Mohon tunggu...
Farid Nasution
Farid Nasution Mohon Tunggu... -

Anti-trust/Competition Lawyer

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Hukum Persaingan Usaha: Siapa yang Dilindungi?

23 September 2011   12:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:41 4696
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hukum persaingan usaha bercita-cita untuk mewujudkan dan menjaga persaingan sehat.  Untuk menjawab pertanyaan judul di atas, kita tinggal membalik pertanyaannya: siapa yang rugi jika persaingan tidak sehat? Jawaban yang pertama kali terlintas tentunya konsumen. Kemudian pelaku usaha. Apakah itu berarti konsumen dan pelaku usaha keduanya dilindungi oleh hukum persaingan usaha? Mari kita bedah UU No 5 Tahun 1999  Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang menjadi dasar hukum persaingan usaha di Indonesia.

Catatan: "praktek" bukan lagi kata baku dalam Bahasa Indonesia, karena itu PP No 57 Tahun 2010 menggunakan kata "praktik", lengkapnya PP No 57 Tahun 2010 Tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Tujuan normatif UU No 5 Tahun 1999 dapat kita jumpai di Pasal 3, secara ringkas yaitu: (i) menjaga kepentingan umum, (ii) meningkatkan efisiensi ekonomi nasional demi meningkatkan kesejahteraan rakyat, (iii) mewujudkan iklim usaha yang kondusif sehingga tercipta kepastian kesempatan berusaha yang sama, (iv) mencegah praktik monpoli atau persaingan usaha tidak sehat, (v) efektivitas dan efisiensi kegiatan usaha.

Baiklah, lalu di mana perlindungan konsumen berada? Pasal 3 UU No 5 Tahun 1999 tampak lebih menitikberatkan pada perlindungan pelaku usaha dan perekonomian nasional. Ada pendapat yang mengatakan perlindungan konsumen termasuk di dalam kesejahteraan rakyat. Namun jangan lupa, pelaku usaha juga bagian dari rakyat, sehingga peningkatan produsen surplus yang lebih besar dibanding consumer loss yang dialami, misalnya dalam bentuk kartel harga, juga menciptakan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.

Pendapat lain menyatakan konsumen dilindungi dalam UU No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Pendapat ini tidak salah, tapi juga tidak dapat menafikan pertanyaan pada paragraf awal di atas. Bukankah praktik monopoli juga merugikan konsumen? Sedangkan tidak ada ketentuan di dalam UU No 8 Tahun 1999 yang melarang praktik monopoli.

Di Amerika Serikat, hukum persaingan pada awal abad XIX berkembang sebagai perlindungan terhadap bisnis UKM. Korporasi-korporasi besar di Amerika dianggap membahayakan kelangsungan demokrasi negara tersebut karena memusatkan pengambilan keputusan ekonomi hanya di tangan para beberapa eksekutif korporasi tersebut. Dalam perkembangan selanjutnya, Amerika Serikat menegaskan bahwa hukum persaingan ditujukan untuk melindungi konsumen. Anda bisa lihat website Federal Trade Commission (KPPU nya Amerika Serikat) di www.ftc.gov, FTC memiliki tag line "Protecting America's Consumers". Hukum persaingan  di Amerika Serikat mengenal dogma "competition law protects competition and not competitors". Meskipun tidak selamanya Amerika Serikat konsisten dalam menempatkan hukum persaingan untuk melindungi konsumen (misalnya untuk menjaga kepentingan nasional dalam kasus merger Boeing dan McDonald Douglas (MD) atau merger GE dengan Honeywell), setidaknya siapa yang hendak dilindungi oleh hukum persaingan Amerika Serikat memiliki fokus yang jelas.

William Kovacic, mahaguru hukum persaingan Amerika Serikat yang juga mantan ketua FTC, menulis dalam salah satu bukunya beberapa tujuan dari hukum persaingan, yaitu: perlindungan terhadap (i) UKM, (ii) pesaing, (iii) konsumen, (iv) pemerintah, dan (v) kepentingan nasional. Kovacic mencoba realistis dengan berbagai kemungkinan tujuan dari penerapan hukum persaingan, namun Kovacic mengingatkan bahaya konflik antara satu tujuan dengan tujuan yang lain yang jelas-jelas berseberangan, misalnya perlindungan konsumen dengan perlindungan pesaing, atau perlindungan kepentingan nasional dengan perlindungan konsumen.

Kembali ke UU No 5 Tahun 1999, kita dapat memahami jika UU ini bermaksud melindungi UKM sebagaimana Amerika Serikat di fase awal perkembangan hukum persaingannya (Sherman Act lahir tahun 1890) juga melindungi hal yang sama. Namun agak mengherankan jika pasal 3 UU ini tidak mengikutsertakan perlindungan konsumen sebagai salah satu tujuannya. Perlindungan konsumen hanya dapat kita temui di penjelasan UU No 5 Tahun 1999 pada bagian I. Umum. Batang tubuh UU No 5 Tahun 1999 sendiri secara eskplisit setidaknya melarang  perjanjian maupun kegiatan dan penyalahgunaan posisi dominan yang merugikan konsumen pada:


  • Pasal 5 tentang kartel harga,
  • Pasal 19  huruf b tentang penguasan pasar yang digunakan untuk menghalangi konsumen pesaing dalam bertransaksi dan
  • Pasal 25 ayat (1) huruf a tentang posisi dominan yang digunakan untuk menghalangi konsumen memperoleh barang atau jasa yang lebih bersaing.

Dengan demikian meskipun secara normatif tidak dinyatakan pada Pasal 3 UU No 5 Tahun 1999, namun kita yakin bahwa perlindungan konsumen juga merupakan bagian dari tujuan diundangkannya UU No. 5 Tahun 1999.

Catatan sejarah mungkin dapat menunjukkan perspektif yang berbeda mengenai kelahiran UU No 5 Tahun 1999 dibandingkan dengan penafsiran sistematis di atas. Pada kesempatan lain saya akan bagikan sejarah singkat lahirnya UU No 5 Tahun 1999 yang sangat bagus ditulis oleh Marie Elka Pangestu (belum menjadi menteri pada saat itu).

Terhadap perlindungan pelaku usaha, dapatkah suatu pelaku usaha menggunakan UU No 5 Tahun 1999 untuk kepentingannya ketika bisnisnya kalah bersaing secara tidak adil? Jika kita mengacu pada Pasal 3 UU No 5 Tahun 1999, tentunya jawabannya adalah bisa. Hal ini juga diperkuat pada Pasal 38 ayat (2) yang membedakan laporan yang disampaikan oleh pihak yang menderita kerugian dari laporan yang disampaikan oleh semua orang yang mengetahui telah terjadi atau patut diduga telah terjadi pelanggaran (Pasal 38 ayat (1)). Selain itu Pasal 47 ayat (2) huruf f UU No 5 Tahun 1999 memberikan kewenangan kepada KPPU untuk menetapkan tindakan administratif berupa pembayaran ganti rugi, tentunya kepada pihak yang merasa dirugikan.

Sampai di sini tujuan melindungi konsumen dan pelaku usaha tampak sejalan beririnngan. Namun prakteknya, bisa jadi pada satu persitiwa yang sama, melindungi konsumen berarti merugikan pelaku usaha dan sebaliknya, melindungi pelaku usaha berarti merugikan konsumen. Ilustrasinya sebagai berikut: Sebuah pabrikan besar memiliki produk yang dominan di pasar. Pabrikan kemudian menggunakan dominasinya untuk menekan para supplier guna memperoleh harga bahan baku yang lebih murah sehingga dapat menjual produk akhirnya dengan murah kepada konsumen. Konsumen senang namun supplier mengeluh. Apakah hukum persaingan usaha harus melindungi kepentingan supplier, yang mungkin memiliki posisi tawar lemah terhadap pabrikan dengan konsekuensi pabrikan membeli bahan baku lebih mahal dan harga produk akhir harus ditebus lebih mahal oleh konsumen? Atau melindungi konsumen yang berhak menikmati produk akhir berharga murah yang bisa ditawarkan pabrikan meskipun para supplier merasa dizalimi oleh pabrikan? Lihat kembali pembahasan sebelumnya, baik konsumen maupun supplier bisa menggunakan hukum persaingan usaha untuk kepentingannya sendiri-sendiri, yang jelas-jelas saling bertabrakan.

