"Faton mau pipis."Aku menunjuk ember yang berada di bawah dipan.
"Kak Faton sudah besar, kok masih pipis di kamar."Fuji mengolokku dan lari keluar dari kamar.
Hari keempat, kondisiku semakin memburuk. Suhu tubuhku sangat tinggi, sepanjang hari aku hanya tiduran. Akhirnya aku tidak menolak saat disuapi Mamak untuk meminum obat, dan memasang kompres.
Untuk pertama kalinya, aku menatap wajah Mamak dengan sembunyi-sembunyi. Mukanya kelihatan lelah, tidak tidur berhari-hari karena mengurusku, rambut putihnya nampak satu dua. Di antara demam panas dan gigil tubuh, aku menyadari betapa lembutnya Mamak, itu semua tidak karena rasa sesal Mamak karena telah menghukumku.
pukul dua malam perutku mual, kepalaku pusing sekali. Aku berusaha membangunkan Mamak yang tidur didekatku, dan saat Mamak terbangun muntahku juga keluar dan mengotori lantai kamar.Â
"Kau baik-baik saja Faton?" Mamak terlihat cemas, sambil mengambil ember di bawah dipan.
"Istighfar sayang, istighfar." Mamak memberikan gelas dengan air hangat.
Mamak jongkok membersihkan muntahku yang berserakan di lantai. Setelah keluar sebentar membawa ember kotor, mamak masuk kembali dengan dua helai pakaian bersih.
"Ganti bajunya ya sayang, yang ini sudah kotor kena muntah."
Mataku segera berair. Aku memeluk mamak.
"Kau kenapa Faton?"Mamak menyeringai bingung.