Pada saat itu krisis global (GFC) pada tahun 2008-2009 menyebabkan kegagalan bisnis pada tata kelola perusahaan dilembaga keuangan. Para peneliti banyak melakukan penelitian terhadap tata kelola perusahaan dan keragaman dewan untuk mengeksplorasi kekuatan pendorong dibalik peristiwa merugikan tersebut. Dewan perusahaan memainkan peran yang krusial didalam perusahaan salah satunya sebagai pembuat keputusan strategis, mereka juga memainkan peran diantara pemegang saham, pemangku kepentingan dan manajer untuk memecahkan masalah keagenan. Kinerja dewan perusahaan banyak dipengaruhi beberapa faktor termasuk indepedensi, ukuran dan keragaman. Diantaranya, keragaman dewan diantaranya salah satu cara paling efektif untuk meningkatkan kinerja perusahaan. maka dari itu saya selaku penulis , melihat bahwasanya dibeberapa negara banyak penerapan keberagaman menjadi salah satu faktor kesuksesan suatu perusahaan.Â
Melihat perkembangan industri keuangan global yang cukup pesat dalam beberapa dekade terakhir mencapai ukuran aset total US$3 triliun pada tahun 2018. Ini terdiri dari 1.389 lembaga keuangan Islam (IFI) dan jendela Islam. Perbankan syariah menyumbang 71% dari total aset industri dengan tingkat pertumbuhan rata-rata kumulatif 5% (Thomson Reuters, 2018). Semakin banyak bank Islam (IB) telah didirikan di negara-negara Muslim dan non-Muslim, sementara beberapa bank konvensional telah mulai menyediakan produk dan layanan Syariah kepada pelanggan mereka. Dengan demikian, IFI telah mendapatkan penerimaan internasional dan menjadi pesaing kuat bank komersial.Â
Studi ini berpendapat bahwa bank umum syariah penuh (FFICBs) harus lebih fokus pada pemberdayaan peran keragaman pada DPS untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Argumen ini memiliki aspek teoretis dan praktis. Dari dimensi teoretis, peningkatan keragaman DPS pada PJK sejalan dengan semangat sistem keuangan syariah. Dimasukkannya beragam latar belakang dalam hal gender, pendidikan, pengalaman, keahlian, reputasi, lintas keanggotaan diharapkan dapat meningkatkan kredibilitas IB sebagai institusi yang etis dan berbasis nilai serta meningkatkan citra dan reputasi mereka di mata pelanggan dan lainnya. pemangku kepentingan. Karakteristik anggota DPS juga dapat mempengaruhi efektifitas DPS dalam menjalankan tugasnya.Â
Tata kelola perusahaan di Bank Syariah cukup unik karena sifat keuangan islam yang berbeda dengan konvensional. Keunikan ini menimbulkan tantangan tambahan bagi Bank Syariah dalam tata kelola perusahaan termasuk pengendalian internal, manajemen risiko, transparansi, persetujuan Syariah, audit eksternal dan pengawasan kehati-hatian. selain itu, mode kontrak bisnisnya cukup penting di bank syariah, misalnya mudarabah kontrak (kemitraan bagi hasil), manajer Bank Syariah bertindak sebagai agen bagi pemegang saham serta sebagai mudarib untuk pemegang rekening investasi (IAH). Situasi ini meningkatkan kemungkinan konflik kepentingan bagi manajer Bank Syariah dalam mencapai trade-off antara kepentingan pemegang saham dan IAH.
Masalah keagenan lebih relevan dengan SSB. Anggota DPS biasanya ditunjuk oleh manajemen bank dan menerima remunerasi dari IB. Karena SSB seharusnya bertindak sebagai badan utama untuk memastikan kepatuhan Syariah terhadap produk dan layanan serta sebagai agen IAH, peran mereka mungkin tunduk pada potensi konflik kepentingan.Â
Menurut Standar Tata Kelola AAOIFI No. 1, DPS harus merupakan badan independen dari sarjana hukum yang mengkhususkan diri dalam fiqh al-mua'malat (yurisprudensi komersial Islam). Prinsip tersebut juga menyatakan bahwa: "Setiap lembaga keuangan syariah wajib memiliki DPS yang ditunjuk oleh para pemegang saham dalam rapat umum tahunan mereka atas usul dewan direksi dan harus terdiri dari setidaknya tiga anggota. DPS dapat meminta jasa konsultan yang memiliki keahlian di bidang bisnis, ekonomi, hukum, akuntansi dan/atau lainnya" (AAOIFI, 2010).Â
(Alman, 2012;Hamzah, 2013).Mashal (2008)mengklaim bahwa empat jenis sistem pengawasan Syariah diterapkan di berbagai yurisdiksi:Â
(1) Dewan Syariah Pusat (Nasional) tanpa komite Syariah institusional (di Iran).Â
(2) CSB bersama dengan komite Syariah institusional (di Malaysia dan Sudan).Â
(3) Komite Syariah Institusional tanpa Komite Syariah Pusat (di Arab Saudi).Â
(4) Komite Syariah Institusional dengan pengawasan minimal oleh Kementerian Wakaf dan Urusan Islam (di Kuwait)