Pilihan jawaban terhadap peristiwa ini merupakan fondasi bagi hukum persaingan Indonesia namun sayangnya untuk hal yang mendasar seperti ini sekali pun, perdebatan di berbagai forum hukum persaingan usaha belum menjawab pertanyaan: siapa yang harus dilidungi?

Pendapat yang mencoba netral menyatakan hukum persaingan tidak melihat konsumen atau pesaing, karena hukum persaingan harus melindungi persaingan itu sendiri sebagai suatu proses. Pendapat ini menempatkan proses sebagai tujuan dan mempercayai hasil akhir akan lahir dengan sendirinya dan secara efektif melindungi kepentingan yang memerlukan jika proses dilaksanakan secara benar.

Pendapat ini memang terkesan netral dan enggan memihak. Namun jika dihadapkan pada situasi sebagaiman diilustrasikan di atas, tujuan untuk melindungi proses persaingan tersebut tidak memberikan bimbingan yang memadai ke arah mana hukum persaingan harus diterapkan. Suatu tujuan harus bisa memberikan pedoman sehingga penerapan hukum akan konsisten, terukur dan dapat diprediksi.

Baiklah, saya coba menyampaikan pemikiran saya:

Pertama, fungsi hukum adalah melindungi kepentingan subjek hukum. Subjek hukum terdiri atas orang dan badan hukum. Oleh karena itu hukum yang melindungi proses menjadi bias karena tidak ada kepentingan yang melekat pada suatu proses. Persaingan yang dilakukan secara tidak sehat memang mencederai kepentingan-kepentingan orang lain. Namun sayangnya, ketika kepentingan orang lain tersebut saling bertabrakan, harus ada pilihan pihak mana yang diprioritaskan. Kejelasan pilihan tidak didapat ketika tujuan hukum persaingan berhenti hanya sampai melindungi proses.

Kedua, saya berpendapat hukum persaingan harus melindungi konsumen dibanding melindungi pesaing. Konsumen adalah pihak yang sangat cair, sulit mengatasnamakan konsumen karena itu negara hadir untuk membiayai lembaga seperti KPPU untuk memperjuangkan kepentingan konsumen. Konsumen adalah ranah publik, sedangkan pesaing adalah ranah privat. Pelaku usaha sudah memiliki forum untuk membela kepentingannya sendiri, yaitu pengadilan perdata. Sehingga negara tidak perlu turun tangan untuk membela kepentingan yang sifatnya privat. Perlu diketahui bahwa dalam Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU, KPPU tidak melakukan investigasi terhadap laporan yang bersumber dari pihak yang merasa dirugikan sesuai dengan Pasal 38 ayat (2) UU No 5 Tahun 1999. Sungguh tidak adil jika uang negara dipergunakan dalam suatu investigasi untuk membela kepentingan dari pihak yang merasa dirugikan. Dalam tata cara penangan perkara di KPPU, Pelapor langsung berhadapan dengan Terlapor dan membuktikan pelanggaran UU No 5 Tahun 1999 yang dituduhkannya serta membuktikan kerugian yang dideritanya sebagai akibat dari pelanggaran tersebut. Proses ini tampak menduplikasi proses acara perdata di Pengadilan Negeri. Sehingga menjadi sesuatu yang mubazir jika negara menyediakan dua forum untuk satu fungsi yang sama.

Ketiga, dengan mempertimbangkan pemikiran pertama dan kedua di atas, maka sebaiknya Pasal 38 ayat (2) dan Pasal 47 ayat (2) huruf f UU No 5 Tahun 1999 dicabut. Kedua pasal ini menyebabkan UU No 5 Tahun 1999 bias apakah merupakan suatu hukum yang bersifat publik atau bersifat privat. Tuntutan kerugian yang diderita oleh pelaku usaha karena adanya pelanggaran hukum persaingan sebaiknya diserahkan saja kepada pengadilan untuk mengadilinya. Sehingga dengan demikian fokus dari hukum persaingan usaha di Indonesia adalah jelas, yaitu untuk melindungi kepentingan konsumen.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun