaan yang mempersatukan.
Perbedaan ini pulalah yang menjadikan bangsa ini terbuka dan egaliter. Termasuk dalam penerimaan perbedaan. Akan tetapi, kekuatan yang dimiliki bangsa mulai coba-coba diusik oleh pemikiran segelintir orang.
Kondisi ini kembali mengingatkan kita pada masa pascakemerdekaan, di mana muncul kelompok-kelompok yang mencoba mengganggu keutuhan bangsa. Kita sangat beruntung mempunyai pemimpi nasional sekaligus Presiden pertama bernama Bung Karno dan ulama bijaksana bernama KH. Abdul Wahab Chasbullah yang teguh akan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kiai Wahab dan Halalbihalal
Sumber sahih halalbihalal memang menjadi pertanyaan hingga saat ini. Sebagian besar menyebutkan bahwa KH Wahab Chasbullah merupakan pencetus pertama Halalbihalal. Halalbihalal dicetuskan untuk mengatasi situasi politik Indonesia kala itu. Pasca-proklamasi kemerdekaan 17 tahun 1945, tepatnya tahun 1948 Indonesia mulai dilanda dilanda gejala disintegrasi bangsa.
Jurang pemisah mulai muncul di antara sesama elit politik, muncul perselisihan pandangan yang berujung pada konflik internal sehingga sulit berdialog dalam satu forum. Kondisi ini berujung pemberontakan atas dasar Agama dan ideologi tertentu.
Kemunculan pemberontakan kelompok DI/TII dan Partai Komunis Indonesia (PKI) ditengarai menjadi ancaman dan berpotensi memicu disintegrasi bangsa. Untuk itu dibutuhkan solusi memecahkan masalah tersebut.
Selanjutnya, Bung Karno sebagai Presiden Republik Indonesia memanggil KH Wahab Hasbullah untuk berembuk. Sang Kia mengusulkan kepada Presiden untuk segera menyelenggarakan silaturahmi nasional. Bung Karno menyambut baik ide bagus tersebut, namun istilahnya harus diubah agar lebih spektakuler dan menggugah.
Sehubungan dengan masa Idul Fitri, oleh Kiai Wahab elit politik harus saling bersilaturahmi satu dengan yang lain. Saling menyalahkan satu dengan yang lain harus segera diakhiri. Apalagi menurut ajaran agama itu dosa (haram).Â
Supaya mereka tidak punya dosa lagi, maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturahmi yang dicangkan oleh Bung Karno dan Kiai Wahab selanjutnya disebut dengan istilah Halalbihalal.