Lebih baik mencegah daripada mengobati, demikian adagium yang sering kita dengar dalam dunia kesehatan. Adagium ini pun sangat tepat digunakan bila kita berbicara tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak. Kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah sebuah penyakit yang tingkat penularannya semakin tinggi bila kita perhatikan selama satu dekade terakhir. Virus-virus kekerasan menular begitu cepat dengan berbagai cara. Keadaan ini sangat mempengaruhi kejiwaan terutama bagi mereka yang potensial menjadi korban dari penyakit yang satu ini.Â
Layaknya virus, kekerasan memiliki kondisi dan tempat yang sangat mempengaruhi pertumbuhannya. Contoh: virus HIV akan sangat cepat perkembangannya pada seseorang yang daya tahan dan kekebalan tubuhnya sangat kurang. Demikian pula kekerasan, ia akan cepat berkembang dan menular di tempat-tempat yang sangat kondusif untuk itu. Oleh karena itu, langkah awal yang harus dilakukan dalam konteks pencegahan adalah mengenali hal-hal yang menjadi faktor pendukung terjadinya kekerasan itu sendiri.
Beberapa hal berikut adalah faktor-faktor yang dapat saya sebutkan sebagai pendukung atau pendorong terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak:
- Aliran musik postmodernisme, dengan gaya dan iringan yang tidak hanya melibatkan rasio, tetapi melibatkan emosi dan intuisi. Sebuah penelitian dalam Jurnal Frontiers in Psychology mengatakan terdapat 40% koresponden mengakui bahwa nada-nada dengan rangkaian tertentu tertentu dapat menguatkan keinginan untuk disentuh dan menyentuh pasangan. Musik dengan alunan lagu yang diwarnai dengan goyangan, teriakan, desahan penyanyinya terdengar menarik dapat menimbulkan imajinasi pendengarnya. Imajinasi yang muncul biasanya lebih terarah pada daerah "cakrabawah" yakni melahirkan dorongan seks sebagai efek dari suara yang menstimulasi rangsangan seksual. Bagi mereka yang telah berkeluarga, hal ini tidak menjadi masalah. Namun, bagi kaum muda yang belum berkeluarga, penyaluran gairah seks dapat dilakukan melalui tindakan kekerasan, yakni, pemerkosaan.
- Tontonan Film Biru yang begitu mudah diakses di era teknologi digital mengungkapkan dua fakta hasil penelitian. Pertama, bagi mereka yang telah berkeluarga, menonton film porno dapat menurunkan gairah seks sehingga kebutuhan yang lazimnya harus dipenuhi untuk pasangan tidak dilaksanakan. Tidak memberi pun masuk dalam kategori kekerasan bila merujuk pada konteks ini. Â Bagi kaum muda, menonton film porno membangkitkan daya ingin tahu dan ingin mempraktekannya.
- Sarana komunikasi yang sangat modern, mudah, cepat dan tepat sasaran. Berbagai modus kekerasan dapat dibangun melalui alat komunikasi saat ini. Gadget yang menyediakan aplikasi jaringan sosial, facebook, line, whatsapp dan BBM memudahkan para pelaku untuk mengincar korban. Tahun 2015, penulis mencoba menelusuri dengan cara yang sederhana tentang perlakuan para pelaku kejahatan di dunia maya. Terdapat sekitar 1653 Group Sex di seluruh dunia, Â yang dibuat dalam aplikasi WA, BBM, Facebook, Twitter. Kegiatannya seputar call sex, chat sex, lifecam sex dan hal-hal lain yang berhubungan dengan kegiatan yang mengumbar nafsu seksual.
- Glamornya era teknologi yang mendorong tingkat kebutuhan masyarakat terhadap uang, melahirkan dorongan untuk mendapatkannya dengan berbagai cara. Ada yang menjual istri dan anak perempuan (menjadikan PSK) kepada para lelaki hidung belang, ada yang menelantarkan istri dan anak, dan bila juga tidak ada solusi untuk keinginan mendapatkan uang, dilampiaskan melalui amarah dengan kekerasan fisik kepada anak dan istri.
