Mohon tunggu...
Money Pilihan

Kiat Memperbaiki Iklim Investasi Industri Hulu Migas

16 September 2016   15:27 Diperbarui: 16 September 2016   18:15 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jumlah pengeboran sumur di seluruh dunia yang kian merosok sejak turunnya harga minyak

Apabila Anda memiliki kenalan yang sedang atau pernah berkuliah di ITB maka pasti sedikit banyak Anda pernah mendengar tentang keunikan tahun pertama berkuliah disana. Mahasiswa Tahap Persiapan Bersama (TPB) ITB belum memiliki jurusan. Mereka harus melewati dan lulus dari tahap tersebut terlebih dahulu selama satu sampai dua tahun sebelum kemudian dapat masuk ke salah satu jurusan di fakultas mereka. Fakultas seperti FTTM (Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan) ITB memiliki jurusan yang sering mengalami kelebihan peminat.

Akibatnya, jurusan Teknik Perminyakan terpaksa melakukan seleksi berdasarkan IPK. Pada tahun 2013 IPK terendah untuk masuk ke Teknik Perminyakan ITB naik dari tahun sebelumnya 3.18 menjadi 3.47 dan masih meningkat menjadi 3.58 pada tahun 2014. Hal yang menarik adalah peningkatan ini berhenti seiring dengan turunnya harga minyak pada akhir 2014 menjadi 3.35 pada tahun 2015. Pada tahun ini, IPK terendah turun drastis menjadi 2.00 karena ada mahasiswa yang ‘terlempar masuk’. 

Artinya, jurusan Teknik Perminyakan ITB pada tahun ini tidak lagi menjadi jurusan favorit yang overquota dan malah menjadi jurusan yang kurang peminat. Observasi kecil barusan sejatinya hanyalah salah satu dampak akibat turunnya harga minyak pada periode dua tahun terakhir. Sebuah fenomena gunung es dari terpuruknya kondisi dunia migas hari ini, terutama sektor eksplorasi.

Dunia eksplorasi migas sedang menghadapi masa-masa sulit, pasalnya angka eksplorasi migas global hari ini memasuki tingkat terendah sejak tahun 1947. Menurut Wood Mackenzie, jumlah sumur yang dibor di dunia mengalami penurunan khususnya pada dua tahun terakhir jika dibandingkan dari angka pengeboran tahunan yaitu 1500 sumur per tahun sejak 1960. Hingga Agustus lalu terdapat 209 sumur yang dibor di dunia pada tahun ini, turun dari 680 pada 2015 dan  1167 pada 2014.

Hal ini diakibatkan karena seluruh di dunia saat ini sedang melakukan pemotongan anggaran eksplorasi, dari studi seismik hingga pengeboran, menjadi US$ 40 milyar dari US$ 100 milyar pada tahun 2014. Berita ini bukanlah berita baik bagi kita semua mengingat US Energy Information Administration memperkirakan bahwa kebutuhan minyak bumi global akan meningkat dari 94.8 juta barel/hari pada 2016 menjadi 105.3 juta barel/hari pada tahun 2026.Secara umum Indonesia bukanlah negara tujuan investasi yang menarik bagi para investor. Pada Forbes’ Best Country for Business 2015 Indonesia hanya menempati peringkat ke-93 dari 144 negara, kalah jauh dari negara tetangga kita Malaysia yang berada di peringkat ke-34. Harga minyak yang turun juga menghantam sektor hulu migas Indonesia.

Produksi migas Indonesia diperkirakan akan turun hingga 40% pada tahun 2025 karena perusahaan-perusahaan migas besar melakukan penundaan investasi hingga US$ 7 milyar tahun ini serta penundaan sejumlah proyek besar seperti Masela, Tangguh, dan Indonesian Deepwater Development (IDD). Selain itu, investasi di hulu migas Indonesia juga masih harus menghadapi tantangan lain yang tak kalah serius : permasalahan administratif yang berbelit-belit dan masalah ketidakpastian hukum.

Perizinan yang berbelit-belit

Menurut pemaparan kepala SKK Migas pada tanggal 6 April 2016, saat ini perusahaan harus menempuh total hingga 341 perizinan dari tahap survey awal, eksplorasi, pengembangan, produksi, dan pasca operasi. Seluruh perizinan ini diurus di 18 instansi penerbit izin yang berbeda-beda dari kementerian, TNI, Polri, pemerintah daerah, hingga swasta pemilih IUPHHK. Jumlah perizinan yang fantastis ini dinilai tidak efisien karena faktanya banyak izin yang duplikatif (memiliki substansi yang sama).

Selain itu terdapat masalah dalam pembebasan lahan yaitu masih terdapat pemerintah daerah yang meminta kajian tata ruang wilayah padahal sudah ada UU yang mengamanatkan sebaliknya untuk pembangunan infrastruktur migas. Masih juga terdapat pemerintah provinsi ataupun pihak swasta pemilik tanah yang tidak mengizinkan pembebasan lahan kecuali bila diberikan saham/bagi hasil. Belum lagi masalah ketidakjelasan tata waktu dan biaya dari masing-masing perizinan. Proses regulasi yang berbelit-belit inilah yang menjadi salah satu faktor penghambat sehingga membuat investor enggan berinvestasi di Indonesia.

Untuk menghadapi ini pemerintah pusat harus rajin memberikan sosialisasi dan menerbitkan pedoman perizinan kepada pihak pemerintah daerah dan swasta sehingga tidak lagi ada perbedaan persepsi terkait penerbitan perizinan industri hulu migas. Standarisasi waktu dan biaya perizinan juga perlu untuk diberlakukan sehingga tidak menghambat proses pelaksanaan kegiatan.

Jumlah perizinan yang duplikatif dapat dikurangi dengan melakukan clustering, mengelompokkannya menjadi tiga bagian yaitu izin penataan ruang; izin lingkungan, keamanan, dan keselamatan; serta izin penggunaan infrastruktur dan sumber daya alam. Selain itu untuk dapat meningkatkan efisiensi perizinan perlu diterapkan juga sistem pengurusan izin satu pintu seperti misalnya semua izin usaha hulu migas hanya perlu dilakukan dengan melalui PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu) yang saat ini sedang diuji coba oleh Kementerian ESDM.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun