[caption id="attachment_170800" align="aligncenter" width="594" caption="Para pemain timnas Zambia merayakan kemenangan usai kalahkan Pantai Gading di final Piala Afrika 2012 di Stade d'Angondjé kota Libreville (Gabon)"][/caption] Sejak awal turnamen Piala Afrika 2012 mayoritas publik sepakbola unggulkan Ghana, Tunisia, Mali, Pantai Gading, dll..tapi kemudian semua pun terbelalak saat ZAMBIA mengangkat trophy! Final Piala Afrika 2012 (African Cup of Nations 2012) baru saja usai. Perjalanan penuh elegan dari tim unggulan Pantai Gading pun berakhir setelah midfielder Zambia Stophira Sunzu yang masih muda usia 22 tahun menaklukkan kiper Pantai Gading Boubacar Barry dan menutup skor akhir adu penalti 8-7 untuk kemenangan Zambia. Sunzu dkk pun bergemuruh bahagia, bahkan pelatih Hervé Renard (si Libra dari Prancis) pun meluapkan kegembiraannya dengan menggendong kapten Christopher Katongo keliling separuh stadion kebanggaan kota Libreville ibukota Gabon. Sepertinya si Libra yang mantan defender ini berjodoh dengan kota Libreville. Hehehe, maaf sedikit maksa, mungkin karena aku dan Monsieur Hervé sama-sama Libra. Ehhh... [caption id="" align="aligncenter" width="594" caption="(Foto: FRANCK FIFE/AFP/Getty Images)"][/caption] Tak perlu pertanyakan kualitas Pantai Gading. Dengan taburan bintang liga-liga top Eropa seperti Didier Drogba, Salomon Kalou, Toure bersaudara, Gervinho, Eboe, apakah teman-teman pernah melihat aksi pemain-pemain seperti kiper Kennedy Mweene, kapten Katongo, si Chisamba Lungu, si Stophira Sunzu yang membuyarkan mimpi Kolo Toure dkk, atau si Rainford Kalaba yang gagal dalam penalti tadi? Wajah-wajah asing, bukan? Ya..mereka tidak kita lihat tiap akhir pekan menonton Liga Inggris, Spanyol, Italia, dan liga-liga Eropa lainnya. [caption id="" align="aligncenter" width="594" caption="Ekspresi Didier Drogba setelah mimpi juara buyar (Foto: FRANCK FIFE/AFP/Getty Images)"][/caption] Sepakbola memang penuh drama, penuh keajaiban, dan bola memang bundar. Zambia secara mengejutkan menyingkirkan bintang-bintang Senegal dan menjuarai Grup A, menyingkirkan Sudan di perempatfinal, lalu secara mengejutkan menghentikan prediksi final impian dengan mengalahkan tim favorit Ghana, dan menantang tim penuh bintang liga Eropa di final. Waktu normal 90 menit plus 2 x 15 menit tambahan waktu tetap berakhir dengan skor kaca mata, meski sebenarnya Pantai Gading mendapatkan kesempatan emas pada menit ke-70 tetapi Didier Drogba malah gagal penalti. Dia memang sukses dalam adu penalti, tetapi publik Pantai Gading pasti kecewa berat pada kapten mereka ini.
Adu penalti memang selalu penuh drama, penuh keajaiban, penuh hal-hal tak terduga. Siapa sangka Kolo Toure tak bisa kelabui Mweene yang tak sekalipun main di level Eropa dan Gervinho yang kenyang mental bertanding di level atas Eropa malah gagal penalti? Siapa sangka Drogba yang langganan penalti di Chelsea malah gagal justru di saat paling penting dalam karirnya di timnas? Siapa sangka Ghana takluk oleh tembakan Chipolopolo (The Copper Bullets) alias "peluru tembaga"? Ya..barangkali hanya publik Zambia sendiri yang yakin dengan peluru tembaga yang dibidik kapten Katongo dkk. Dan tentu saja yang paling yakin adalah si Herve Renard!
[caption id="" align="aligncenter" width="594" caption="Para pemain Zambia menjunjung si Libra yang beruntung: Monsieur Herve Renard ISSOUF SANOGO/AFP/Getty Images)"][/caption] Terlalu panjang untuk membahas jalannya pertandingan, soal jumlah tembakan, tembakan ke gawang, pelanggaran, jumlah penyelamatan, persentase penguasaan bola, jumlah kartu, silahkan cari sendiri jika tertarik dengan statistik-statistik tersebut. Meski data-data itu penting untuk melihat kembali hasil final dan menemukan jawaban atas seluruh kesangsian atas kemampuan Zambia, tetapi bagiku yang lebih memilih nonton pertandingan final tadi ketimbang laga Madrid vs Levante yang ditayangkan bersamaan, Zambia memang bermain luar biasa dalam pertandingan tadi, tapi terutama sangat dinaungi keberuntungan yang hanya bisa dimengerti secara mitologi. Jika skill bermain itu adalah hasil teknologi dalam sepakbola (fasilitas latihan dan sepakbola Eropa yang mengindustri), maka keberuntungan dalam sepakbola adalah mitologi. Tidak hanya Afrika yang begitu dekat dengan hal-hal mistik. Tapi sejarah panjang peradaban dunia memang tak bisa begitu saja melupakan mitologi saat teknologi makin mendominasi. Jika teknologi adalah sayap untuk terbang tinggi ke langit sains, maka mitologi adalah sirip ikan untuk menyelami kedalaman laut kehidupan manusia. Dan kita manusia berpijak di bumi, kadang terbang tinggi, kadang juga menyelam ke kedalaman.
Kawan-kawan, semoga beruntung hari ini. Selamat pagi.
[caption id="" align="aligncenter" width="594" caption="Kalian sudah berjuang, kawan-kawan. Semoga beruntung di kesempatan lain, dan saatnya kembali ke Eropa. (Foto: FRANCK FIFE/AFP/Getty Images)"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H