"Liga Spanyol sudah ada sebelum Guardiola dan akan tetap ada tanpa Guardiola," - Aitor Karanka, asisten pelatih Real Madrid. [caption id="" align="alignnone" width="594" caption="BARCELONA, Spanyol - 03 Mei 2011: Asisten pelatih Real Madrid Aitor Karanka berjabatan tangan dengan pelatih Barcelona Josep Guardiola dalam leg kedua semifinal Liga Champions UEFA 2010-11 antara Barcelona dan Real Madrid di Nou Camp (Photo oleh Angel Martinez/Real Madrid via Getty Images)"][/caption] Demikian Karanka mengomentari romantisme bolamania yang sebagian galau selepas Pep memutuskan pergi akhir musim ini. Apakah kepergian Pep jadi akhir era keemasan Barcelona? Apakah tiki-taka akan berlalu? Apakah Messi akan tetap setajam sekarang? Jangan dijawab dulu, musim ini bahkan belum berlalu. La Liga sudah bergulir sejak musim bola 1929, meski kompetisi sepakbola Spanyol bermula sejak Piala Raja 1902. Itu artinya sekitar 41 tahun sebelum Pep Guardiola lahir, dan tetap bergulir sepanjang 41 tahun usia Pep saat ini. Pep jadi bagian La Liga sejak merumput bersama Barca pada 1990 atau 60 tahun sejak La Liga bergulir. Hingga musim ini La Liga telah bergulir 81 musim. Dalam lintasan sejarah 81 musim La Liga, Pep adalah akar kuadrat. Kenapa bisa jadi hitungan matematika? Karena eh karena, Pep telah menjuarai 9 musim. Kok bisa? Ya bisa, 6 musim sebagai pemain Barcelona yakni musim 1990-91, 1991-92, 1992-93, 1993-94 (empat musim berturut-turut) lalu musim 1997-98, dan 1998-99. Saya sedang menulis tentang La Liga, jadi trophy lain sebagai pemain Barcelona tak perlu masuk hitungan: dua gelar Piala Raja, empat trophy Piala Super Spanyol, sebuah Piala Champions dan Piala Winners, dua kali Piala Super Eropa. Enam musim sebagai pemain dilengkapi dengan juara 3 musim saat melatih Barcelona, berturut-turut sejak musim 2008-09, 2009-10, dan 2010-11. Musim 2011-12 ini, seandainya Madrid terpeleset sampai akhir, dan secara ajaib Barcelona menjadi juara, maka Pep akan mengulang prestasi 4 musim juara berturut-turut seperti saat jadi pemain. Secara matematis, keajaiban itu masih mungkin terjadi! Ia masih punya 10 trophy bergengsi lainnya untuk Barcelona, yakni sekali Piala Raja Spanyol, hat-trick Piala Super Spanyol, masing-masing dobel trophy Liga Champions, Piala Super Eropa dan Piala Dunia Antarklub. Tiga belas trophy dalam empat musim: angka 13 bertuah "sial" untuk klub-klub lain, terutama saingan klasik Real Madrid, tetapi hoki untuk Barca era Pep. Karena ada 13 trophy yang lolos dari jangkauan seteru klasik Madrid sepanjang 4 musim terakhir. Dan barangkali itu salah satu latar komentar pedas Karanka. Apakah Karanka iri? Jika pencapaian trophy yang jadi pamer-pamer-an di antara keduanya, trophy Pep tentu lebih penuh lemari. Tetapi tunggu dulu, mari kita ingat lagi pencapaian Karanka. Aitor Karanka cuma adik 2 tahun dari usia Pep. Dia juga baru debut di La Liga 2 musim setelah Pep yakni 1993 membela klub sejak kecil Athletic Bilbao. Adalah Jupp Heynckes yang memberinya debut sebagai bek, lalu ia bermain selama 4 musim berikutnya. Adalah Heynckes pula yang memboyong Karanka ke ibukota saat dia melatih Real Madrid pada 1997. Jika Panucci adalah bek favorit Fabio Capello, demikianlah Karanka di mata Heynckes. Namun, saat Jupp pindah di akhir 1998, Aitor tetap bertahan hingga musim 2002 berakhir. Adalah Jupp pula, bersama Bayern Munich tentunya, yang pekan lalu membuat Karanka menangis di Bernabeu. Betapa perjumpaan kadang menghadirkan duka. Ciehh... Selama 5 musim membela Madrid, meski tak selalu jadi pilihan utama di jantung pertahanan Madrid, pemilik kostum putih-putih No. 18 ini jadi bagian dari tiga trophy Liga Champions 1997-98, 1999-00, 2001-2002 bersama Madrid. Ia juga jadi bagian gelar La Liga 2000-01, Piala Interkontinental 1998 dan Piala Super Spanyol 1997 dan 2001. Jadi total trophy Karanka sebagai pemain "hanya" TUJUH. Bandingkan 16 trophy Pep selama memakai kostum No. 4 Barcelona. Peran keduanya baik bumi dan langit di level timnas, karena Karanka hanya bersinar kala level junior, hanya sekali membela La Furia Roja. Sementara Pep...ahh tak usah disebut saja yaa..nggak enak sama om Aitor. Hehehe. Apalagi kalau gelar individual seperti pelatih terbaik dunia, dll...wahh, makin kuat dugaan bahwa komentar Karanka tadi adalah sebuah kecemburuan. Bahkan meski Karanka musim ini lebih jumawa dari Pep dengan gelar La Liga no. 31. Saya hanya ceritakan lagi latar keduanya di masa aktif bermain. Sedangkan komentar Karanka lebih terbaca sebagai bagian dari "perang" klasik Real Madrid dan Barcelona. Itu bumbu pedas sepakbola. Meski ada benarnya juga, La Liga telah 81 musim, dan filosofi main Barcelona yang 4 musim terakhir disempurnakan menjadi tiki-taka telah ada sejak era 1990-an awal. Jadi, setelah Pep pergi pun Tito Vilanova pun tidak terlalu kesulitan menjaga ritme tiki-taka. Sepanjang La Masia masih melahirkan pemain-pemain seperti Messi, Xavi, Iniesta, Puyol, dll ya Barcelona tetap akan sukses. Itu sudah DNA klub berprestasi. Sebab klub Catalan itu telah berdiri perkasa menantang penguasa Spanyol sejak 1899. Jadi, setelah Pep pergi pun La Liga tetap bergulir indah, dan Spanyol masih akan merajai sepakbola Eropa. Apalagi musim ini, meski tak ada final El Clasico di puncak Liga Champions, toh masih ada klub "asli" Karanka di puncak Liga Europa kala Athtetic Bilbao berjumpa Atletico Madrid di Romania nanti. Sementara itu, biarlah fans Barca beromantisme dengan pujaan Catalan. "Aku pergiiiii...tak kan lamaaaa...." begitu Pep bernyanyi. Hehehehe. Salam bola :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H