- Globalisasi yang makin merasuk mengakibatkan degradasi moral. Pendidikan budi pekerti dan agama menjadi tidak menarik sehingga tindakan kekerasan yang dulunya dipandang sebagai sebuah kejahatan, secara bertahap memasuki fase "lumrah" dan dianggap biasa. Ini yang sangat berbahaya.
- Direduksinya tujuan perkawinan hanya sebatas hal-hal yang material dan pemenuhan kebutuhan jasamani, tidak diarahkan kepada hal-hal yang spiritual dimana tujuan keluarga adalah saling menerima, saling melengkapi dan saling membahagiakan baik materi maupun rohani.
Masih banyak hal yang dapat menjadi pupuk dan tempat subur bagi berkembang biaknya virus kekerasan. Apa yang saya sebutkan di atas adalah beberapa hal yang paling mendominasi. Masih banyak hal lain yang sangat mungkin  untuk kita identifikasi.
Setelah melihat hal-hal di atas, pendorong terjadinya kekerasan terhadap perempuan lebih didominasi oleh pengaruh hawa nafsu. Kekerasan terhadap anak merupakan percampuran dari hawa nafsu dan pemenuhan kebutuhan metariil yang dikemas dalam gaya hidup hedonisme. Hal yang paling bisa kita lakukan adalah mencegah terjadinya kekerasan. Hanya dengan pencegahan, kita dapat memutuskan rantai ini secara bertahap. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai bagian dari upaya pencegahan:
- Kekhasan modernisme adalah rasio, filtering. Di zaman yang serba canggih ini, setiap orang akan terkatung-katung dalam lembah kekerasan bila tidak memiliki daya saring terhadap segala sesuatu. Penetapan skala prioritas dalam deretan nilai bisa menjadi tools untuk membantu kita menetapkan pilihan terhadap segala kebutuhan. Barangkali istilah ini memberi motivasi dalam membawa diri "Ikut jangan hanyut, membaur jangan melebur".
- Lagi-lagi, peran Guru dan Orang tua sangat dibutuhkan. Mereka adalah tokoh laksana tukang periuk. Di tangan merekalah terjadi pembentukan karakter bagi generasi berikut. Oleh karena itu, dunia pendidikan harus tetap menjadi bidang yang mendapat perhatian penuh.
- Pendidikan kontekstual, peningkatan pemahaman tentang saling menghargai. Sangat perlu sosialisasi tentang pendidikan sebelum perkwinan, pendidikan tentang seks, pengenalan teknologi digital dan lain sebagainya. Ada kecenderungan masyarakat kita lebih gampang digerakkan untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan peraturan. Sekarang, tugas kita adalah mengobah daya itu menjadi hal yang baik. Propaganda tentang nilai-nilai kebaikan sangat perlu diimplementasikan dalam banyak hal.
- Peran agama sangat penting dalam membina iman dan moral. Karena negara ini telah memberi jaminan kebebasan untuk memeluk agama dan melaksanakan kewajiban-kewajiban keagamaannya, alangkah baiknya agama yang diakui itu memperhatikan pembinaan iman dan moral pemeluknya melalui kehadiran para pemukanya.
Kembali ke topik pencegahan, saya lebih menegaskan sebagai upaya paling tepat dalam menghentikan kekerasan. Tahap penanggulangan dan pengobatan terhadap penyakit yang satu ini adalah tindakan yang sangat terlambat. Meskipun ada sanksi, ada hukum, ada denda, namun korban terhadap kekerasan (apalagi kalau telah menelan korban jiwa) telah berlalu, pergi dan tidak ada satu pun di antara kita yang mampu untuk memulihkan, mengembalikan atau menghidupkan mereka yang telah meninggal. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H