Mohon tunggu...
Farid Nasution
Farid Nasution Mohon Tunggu... -

Anti-trust/Competition Lawyer

Selanjutnya

Tutup

Catatan

KPPU Vs PLN: Diskriminasi Tarif

16 Desember 2011   09:44 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:10 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tanggal 8 Desember 2011, KPPU membacakan Putusan No. 06/KPPU-I/2011 dengan amar yang menyatakan bahwa PLN tidak terbukti bersalah melanggar Pasal 19 d UU No 5 Tahun 1999 terkait dengan diskriminasi tariff yang dikenakan PLN untuk tipe bisnis dan industri antara pelanggan baru dengan pelanggan lama.

Berikut ini adalah beberapa catatan mengenai putusan KPPU tersebut yang mungkin berguna:

1. Posisi Dominan

Teori hukum persaingan menyatakan bahwa praktik diskriminasi akan merugikan konsumen dan karenanya salah menurut hukum persaingan jika dilakukan oleh pelaku usaha yang memiliki posisi dominan atau market power. UU No 5 Tahun 1999 pun menempatkan Pasal 19 d pada Bagian Ketiga dengan judul “Penguasaan Pasar”, BAB IV “Kegiatan yang Dilarang”.

Pengertian ini juga dimuat dalam Pedoman KPPU No. 6 Tahun 2011 Mengenai Penarapan Pasal 19 d yang diterbitkan KPPU pada tanggal 7 Juni 2011 (“Pedoman 19 d”).

Konsistensi atas syarat posisi dominan/market power ini ditunjukkan oleh Investigator KPPU dalam kesimpulannya yang menyatakan bahwa PLN memiliki posisi dominan karena Pasal 10 ayat (3) UU No 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan yang menyatakan:

“Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh 1 (satu) badan usaha dalam 1 (satu) wilayah usaha”.

Hal ini penting untuk digaribawahi karena posisi dominan/market power sama sekali tidak menjadi unsur di dalam bunyi Pasal 19 d, namun tanpa adanya posisi dominan/market power, larangan dalam Pasal 19 d akan menjadi over enforce dan tidak berdasar.

Namun tidak jelas mengapa Investigator KPPU tidak mengacu pada Pedoman 19d tentang perlunya analisis posisi dominan ketika menganalisis posisi dominan dari PLN. Jika dilihat dari urutan peristiwanya, kesimpulan Investigator KPPU tersebut dibuat tanggal 14 November 2011 setelah Pedoman 19d terbit.

2. Definisi “praktik diskiriminasi”

Definisi “praktik diskiriminasi” dalam kesimpulan Investigator KPPU mengacu pada putusan KPPU No. 07/KPPU-L/2004 tentang Perkara Divestasi Very Large Crude Carrier (VLCC) yang dilakukan oleh PT Pertamina. Menurut Investigator KPPU, putusan VLCC telah berkekuatan hukum tetap. Namun sebagaimana diketahui, putusan VLCC telah dibatalkan berdasakan putusan PK No. 01/Pdt.Sus/2007.

Tidak jelas mengapa Investigator KPPU tidak mengacu pada definisi “praktik diskriminasi” yang diuraikan dalam Pedoman 19d. Pertimbangan Hukum Majelis Komisi mengenai “praktik diskriminasi” pun merujuk pada definisi dari Investigator KPPU dan tidak menggunakan definisi yang tertuang dalam Pedoman 19d.

Menarik untuk didalami, Pertimbangan Hukum Majelis Komisi yang menyatakan terdapat perbedaan tariff jasa listrik PLN, namun hal tersebut bukanlah praktik diskriminasi karena didasarkan pada Keppres No. 104 Tahun 2003. Majelis Komisi kurang jelas dalam pertimbangannya, apakah suatu peraturan perundang-undangan dapat menyebabkan suatu perlakuan yang berbeda dibolehkan? Apakah pendapat tersebut tidak rancu dengan pengecualian yang diatur dalam Pasal 50a UU No 5 Tahun 1999?

Jika saja Majelis Komisi mengacu pada Pedoman 19d, maka jelas bahwa yang dianggap praktik diskriminasi oleh Pedoman 19d adalah “perbuatan yang tidak mempunyai justifikasi legal, sosial, ekonomi, teknis maupun pertimbangan efisiensi lainnya”. Sehingga justifikasi legal tidak menyebabkan tindakan yang berbeda dianggap sebagai praktik diskriminasi.

Tidak mungkin Majelis Komisi tidak menyadari Pedoman 19d karena di bagian lain dari Pertimbangan Hukum, Majelis Komisi mengacu pada Pedoman 19d. Yaitu pada bagian Dampak Diskriminasi dalam Pertimbangan Hukum, yang menyatakan bahwa praktik diskriminasi terdiri dari 2 bentuk, yaitu diskriminasi horizontal (di pasar pelaku praktik diskriminasi) dan diskriminasi vertikal (di pasar korban praktek diskriminasi).

3. Pengecualian

PLN dalam tanggapannya menyatakan bahwa perbedaan tariff jasa didasarkan pada Keppres No. 104 Tahun 2003 sehingga harus dikecualikan sesuai dengan Pasal 50 a UU No 5 Tahun 1999 yang mengecualikan tindakan dan perjanjian yang bertujuan untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan.

PLN mungkin secara sengaja tidak mengacu pada Pedoman KPPU No. 5 Tahun 2009 tentang Pengecualian Berdasarkan Pasal 50a, karena Pedoman tersebut menyatakan bahwa apa pun instrumen hukumnya, selama tidak secara tegas diperintahkan oleh Undang-undangan, maka tidak berlaku pengecualian dari UU No. 5 Tahun 1999.

Namun Majelis Komisi tidak menanggapi point keberatan PLN ini. Sehingga tidak jelas apakah Majelis Komisi beranggapan tindakan PLN dapat dikecualikan sesuai dengan Pasal 50 a UU No 5 Tahun 1999. Meskipun demikian, Majelis Komisi tetap konsisten dengan Pedoman Pasal 50 a sebagaimana dijelaskan berikut.

Secara tidak tegas, Majelis Komisi tidak mengganggap tindakan PLN dikecualikan dari UU No 5 Tahun 1999 karena Majelis Komisi berpendapat “tidak ada praktik diskriminasi”. Seandainya Majelis Komisi berpendapat tindakan PLN dikecualikan dari UU No. 5 Tahun 1999, maka Majelis Komisi semestinya sampai pada kesimpulan “terdapat tindakan diskriminasi oleh PLN namun hal tersebut dikecualikan”. Sekalipun dasar hukum yang digunakan Majelis Komisi adalah sama, yaitu Keppres No. 104 Tahun 2003, namun jelas berbeda penerapan logika hukumnya.

Penutup

Salah satu pelajaran penting dari Putusan KPPU ini adalah mendudukkan kembali fungsi dari Pedoman KPPU. Sejauh mana Pedoman KPPU diikuti oleh KPPU sendiri akan mempengaruhi bagaimana masyarakat mendudukkan Pedoman KPPU. Jika Pedoman-Pedoman KPPU tidak digunakan oleh KPPU sendiri atau malah dilanggar oleh KPPU sendiri, maka sungguh sia-sia Pedoman-Pedoman KPPU yang meskipun belum sempurna, hanya menjadi semacam academic paper saja.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun