[caption id="attachment_350825" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi dari komangsuarsana.com"][/caption]
Tulisan-tulisan berupa berita atau artikel di media online sangat variatif tingkat daya tariknya. Hal ini sangat nampak pada pengunjungnya. Namun, perlu diingat bahwa tingginya trafik bukan berarti memastikan manfaat yang lebih positif dari tulisan atau artikel tersebut. Artikel atau tulisan yang berbicara tentang hal-hal yang mengundang perbedaan pendapat pun, bisa saja ramai dikunjungi namun itu sering tidak bermanfaat karena bisa mengancam kerukunan. Salah satu jenis artikel yang masuk dalam kategori "ramai" tapi tidak tepat guna adalah artikel-artikel yang berbicara soal suku, etnis, agama, ras dan hal lainnya yang sering dikenal dengan istilah "rasis". Artikel-artikel model ini sering menimbulkan perbedaan pendapat bila dalam artikel tersebut terdapat salah satu atribut yang ditonjolkan dan yang lain direndahkan.
Lagi-lagi, tulisan saya ini berbicara seputar etika jurnalistik, yakni berupa pedoman bagi para jurnalis dalam menuliskan berita atau artikel yang berbicara tentang agama. Menulis berita tentang agama harus sangat hati-hati bahkan dianjurkan untuk tidak menuliskan bila hal itu akan menimbulkan perbedaan pendapat. Di sini saya tidak bermaksud menggurui, tapi saya hanya mengingatkan bahwa pada tanggal 23 Desember 1979 yang lalu, Departemen Agama telah menetapkan 10 pedoman bagi wartawan dalam menulis berita tentang agama. Artikel ini merupakan kelanjutan dari tulisan saya berjudul "Sepuluh Pedoman Penulisan Tentang Hukum" yang saya publikasikan bulan lalu.
Menulis berita "Agama" pun, ada aturannya
Agar tidak terlalu panjang, saya langsung mengutip 10 pedoman penulisan berita tentang agama yang ditetapkan oleh Departemen Agama itu:
- Wartawan Indonesia memahami mengapa negara Republik Indonesia mengurusi agama. Karena hal itu disebutkan dalam UUD 1945, perlu dipahami bahwa negara tidak mencampuri hal-hal yang bersifat intern agama, hanya bersifat mengarahkan dan memberikan bimbingan.
- Wartawan Indonesia paham dengan peraturan perundang-undangan negara yakni bahwa negara berhak mengatur rakyatnya, sehingga dapat tetap bebas dan hidup rukun melaksanakan agamanya masing-masing.
- Wartawan Indonesia menyadari dalam menyajikan tulisan, berita, ulasan bidang agama, harus memiliki nalar khalayak (sence of audience) yang tepat, agar mengetahui betul lapisan masyarakat mana yang menjadi sasaran tulisannya.
- Wartawan Indonesia menyadari bahwa mempersoalkan masalah yang menyangkut khilafiah, yaitu masalah-masalah yang dapat menimbulkan perbedaan-perbedaan di bidang agama, dapat mengganggu kerukunan intern umat beragama. Oleh karena itu, wartawan harus menjauhi tulisan itu.
- Wartawan Indonesia mempersoalkan hal-hal yang menyangkut pokok-pokok kepercayaan (aqidah doktrin) dari berbagai agama yang berbeda dapat merusak kerukunan antar umat beragama. Oleh karena itu harus dijauhi tulisan itu.
- Wartawan Indonesia menyadari, bahwa tulisan yang mengundang kesalah-pahaman antar sesama umat beragama dan antarumat beragama dengan pemerintah, dijauhi dalam tulisannya.
- Wartawan Indonesia menyadari bahwa hal-hal yang mendukung sekularisme, atheisme, komunisme dan lain-lain yang bertentangan dengan agama, tidak dapat dibenarkan dalam negara Pancasila yang agamais dan dikalangan umat beragama yang Pancasilais.
- Wartawan Indonesia harus waspada terhadap hal-hal yang dapat memojokkan golongan agama tertentu, hanya karena perbuatan oknum tertentu dari golongan itu, yang dapat menimbulkan kerawanan dalam kehidupan beragama.
- Wartawan Indonesia harus waspada agar tidak memuat pikiran/surat pembaca yang emosional yang dapat menyinggung golongan lain.
- Wartawan Indonesia memahami pedoman ini dengan kesadaran bahwa agama mempunyai peranan positif dan penting dalam pembangunan negara dan dalam pembinaan akhlak bangsa.
Inilah sepuluh pedoman yang telah ditetapkan 35 tahun yang lalu. Saya mencari-cari pedoman terbaru, namun tidak menemukan ketetapan yang utuh seperti pedoman yang sudah ada ini. Jadi biarpun sudah sangat lama, saya yakin pedoman ini ditetapkan karena pada saat itu terjadi banyak keributan di antara rakyat akibat adanya berita-berita yang bersinggungan dengan SARA, terutama agama.
Alasan Kekhilafan
Baru saja, ada sebuah artikel di Kompasiana yang karena salah analogis atau semacamnya, memicu perbedaan pendapat dalam komentar-komentar yang ada. Bahkan, artikel tersebut sudah diseret-seret ke zona "rasis" oleh para komentator. Syukurlah bahwa artikel tersebut sudah dihapus oleh admin Kompasiana. Ini sebenarnya membuktikan bahwa ada kalanya kita kehilangan "konsistensi" dalam menuangkan ide lewat berita atau tulisan. Hal ini sangat dipengaruhi oleh suasana batin dan tekanan emosi. Penyebab lainnya adalah karena ketidaktahuan akan aturan yang berlaku. Alasan ini sangat kontekstual mengingat pemahaman terhadap dunia jurnalisme berbeda-beda bagi tiap orang. Oleh karena itu, dalam hal ini kita perlu saling mengingatkan agar hal-hal yang tidak diinginkan tidak terjadi di antara kita.
Kejelasan dan Ketegasan dalam Penokohan
Dalam menuliskan berita-berita yang berhubungan dengan pelanggaran HAM atau pelanggaran lainnya, kita harus tegas untuk tidak menggunakan atribut-atribut yang berbau SARA. Jauh lebih aman kita langsung merujuk pada "oknum" tertentu tanpa menambah embel-embel atribut yang dapat memicu kericuhan.
Penggunaan atribut yang tidak pada tempatnya dapat menjadi bahan pemula suatu perpecahan. Contoh, bila kita mengenal tokoh yang namanya "Amir" (ini hanya contoh) cukuplah sebutkan namanya. Atribut lain tidak perlu misalnya: "Amir yang adalah penganut agama Kristen, Amir yang adalah penganut agama Islam, dan lain-lain". Atribut tambahan ini hampir tidak ada gunanya karena tokoh yang dimaksud sudah sangat jelas yakni "Amir". Bila perlu menambah atribut lainnya untuk menjelaskan tokoh yang dimaksud, tambahkanlah mengenai usianya. Tidak perlu mencari atribut lain yang berhubungan dengan golongan untuk ditambahkan.