Pelajaran Berharga Bagi Para Calon Presiden dan Wakil Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia 2014 mendatang, mutlak harus belajar kepada Rhoma Irama
Dibalik hiruk-pikuk proses pencapresan saat ini, banyak media eloktronik, surat kabar maupun media sosial dan masyarakat membicarakan keraguan, kekhawatiran, cemoohan yang datang silih berganti dan tiada henti-henti terhadap seorang Raja Dangdut. Ada apasih dengan Bang Haji? Apakah dia tidak boleh mencalankan diri sebagai seorang presiden? Bukankah itu hak setiap warga Negara sesuai dengan undang-undang? Tidak ada salahnya seorang Rhoma Irama mencalonkan diri untuk mewujudkan impian besar bangsa ini. Kita harus acungkan jempol atas niat baik Bang Haji tersebut. Kita harus hargai hak dan pendapat orang lain dalam berkehidupan kebangsaan di Negara yang berBhinneka Tunggal Ika ini.
Kita sama-sama mengetahu, Rhoma Irama melalui Kerajaan Dangdutnya berhasil mengharumkan nama bangsa ini di dunia Internasional melalui kerja keras jabatan yang disandangnya sebagai seorang raja dangdut. Dangdut menasional sampai keseluruh pelosok nusantara, tidak ada satupun rakyat Indonesia ini yang tidak kenal dengan musik dangdut. Musik dangdut menjadi musik paling favorit dan digemari di seluruh tanah air dan mendapatkan tempat dihati khalayak ramai. Bahkan, musik dangdutpun mendunia dan mendapat tempat dihati masyarakat dunia internasional. Ini tidak bisa kita pungkiri dan abaikan jasa dan kerja keras seorang Rhoma Irama.
Jika kita menganggap angin lalu, disitulah letak kesalahan besar kita masyarakat bangsa Indonesia ini yang berbhinneka Tunggal Ika dan Pancasila sebagai dasar Negara (4 Kesalahan Besar Bangsa Indonesia http://politik.kompasiana.com/2014/05/01/4-kesalahan-besar-bangsa-indonesia-652937.html).
Tidak bisa kita pungkiri, kefavoritan musik dangdut di Indonesia yang mampu menyatukan rakyat Indonesia, masyarakat banyak menikmati alunan musiknya dengan penuh kegembiraan, kebahagiaan, tidak ada yang bersedih hati karenanya dan diikuti dengan tarian dan goyangan yang membuat nuansa bertambah meriah. Begitu meriah sambutan masyarakat Indonesia terhadap music dangdut yang dikomandoi oleh Sang Raja Dangdut.
Itulah sisi positif dari seorang Rhoma Irama. Kita rakyat Indonesia harus mampu berbesar hati menghargai sekecil apapun itu karya orang lain. Dan berusaha pulalah kita untuk berbesar hati melupakan dan memaafkan kesalahan-kesalahan orang lain sebesar apapun itu. Saling menghomati dan menghargai orang lain tanpa pandang siapa dan apapun dia sebagai wujud dari nilai-nilai luhur Pancasila dasar Negara kita dalam hidup berBhinneka Tunggal Ika ini.
Seorang Presiden dan Calon Presiden harus mampu menyatukan kebhinnekaan rakyat Indonesia dan harus belajar kepada Rhoma Irama, karena seorang Presiden bukanlah memimpin suku, ras, adat, agama dan daerah tertentu saja, memimpi nusantara yang berbhinneka tunggal yaitu Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia http://politik.kompasiana.com/2014/04/29/presiden-negara-kesatuan-republik-indonesia-652248.html).
Seorang Presiden dan Calon Presiden harus belajar kepada Rhoma Irama tentang beberapa hal; 1.   Bagaimana caranya agar bisa menyatukan rakyat Indonesia yang berBhinneka ini? 2.   Bagaimana caranya agar bisa mendapatkan tempat di hati masyarakat Indonesia? 3.   Bagaimana caranya agar rakyat Indonesia bergembira ria menyambut musik dangdut? 4.   Bagaimana caranya agar seluruh penjuru nusantara tau dan tertarik dan bahkan digemari masyarakat musik dangdut ini? 5.   Bagaimana caranya agar bisa mendapatkan tempat di hati masyarakat dunia Internasional?
Inilah pertanyaan yang wajib diajukan dan dipelajari oleh seorang Presiden dan Calon Presiden terhadap Bang Haji Rhoma Irama. Jika Rhoma Irama mampu menyatukan Nusantara melalui musik dangdut, tentunya seorang Presiden atau Calon Presiden mengkonversikannya cara-cara bang Haji melalui visi dan misi serta program-program yang diusung dan dijalankan yang berdasarkan Pandasila dan Undang-Undang Dasar dalam rangka mewujudkan kedamaian, keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali.
Ketapang, 03 Mei 2014