Oleh : Fezellita Nursabaa_Yogyakarta)
“Education is the most powerful weapon we can use to change the world.” – Nelson Mandela [1]. Kutipan tersebut merupakan kutipan dari salah satu tokoh besar dan berpengaruh pada abad ke-20 yang kita kenal dengan nama Nelson Mandela. Dalam kutipan tersebut, Nelson mengungkapkan bahwasannya pendidikan pada dasarnya membantu membentuk manusia yang baik dan ini harus berkontribusi untuk mengubah dunia, tanpa kekerasan, dengan pengetahuan. Impian dan harapan akan dunia yang lebih baik sangat penting bagi mereka yang mendidik. Kita dapat hidup dengan baik jika ada pemerataan pendidikan di setiap tempat. Masing-masing dari kita harus mengerti bahwa pendidikan sangat dibutuhkan. Dengan adanya pemerataan pendidikan tidak perlu diragukan lagi bahwa setiap orang memiliki kemerdekaan dalam menuntut ilmu.
Dalam Glosarium, pendidikan berarti proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik yang terbagi dalam pendidikan formal dan pendidikan nonformal. Pendidikan formal adalah pendidikan berupa rangkaian jenjang pedidikan yang telah baku, misalnya SD, SMP, SMA, sedangkan pendidikan nonformal lebih difokuskan pada pemberian keahlian atau skillguna terjun ke masyarakat [2]. Definisi tersebut mengungkapkan bahwa pendidikan suatu yang sangat diperlukan untuk kehidupan dan akan lebih baik apabila pemerataan pendidikan terlaksana dengan baik.
Lalu, seberapa urgen kah pemerataan pendidikan itu? Jika dianalogikan, pemerataan itu bagaikan fondasi dan pendidikan adalah bangunannya. Suatu bangunan tanpa fondasi dapat dipastikan akan mudah retak kemudian roboh. Begitu pula dengan pendidikan, tanpa adanya pemerataan pendidikan dunia ini akan mudah hancur tanpa adanya ilmu pengetahuan. Pemerataan pendidikan adalah suatu proses, cara dan perbuatan melakukan pemerataan terhadap pelaksanaan pendidikan, sehingga seluruh lapisan masyarakat dapat merasakan pelaksanaan pendidikan. Hal ini dimaksudkan agar setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan [3].
Pemerataan pendidikan ini seringkali menjadi masalah. Dikatakan menjadi masalah karena setiap orang belum tentu mendapatkan kesempatan memperoleh pendidikan yang sama. Kita lihat saja pelayanan pendidikan formal di desa Tanime, Kecamatan Bime, Kabupaten Pegunungan Bintang, Propinsi Papua yang hingga saat ini masih belum layak. Data dari United Nations Children's Fund (Unicef) menunjukkan bahwa 30% siswa Papua tidak menyelesaikan SD dan SMP mereka.
Di pedalaman, sekitar 50% siswa SD dan 73% siswa SMP memilih untuk putus sekolah [4]. Jumlah yang cukup besar, bukan? Bayangkan jika angka putus sekolah semakin meningkat, maka pemerataan pendidikan tidak terlaksana dan mengakibatkan rendahnya tingkat pendidikan penduduk setempat. Padahal, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun ajaran 2013/2014, terdapat 117.529 siswa sekolah dasar (SD) dan 39.529 siswa sekolah menengah atas (SMA) di provinsi Papua Barat.
Sementara di provinsi Papua, terdapat 336.644 siswa SD dan 94.897 siswa SMA. Sepintas, angka itu tampak menjanjikan. Sayangnya, fakta yang ada di lapangan jauh dari sekadar angka [4]. Dari tahun- tahun sebelumnya kita tahu bahwa mengangkat kerugian besar yang dialami akibat kurangnya pemerataan pendidikan akan jauh lebih baik jika semua orang di setiap daerah berkesempatan merasakan pendidikan, bukan? Tentu saja.
Lalu, apa penyebab pemerataan pendidikan formal di desa Tanime, Kecamatan Bime, Kabupaten Pegunungan Bintang, Propinsi Papua terhambat? Ketertinggalan pembangunan di berbagai sektor telah menempatkan penduduk desa Tanime sulit mengakses pelayanan pendidikan sehingga menimbulkan ketertinggalan di bidang pendidikan. Akibatnya, akses penduduk desa Tanime, Kecamatan Bime, Kabupaten Pegunungan Bintang untuk membangun daerahnya sangat sulit. Kondisi alam yang berada di perbukitan di daerah pedalaman Kabupaten Pegunungan Bintang ikut menyumbangkan kondisi ketertinggalan penduduk desa Tanime [5]. Selain kondisi alam, karakteristik sosial penduduk juga mempengaruhi.
Penduduk di Kabupaten Pegunungan Bintang memiliki tingkat pendidikan rendah, produktivitas rendah, kemampuan daya saing rendah, tingkat pengangguran tinggi, tingkat pendapatan rendah, dan kualitas kesehatan rendah. Menurut BPS Kabupaten Pegunungan Bintang, jumlah penduduk Kabupaten Pegunungan Bintang pada tahun 2013 adalah sebesar 69.304 jiwa dan meningkat menjadi 70.697 jiwa pada tahun 2014, dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 2,01%.
Kepadatan penduduk di Kabupaten Pegunungan Bintang mencapai 5 orang/km2 pada tahun 2014 dengan rata-rata jumlah penduduk 4 jiwa/rumah tangga. Pada tahun 2014, rasio jenis kelamin penduduk Kabupaten Pegunungan Bintang adalah 114, yang berarti di antara 114 penduduk laki-laki terdapat 100 penduduk perempuan. Komposisi penduduk menurut tingkat pendidikan di Kabupaten Pegunungan Bintang berdasarkan data tahun 2013, meliputi 7.412 jiwa adalahmurid Sekolah Dasar (SD), 964 jiwa murid Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan 321 jiwa murid Sekolah Menengah Umum (SMU). Tingkat pendidikan penduduk angkatan kerja yang berusia 15 tahun ke atas di Kabupaten Pegunungan Bintang pada tahun 2014 masih cukup rendah, karena masih didominasi oleh jumlah penduduk yang tidak/belum pernah sekolah dan tidak/belum tamat SD, yaitu total keduanya sekitar 85% [6].
Cara paling mudah untuk menyebarkan pemerataan pendidikan adalah melalui SM3T menuju Merdeka Belajar. SM3T merupakan singkatan dari Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal. Artinya para sarjana pendidikan nantinya akan mengajar di daerah- daerah terpencil dengan pendidikan masyarakat yang kurang maju, khususnya di daerah Indonesia. Hal-hal besar dilakukan oleh serangkaian hal-hal kecil yang disatukan - Vincent Van Gogh [7]. Seperti kutipan Vincent Van Gogh berarti SM3T sebagai hal kecil yang dilakukan untuk menuju Merdeka Belajar. Pemerataan pendidikan di daerah- daerah terpencil dan terbelakang merupakan suatu upaya kecil yang apabila terus dilakukan akan menjadi suatu hal besar yaitu, Indonesia Merdeka Belajar.