Selepas perdebatan itu saya kembali merenungi setiap kejadian-kejadian yang berlangsung dalam perdebatan tersebut. Juga Catatan Dewa Gilang coba ku resapi pesannya.
Cukup Hening dalam beberapa saat.!!!
Akhirnya saya menemukan beberapa pelajaran berharga.
Banyak dari kita sering kali memposisikan seorang seperti Dewa Gilang secara tidak proporsional dalam penilaian kita. Menilai dan mempreteli catatannya sesuai selera Si Penilai bukan memahami catatan itu sebagaimana yang dia maksudkan.
Sebagai Citizen Jurnalism dia menjadikan tulisan yang kemudian dikemas dalam bentuk sebuah catatan media sosial facebook sebagai media kontrol dan kritik atas fenomena sosial yang dihadapi Dewa Gilang dan rakyat Buton.
Pun Facebook, mungkin saja dipilihnya sebagai sarana untuk mengingatkan semua pihak, terkhusus pemerintah, LSM, Mahasiswa, Rakyat Buton agar sadar dengan kenyataan pahit yang ada di Buton.
Fenomena Kemiskinan Struktural, Buton Perantauan dan Ironi Aspal Jalan dipilihnya sebagai tesis yang mungkin saja direnungkannya secara mendalam. Sampai kemudian dia menyimpulkan dengan nada ironi “ada yang salah dari negeriku, Buton”.
Tapi Agak keliru juga kalau menilai Dewa Gilang putus asa. Sebab ia juga menyeru
“Wahai yang hatinya masih terselip harapan,”
“Wahai yang akalnya untuk mencari kebenaran,”
“Wahai yang suaranya untuk perubahan,”
Sebelum kemudian dia mengakhirinya dengan berkias bahwa “Saya Malu sebagai Orang Buton”. Sebuah kalimat akhir yang bagi sebagian orang kedengaran “bodoh”.
Tapi boleh jadi ia menyiratkan makna terdalam bahwa dia sadar atas berbagai fenomena pahit di daerahnya, namun tak bisa berbuat apa-apa. Sehingga batinnya berontak “ Saya Malu sebagai orang Buton”.
Wallahu 'alam (***)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H