"Inikan mudah sekali Fuji,apa susahnya?"Mamak memarahi Fuji.
"setiap pagi selalu tempat tidur kau yang paling  berantakan."
Fuji yang diomeli hanya diam sambil mengelap matanya yang basah.
"sana mandi,sudah jam tujuh nanti terlambat pula ke sekolah."Mamak mengusir Fuji dari kamar.
Aku dan farhan saliling tatap,pagi yang buruk sudah dimulai dengan Fuji yang kena marah.
"kau ma ke mana?"Mamak bertanya.
"ke sekolah mak."Farhan menjawab pendek.
"sarapan kau belum habis."Mamak mengngatkan.
"Farhan sudah kenyang mak."Farhan nyengir.
"apa susahnya sih disuruh makan,setiap pagi susah sekali nyuruh kalian makan."
Bapak meletakkan kopi di atas meja."nah,kalian sudah dengar klimat mamak bukan?Kalian harus menaatinya,jika kalian memang sudah kenyang sana berangkat ke sekolah."
keesokan harinya... di ladang
Untuk kesekian kalinya aku menghentikan gerakan sabit,alat pemotong rumput.Kalau melihat bayangan pohon,ini sudah pukul empat sore,kami memang diajari cara membaca jam dengan melihat rotasi matahari ,kalau begini pasti film kartun itu sudah mulai.
lalu aku meminta izin ke mamak untuk pulang lebih dulu,namun mamak melarangnya dan mengancam tidak boleh makan malam dan tidur di luar.Namun aku tetap pulang dan mengambil resiko,aku tidak bisa melewatkan satu episode pun dari kartun faforitku ini.
Dan lari cepat-cepat menuju rumah tanpa sepengetahuan mamak.Sesampainya dirumah."film apa ini,kenapa peringatan tujuh belas agustus." Aku menepuk dahi sambil kecewa.
"Wah,kau ingin ikut menonton juga Faton?" Pak ngah bertanya.
Aku menggeleng dan segera menuju kamar.Rasa kecewa membuatku ketelepasan menjawab.
Mamak dan Farhan tiba menjelang maghrib."bagus filmnya kak?"Farhan bertanya.
"bagus apanya,yang ada malah peringatan 17-san." aku menjawab kesal
Lepas shalat isya,makanan dihidangkan,semua sudah di meja makan kecuali aku.Aku segan menuju meja makan karena masih ingat kata-kata mamak tadi.Mamak bilang kalau ada yang pulang duluan akan dihukum tidak boleh makan malam dan tidur di luar.
"kau tidak makan Faton?" Bapak memanggilku.
aku menjawab."Tidak pak!"
"khak Fhathon tadi pulang dhuluan dhari lhadang phak."Farhan menjelaskan sambil mengunyah.
"Dia tau aturan mainnya, dan tau apa hukumannya"Mamak lancang berkata
Lalu aku pergi keluar dan berbaring di kursi rotan teras rumah.
2 Jam berlalu
"Kau tidak masuk Faton?"Bapak berdiri di ambang pintu.
Aku tidak menjawab, lalu membalik badan membelakangi bapak, tertidur di kursi rotan. Malam semakin larut, angin semakin dingin.
"Sudah jam satu malam Faton"Bapak akhirnya duduk di dekatku.
"Ma-mak me-la-rang fa-ton ma-suk pak...."Aku tak kuasa menahan tangis.
"Tidak ada yang melarang kau masuk Faton."
"Mamak benci Faton...."Air matakupun sudah jatuh ke pipi.
"Oi, kau keliru, mana ada mamak di dunia ini yang membenci anaknya."Bapak menimpali.
"Faton ingin seperti kak Zahre."Aku berkata pelan.
"Maksud kau?"
"Faton ingin sekolah di Asrama, ingin pergi dari rumah."
"Kau akan menyesal mengatakan itu."
"Faton tidak akan menyesal pak."Aku mulai berkata agak keras.
Bapak terdiam, dan kehabisan kalimat.
"Mungkin ada baiknya kau tidur di luar malam ini"Bapak beranjak masuk.
"Neng, anakmu sekarang kedinginan di luar, bisakah kau menyuruhnya masuk! dia tidak akan masuk sebelum kau suruh."
Esok paginya, aku demam panas sekali. Dan aku terbangun dari tidurku, tiba-tiba aku sudah berada di kamarku.
"Kau tidak sekolah Faton?"Mamak membangunkanku, sambil menyentuh dahiku.
"Oi, panas kali badan kau."Mamak bergegas memanggil bapak.
Bapak juga ikut memeriksa tubuhku. Semua samar-samar, aku setengah sadar.
"Makan buburnya Faton."Mamak lembut menyentuh lenganku.
Aku tidak menjawab.
"Perutmu seharian tidak menyentuh makanan Faton."
Aku menjawab dalam hati. Bukankah kemarin Mamak melarangku makan?.
"Kau masih marah pada mamak?"
Aku tidak menjawab.
Lalu Mamak beranjak keluar kamar, dan meletakkan bubur di atas meja.
"Kompresnya dipakai Faton!"
"Tidak mau!"Suaraku serak menjawab.
"Biar panas kau turun."Mamak berseru lembut.
"Faton mau pipis."Aku menunjuk ember yang berada di bawah dipan.
"Kak Faton sudah besar, kok masih pipis di kamar."Fuji mengolokku dan lari keluar dari kamar.
Hari keempat, kondisiku semakin memburuk. Suhu tubuhku sangat tinggi, sepanjang hari aku hanya tiduran. Akhirnya aku tidak menolak saat disuapi Mamak untuk meminum obat, dan memasang kompres.
Untuk pertama kalinya, aku menatap wajah Mamak dengan sembunyi-sembunyi. Mukanya kelihatan lelah, tidak tidur berhari-hari karena mengurusku, rambut putihnya nampak satu dua. Di antara demam panas dan gigil tubuh, aku menyadari betapa lembutnya Mamak, itu semua tidak karena rasa sesal Mamak karena telah menghukumku.
pukul dua malam perutku mual, kepalaku pusing sekali. Aku berusaha membangunkan Mamak yang tidur didekatku, dan saat Mamak terbangun muntahku juga keluar dan mengotori lantai kamar.Â
"Kau baik-baik saja Faton?" Mamak terlihat cemas, sambil mengambil ember di bawah dipan.
"Istighfar sayang, istighfar." Mamak memberikan gelas dengan air hangat.
Mamak jongkok membersihkan muntahku yang berserakan di lantai. Setelah keluar sebentar membawa ember kotor, mamak masuk kembali dengan dua helai pakaian bersih.
"Ganti bajunya ya sayang, yang ini sudah kotor kena muntah."
Mataku segera berair. Aku memeluk mamak.
"Kau kenapa Faton?"Mamak menyeringai bingung.
"Maafkan Faton mak..."
"Maafkan Faton mak... sungguh."Air mataku melonjak turun.
"Bagaimana mungkin aku menuduh mamak benci padaku."
"Tidak ada yang perlu dimaafkan sayang..."Mamak tersenyum lebar.
Malam itu aku seperti bisa melihat wajah wanita paling cantik di dunia....
TAMATÂ Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H