Mohon tunggu...
Fauziah Chairunnisa
Fauziah Chairunnisa Mohon Tunggu... -

May 20th 1994.\r\nDalam hidup terkadang kita tidak perlu terpaku pada satu tujuan. karena intuisi warna menceritakan hidup ini punya aneka warna yang tidak perlu kamu pilih tapi kamu harus coba. Karena dengan itu kamu dapat menemukan apa itu 'kenyamanan'

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bonus Pelukan dari Ibu

31 Desember 2012   04:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:46 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

.........“Ibu aku mau jas hujan seperti punya teman – temanku bu. Belikan yah ibu. Ini kan sudah musim penghujan. Aku ingin sekali bermain air hujan dengan mereka, pasti seru. Pokoknya belikan yah bu”

Hujan turun deras sekali hari itu. Aku masih duduk dibangku kelas 2 SD. Kelasku sudah sepi, tinggal aku seorang disini. Aku keluar dari ruangan itu. Aku tidak bisa pulang, hujannya terlalu deras. Kupandangi sekelilingku. Hanya beberapa anak saja yang berdiam diri di koridor kelas, sedangkan yang lain asik bermain air dengan jas hujan mereka di halaman parkir sekolah. Aku iri dengan mereka. Mungkin anak – anak yang berada disini denganku nasibnya sama denganku. Mereka tidak punya jas hujan. Atau mungkin tidak cukup berani untuk bermain air hujan. Mungkin mereka takut sakit. Yah apapun alasan mereka yang pasti mereka sama sepertiku, hanya dapat memandang kearah teman – teman yang sedang berlarian sambil bercanda tawa dibawah langit yang sedang manumpahkan air matanya itu.

Dikejauhan kulihat ibu di pintu gerbang sekolah. Wajahnya terlihat lelah. Dia pasti sudah berjalan jauh dari rumah ke sekolah. Bajunya agak basah walaupun payung telahmenjaganya sepanjang jalan. Terbersit rasa kesal pada ibu. Andai saja ibu membelikan aku jas hujan pasti ibu tidak perlu bersusah payah menjemputku. Jujur aku kasihan pada ibu. Tapi disisi lain aku sangat kesal pada ibu. Ah ibu!

Sampainya ibu dihadapanku. Ku pasang wajah masam. Tak kupedulikan lagi wajah lelah ibu. Tak kupedulikan lagi baju ibu yang basah. Bahkan tak kuhargai lagi perjuangan ibu yang harus berjalan kaki untuk sampai ke sekolahku. Iya aku begitu kesal dengan ibu. Buatku, ibu terlalu pelit. Aku marah pada ibu. Aku menganggap ibu tidak sayang padaku. Ibu tidak ingin membuatku senang.

Ibu menyadari sikap aku. Dia bertanya, “kok anak ibu cemberut? Ada apa?”

Entah mengapa pertanyaan ibu itu malah membuatku meneteskan air mata. Aku menangis. Bagiku saat itu, ibu itu adalah sosok ibu yang jahat. Ibu tidak mengerti aku begitu ingin bergabung dengan teman – teman bermain – main ditengah sana dibawah hujan. Aku juga ingin merasakan tawa yang sama dengan mereka. Aku tidak menjawab pertanyaan ibu, aku terus menangis sambil memandangi teman – temanku yang bermain hujanan.

“kok menangis?” ibu bertanya lagi. Ibu ikut memandang kearah pandangan mataku. Ibu seperti mengerti maksudku. Dia menggelengkan kepalanya, lalu tersenyum. Dia menghapus airmataku, lalu mengangkatku kepangkuannya. “kamu iri dengan mereka? Kamu ingin bermain dengan mereka?”

Aku mengangguk masih dengan wajah ditekuk.

“kamu tidak perlu iri sayang. Harusnya mereka yang iri dengan kamu”

“kenapa aku tidak boleh iri bu?”

“coba kamu perhatikan mereka. Mereka main air, bajumereka akan basah kan meski sudah memakai jas hujan karena gemericik air akan masuk disela – sela baju mereka? Mereka pasti kedinginan. Coba bandingkan dengan kamu. Mungkin kamu memang tidak bermain hujan seperti mereka dengan jas hujan, tapi diperjalanan nanti pasti ada terpaan air hujan ketubuh kamu, baju kamu pasti akan basah dan kamu akan kedinginan juga. Dan kamu tau apa beda rasa dingin kamu dengan mereka?”

Aku menggeleng.

“kamu bahkan akan langsung mendapat pelukan dari ibu ketika kamu merasa dingin sedangkan mereka harus menahannya sampai mereka tiba dirumah”

Begitulah kata ibu waktu itu meski aku tidak begitu mengerti arti dari kata – kata ibu. Tapi setidaknya kata – kata itu bisa membuatku kembali tersenyum.

Aku masih ingat sekali. Diperjalanan ibu menggendongku lalu memelukku erat karena angin yang berhembus rasanya seperti menusuk ke tulang. Dingin sekali. Ah andai waktu itu ibu tidak menjemputku dan aku terpaksa pulang sendiri. Atau bahkan waktu itu ibu sudah membelikanku jas hujan, pasti aku akan pulang kerumah dengan wajah pucat akibat kedinginan.

Dan hari ini hujan deras sekali. Sudah satu jam aku menunggu hujannya reda, tapi sampai jam menunjukkan pukul 5 sore hujan tak kunjung berhenti. Kuberanikan menerobos air hujan, kuambil jas hujan dari dalam box motorku. Kupakai. Kuhidupkan mesin motor.

Hujannya begitu deras. Pandanganku terbatas karena air yang berjatuhan menerpa kaca helmku. Semilir angin menyusup masuk ke sela – sela jas hujanku. Dingin. Tiba – tiba dadaku terasa sesak teringat wajah ibu. Air mata keluar dari sudut mataku. Hujan sore ini mengingatkanku kejadian belasan tahun yang lalu ketika aku sangat menginginkan jas hujan dan ibu tidak membelikannya kala itu. Aku ingat betapa aku kesal pada ibu karena hal itu. Tiba – tiba akupun ingat kata – kata ibu kala itu. “kamu bahkan akan langsung mendapat pelukan dari ibu ketika kamu merasa dingin sedangkan mereka harus menahannya sampai mereka tiba dirumah. Dan sekarang rasa dingin ini sungguh menusuk. Ibu benar... mungkin dulu aku memang tidak punya jas hujan seperti teman – temanku. Tapi aku dapat bonus pelukan dari ibu. Saat ini aku rindu pelukan ibu. Bahkan ketika aku sudah mampu membeli banyak jas hujan aku masih ingin ibu memelukku seperti dulu.

Wajah ibu terus terngiang. Wajah yang dulu begitu segar kini melayu. Tubuh yang dulu tegap berdiri, sekarang harus membungkuk. Kaki yang sekarang harus ditopang tongkat. Dan rambut yang kian hari terus memutih. Tuhan...betapa aku sangat tidak bersyukur dulu. Ibu... maafkan aku belum sanggup membuatmu bahagia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun