Pangeran Siahaan -salah satu esais favorit saya- dengan sangat apik menarasikan dalam tulisannya bahwa area tengah harus dikuatkan dalam kontes politik negeri ini untuk bisa membangkitkan akal sehat yang telah lama mati.Â
Lebih lanjut Pange mengatakan bahwa sisi kritis masyarakat harus diperbanyak agar kritikan untuk kepentingan publik tersampaikan kepada para elit politik. Dan ia pun mengingatkan ketika kritikan itu diberikan, kritik tersebut harus dipandang sebagai respon dari rakyat kepada para pemimpinnya - bukan sebagai serangan politik.
Walau ia tak menafikan pula sebetulnya dalam keadaan rakyat yang sudah terpolarisasi ini, anggapan bahwa; jika kita mengkritisi petahana maka akan dianggap sebagai kubu oposisi, dan sebaliknya jika kita mengkritisi oposisi maka kita akan dituduh sebagai peliharaan petahana. Dari situlah munculnya alasan masyarakat malas berpikir kritis, karena sejatinya saat kita mengkritik salah satu dari dua kubu yang berkompetisi, kita akan dianggap kubu dari musuh yang kita kritisi.
Saya kira wajar jika banyak interpretasi tentang praktek demokrasi kita yang sudah tidak ideal lagi. Karena memang demokrasi yang diterapkan saat ini sudah jauh dari akal sehat dan objektivitas. Demokrasi kita saat ini dipengaruhi oleh sifat emosional yang sudah semakin meninggi, tidak ada esensi yang bisa diambil lagi.
Memang pada hakikatnya manusia adalah hewan politik yang haus akan kekuasaan. Tapi jika akal sehat semakin tergerus dan akal pikiran kita akhirnya dipenuhi oleh rasa emosional, maka tamatlah demokrasi yang seharusnya mewujudkan kebaikan secara kolektif untuk negeri ini.
Ditambah juga sikap adil yang semakin luntur dalam masyarakat kita, munculnya sifat terlalu benci dan terlalu mencintai salah satu kubu membuat sikap adil semakin mengikis dalam rasionalitas masyarakat Indonesia.Â
Sifat terlalu cinta terhadap apa yang didukungnya, membuat mereka mengagungkan sekecil apapun hal yang dilakukan jagoannya tersebut - apa yang dilakukannya selalu benar dan tak bisa disalahkan - dan sebaliknya, sifat terlalu membenci kepada kubu musuhnya, memberikan pola pikir bahwa apapun yang dilakukan oleh kubu tersebut adalah sebuah kebathilan yang harus disalahkan - Â apa yang dilakukannya salah dan tidak ada kebenaran - sifat memihak yang terlalu fanatik itulah yang melunturkan sikap adil.Â
Walaupun memang, pada dasarnya kontestasi politik ini adalah untuk memenangkan jagoan mereka, tapi keberpihakan yang tidak didasari keadilan serta objektivitas, menodai praktek demokrasi negeri ini. Dan itulah yang sangat disayangkan, karena pada akhirnya, terlihatlah komposisi kontestasi politik kita ini sudah sampai dihierarki yang sangat meresahkan, karena telah hilangnya akal sehat dan sikap adil yang seharusnya digunakan untuk memprakarsai demokrasi negeri kita. Â
Kita harus sadar dan berpikir, bahwa; perlunya kita membangkitkan akal sehat dan sikap adil yang sempat mati karena efek dari kontestasi politik yang sudah sangat karut marut melintang dalam kontes politik negeri ini.Â
Dengan mencoba berpikir objektif dan mendalami informasi yang diterima, itu sudah mematisurikan akal sehat kita untuk menangkap isu-isu yang tengah bergelimpangan disudut media cetak maupun digital.Â
Menggunakan politik akal sehat juga perlu dilakukan oleh masyarakat kita, memilih pemimpin berdasarkan prinsip meritokrasi akan membangkitkan akal sehat kita, dan itulah yang harus ditanamkan. Bukannya dengan memainkan politik identitas dan kampanye hitam, yang seharusnya dihilangkan dalam spektrum politik negeri ini.