Mohon tunggu...
Pianologi
Pianologi Mohon Tunggu... Pengacara - Suka numerology

__ sedang menunaikan ibadah mengetik kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

April Mop Berdarah

1 April 2012   19:28 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:09 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sedini ini, hari yang kemarin. Kamu terperangah kala aku sedingin angin dini hari, menghunjam jantungmu dengan dua kali tusukan pedang kata, "Kita putus!".

Kamu seperti peziarah yang menyempurnakan takdir. Seperti telah lama mendapatkan nubuat bathin, bahwa suatu saat yang tak terduga, aku akan pergi. Kau seperti dalam kisah purba, tentang gadis yang menyalakan pelita dan menunggu pengantin laki-laki lewat. Angin dini hari telah begitu perkasa memadamkan nyala asa.

Aku yang kemudian bingung. Aku bayangkan kau seperti seseorang dari masa lampau yang menjerit lebih kencang dari klakson kereta api pada suatu senja. Tak ada jeritan, dan aku sadar setiap orang mempunyai karakter tersendiri dalam menanggapi hal apapun dalam hidupnya.

Tiga puluh menit berlalu. Tanpa suara kita, kecuali riuh pertandingan sepakbola di televisi. Aku sesekali melirik bingung, dan kau sibuk mengerutkan dahi sambil menyentuhkan jari ke layar ponsel pintarmu. Kau berjudi tanpa duit lagi dengan Solitaire-mu. Aku bingung mau mulai dari mana.

"Sudah lama aku mempertimbangkan ini." Kau menoleh, dan aku terkejut melihat matamu berkaca-kaca.
"Aku harus menunggu setahun untuk mengatakan hal ini. Tahun lalu aku melewatkan momen yang pas untuk pengakuan ini." Air matamu mulai menetes.
"Aku selalu kuatkan hati untuk mencintaimu sekuat rasa membebaskan hatimu...", suaramu seperti tercekik.
"Maafkan aku, aku hanya punya kesempatan saat ini untuk ungkap hal ini. Aku tak mencintaimu saat ini."

Tiga puluh menit berikutnya adalah isak yang tertahan. Seolah-olah dengan menjaga tangis tak sampai pecah kau sanggup menahan kepergianku dari hatimu. Aku hanya menatapmu, terjebak di antara haru, iba dan bingung. Apa yang barusan aku tikam ke hatimu?

Aku coba meraihmu ke dalam pelukanku, tapi kau bergeser menjauh. Aku makin bingung.
"Aku tak bermaksud menyakitimu. Hanya ini satu-satunya momen aku membolehkan diriku sendiri untuk mengatakan ini. Aku tak mencitaimu saat ini. Dan kau harus sadar bahwa ini hanya lelucon. Selamat April Mop, Sayang..."

Kau menatapku setajam silet. Aku menyeringai penuh kemenangan. Tak sampai sedetik kemudian handphond Xperia yang kau pegang mendarat sukses di jidatku!!!

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun