Mohon tunggu...
Fajar Ramdan
Fajar Ramdan Mohon Tunggu... Penulis - -

Tertarik dengan Kosmologi, Sejarah, dan Ekonomi.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Neraka Kunantikan, Surga Tak Kurindukan

9 Januari 2021   12:15 Diperbarui: 9 Januari 2021   12:17 794
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanpa tergetar makna, ilmu hanyalah bentuk. - Rumi

Anak itu terpaku pada satu hulu, membungkam realita dengan halu. Mencoba berenang melintasi samudera, malah terjerat oleh jala. Merendahkan hati menjadi tetesan, tapi tak sadar bahwa dia adalah lautan. Tidak sederhana, tidak sedangkal air dalam bejana. Begitu kompleks dalam tarian sandiwara.

Anak itu berjalan di tepi bukit, mencoba menggapai cahaya Sang Sebab Pertama. Namun tak ada satu anak panah pun mampu menyentuh langit, terlalu jauh, begitu menyilaukan untuk bayang-bayang.

Anak itu merindukan tempatnya, tempat di mana setiap kaumnya mengalami pencerahan paripurna. Tempat di mana dia belum mengenal segala aturan, hanya bermodalkan pedoman yang terlahir dari akhlaknya sendiri.

Anak itu kebingungan melihat planet yang asing ini. Ketika pendapat menjadi fakta, dan perspektif adalah tolak ukur kebenaran. Dulu, di planetnya, alam semesta telah bekerja keras untuk menciptakan individu-individu yang unik, kendatipun berbeda, semuanya bermanunggal dan hidup dalam harmoni. Sementara dogma justru menciptakan standar tunggal yang harus diikuti semua orang.

Menurut anak itu, keyakinan mampu bersemi dan tumbuh dari proses spiritual bukan dari banyaknya sebuah aturan. Karena manusia itu khas dan unik, maka perjalanan dan kebersaksian mereka pun berbeda. Kebanyakan manusia di planet ini dengan bangga mengikrarkan kebersaksian, padahal dia belum pernah sekali pun menyaksikan Sang Maha Menjadikan.

Padahal, semua manusia tahu bahwa dirinya mempunyai dimensi realitas yang membedakannya dengan binatang, manusia mampu mengartikulasikan pikiran dan kesadaran diri. Melalui akal, mereka bisa membedakan antara absolut dan relatif, baik dan buruk, dan seterusnya. Lalu, mengapa banyak sekali manusia yang mencari makan di ternak-ternak babi milik raja-raja palsu?

Di mana esensi merdeka yang selalu dikoar-koarkan itu?

"Jangan sampai hari-harimu dipenuhi untuk menatap sebuah kerang! Pergilah, mutiara yang harus kau cari!"

Seorang Brahmana, akan berusaha menemukan Tuhan dalam jiwanya, melalui spiritualitas dan pengetahuan.

Seorang Ksatria, akan berusaha menemukan Tuhan ketika dia menunaikan kewajibannya di lembaga pemerintahan.

Seorang Waisya, akan berusaha menemukan Tuhan dalam perdagangan, memutar roda ekonomi dan menciptakan kemakmuran.

Dan seorang Sudra, akan berusaha menemukan Tuhan dalam cinta kasih yang dia representasikan dengan melayani sesama manusia.

Tak ada kaitannya dengan siapa dan di mana mereka dilahirkan. Mereka sudah terbiasa dan berdamai dengan perbedaan itu sendiri. Dan tidak ada cara pencarian Tuhan yang lebih baik atau lebih buruk dari cara lainnya, selama itu bergerak dalam jembatan kemanusiaan.

"Siapa yang mengenal dirinya, maka dia mengenal Tuhannya. Seiring berjalannya waktu, ketika manusia mulai jauh dari dirinya sendiri, yang demikian jauh dari Tuhan. Mereka pun kebingungan. Karena bingung, mereka butuh pegangan, maka lahirlah banyak aturan, seperti di planet ini, namanya Alpha Centauri."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun