Mohon tunggu...
Fevi Machuriyati
Fevi Machuriyati Mohon Tunggu... -

Seorang ibu sederhana yang suka berimaginasi. Suka menulis sebatas fb

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dilema Satria (Cerita Seorang ODHA)

19 Februari 2012   17:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:27 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jarum jam menunjukkan angka 12 kali tepat. Hawa dingin menyelimuti bangsal kamar no 14. Terlihat wajah kuyu dengan wajah dan bibir mengitam.Satria, pasien ruangan mawar merah, sendiri diruang itu hanya ditemani Sri isterinya. Jarum infus masih menancap dilengannya yang tinggal tulang. Selang 0ksigen masih menghias diwajah kuyunya. Nafasnya berat tapi lebih berat beban yang dipikulnya. Terlihat matanya yang gelisah tidak bisa terpejam sama sekali.

Diliriknya Sri, wanita soleha yang sedari kecil hidup di lingkungan pesantren , dinikahi 4 tahun yang lalu setelah petualangannya yang panjang dengan banyak perempuan. Sri tertidur disisi tempat tidurnya dengam posisi duduk dan kepala terbaring di kasur. Sepuluh hari ia sudah setia menunggu satria opname di bangsal kelas III ini. Tidur Sri tampak lelap sesekali ia berganti posisi kepala direbahkan kesamping kiri. Matanya tetap terpejam. Satria mengusap kepala isterinya. Rasa iba dan sayang berkecamuk didadanya.

„ Ya Allah, ampuni hamba....“, Satria bergumam lirih. Hampir mirip sebuah desah saja.

” Sebenarnya bukan beban sakit ini yang hampir tak kuat hamba tanggung. Tapi menyatakan dengan jujur apa sakit hamba kepada isteriku “ Seraya mengusap kepala isterinya sekali lagi. Sri tetap tak bergeming mungkin karena rasa lelahnya menunggu suaminya selama 10 hari di rumah sakit. Satria menepis bayangan masa lalunya. Ketika wajah tampannya menebar pesona kesemua wanita. Ditunjang dengan kantongnya yang tebal buat merayu wanita. Karena dia anak tunggal seorang perwira polisi. Kedua orang tuanya terlalu memanjakan dia. Sehingga apa yang dia mau selalu ia dapat. Dan semua selalu benar dimata orang tuanya. Tidak ada yang salah walaupun kenakalannya dia sudah diluar kewajaran. Sampai ia bertemu dengan teman-teman yang menunjang kenakalannya menjadi lebih hebat. Tiap malam selalu begadang dengan pesta miras, narkoba dan astaghfirullah wanita. SMA ia habiskan dengan sia-sia. Petualangan cintanya dengan beragam wanita dari usia ABG sampai ke tante girang, dari kelas perek, mahasiswa, pelajar sampai wanita pengusaha sudah dikecapnya. Setelah selesai SMA ia tidak mau kuliah kerjaannya hanya nongkrong dengan teman segengnya. Pesta sabu, ganja, miras setiap malam ia gelar.

Sampai suatu ketika ia overdosis di kost-kostan temannya. Orang tuanya baru tahu kalau dia sudah "SALAH ASUHAN". Syok dan kecewa membuat kedua orang tuanya mengalami serangan jantung. Yang akhirnya ketika Satria sedang berjuang dengan sakratul maut karena overdosis. Ayahnya berjuang dengan dengan serangan jantung yang akhirnya berujung pada kematiannya. Disusul dengan kematian ibunya pula.

Ketika satria pulih dan berangsur membaik, pecahlah tangisnya. Ketika diberitahu kalau kedua orang tuanya telah meninggal. Sesal yang mendalam yang tidak bisa ia gambarkan. Hampir ia mengakhiri hidupnya. Kalau saja seorang teman ayahnya seorang ustad memberitahukan kalau ia diberikan nyawa kedua untuk memberikan kesempatan kalau ia bisa menebus semua kesalahannya.

“ Tiga amalan manusia yang tidak terputus sampai ia meninggal itu ada 3 perkara: 1. Amal jariyah2. Ilmu yang diamalkan 3. Doa anak yang soleh. “ Suara lantang H. Ibrahim membuat pikirannya terbuka.

" Satria, engkau diberi Allah kesempatan hidup kedua oleh Allah SWT, tetapi sebagai manusia yang berbeda. Dulu kamu hidup di jaman jahiliyah dan kini pergunakan kesempatan hidup keduamu untuk menjadi manusia yang lebih istiqomah. Kamu diberi kesempatan juga untuk membawa kedua orang tuamu ke jalan surga. Dengan menjadi anak yang soleh. “, suara H. Ibrahim pelan dan lembut. Membuka pikiran sehatnya.

“ Ya Allah, ampuni hambamu ini. Terimakasih Abah telah memberiku siraman rohani . Setelah ini aku akan menjadi anak soleh yang selalu mendoakan ayah dan bunda. Semoga kau tempatkan kedua orang tua hamba di syurga. Amin...“ Diciumnya tangan Hj ibrahim sambil berurai air mata.

Setelah itu Satria lahir sebagai manusia baru. Ia pergi jauh dari rumahnya mendalami agama disuatu pondok pesantren. Tiap malam ia menangis menyesali dosa-dosanya yang sudah diuntainya. Pondok pesantren Al Hidayahnya membawanya pada suatu pencerahan hidup. Disini ia telah menemukan ketenangan. Seperti aliran suara air ditengah oase. Batin dan jiwanya telah menemukan hakiki kehidupan. Sampai suatu ketika ia dipertemukan Sri. Salah satu santriwati di Pondok itu. Wajah yang manis dengan tatapan teduh mampu menyita seluruh hatinya. Pesona Sri terletak pada hakikat wanita muslimah sejati. Hidup Sri dinafaskan dengan apa yang sudah di aqidahkan oleh Qur,an dan Hadist.

Sri tahu gundah di hati Satria. Ia hanya menitipkan doa-doa yang harus di baca Satria untuk ketenangan hatinya. Satria merasa tenang ketika hanya bertatap dengan Sri. Dan Sri selalu matanya tunduk tak berani menatap Satria. Akhirnya Satria memutuskan untuk melamar Sri dan Sri menerimanya.

Dari perkawinan meereka lahir Putri yang berusia 2 tahun. Satria memilih hidup di lingkungan pondok. Ia berwiraswasta membuka bengkel. Rejekinya mengalir bengkelnya mulai ramai. Hidup Satria seperti lengkap sudah. Kebahagiaan dan ketenangan hidup ia nikmati. Setiap hari ia bersyukur atas

limpahan rakhmatNya.

Sampai suatu ketika dia sering merasa kurang enak badan. Flu gampang menyerangnya. Dipikirnya karena kelelahan bekerja dibengkel. Pada akhirnya dia mengalami demam hebat, disertai diare dan muntah-muntah. Di bawahlah ia ke rumah sakit. Satria harus diopname dibangsal kelas 3 ini.

Pagi tadi setelah visited dr Rizal menghampirinya ditemani seorang suster

“ Bapak Satria, selain bapak dan isteri bapak apa ada keluarga lain yang bisa saya ajak bicara “, Suara pelan dr Rizal keluar sambil membolak-balik statusnya.

“ Tidak ada dok, saya tinggal hanya dengan isteri dan anak saya yang berumur 2 tahun. Kalau bicara tentang sakit saya biar sama saya saja dok. Karena isteri saya juga gak paham. Maklum kami orang desa “, jawab satria sambil menepiskan perasaan cemasnya. Karena ia punya firasat. Pagi ini suster yang biasanya menyuntik dia. Mulai menjaga jarak. Handscoen ia kenakan yang sebelumnya tidak mereka perlukan. Dua suster mulai berbisik ketika mulai menyuntik lengannya. Meski suaranya tak jelas tapi satria tahu dari matanya kalau ada sesuatu yang ganjil mengenai dirinya.

“ Baiklah kalau begitu, tapi ini saya mohon bapak lebih tegar.Dari serangkaian pemeriksaan penunjang. Tes darah atau laborat bapak menderita sakit HIV “, suara dokter Rizal yang pelan dicapakna sperti halilintar di telinga Satria.

“ Apa dok?….HIV, AIDS ya dok ? “, suara Satria tercekat serak rasanya.

“ Benar Pak, “. Dokter Rizal berhenti sebentar kemudian melanjutkan kalimatnya.

„ maaf Pak Satria sebelumnya saya ingin bertanya. Apa pak Satria pernah menjadi pengguna obat-obat terlarang? Atau pola hidup sexual bapak yang sering berganti pasangan ?

Satria hanya mengangguk. Ia hampir tidak percaya dengan ucapan dokter Rozal tadi.

“ Bapak juga faham kan, kalau bapak bisa menularkan penyakit ini pada keluarga bapak ? “. Tegas dokter Rizal. Satria hanya tercenung sampai tak bisa harus bicara apa.

“ Pak Satria, tidak etis sebenarnyaberbicara masalah diagnosa kepada bapak. Tapi karena kita tidak tahu harus bicara pada siapa lagi, tapi bapak harus tetap semangat melawan penyakit ini . Saya tinggal visite pasien yang lain dulu P Satria”, Sambil menyerahkan status ke suster, dokter Rizal berlalu meninggalkan Satria.

“ Bapak Satria infusnya mau saya ganti dulu pak, mau habis “, Suara suster Maya membuyarkan lamunan Satria.Dilihatnya jam menunjukkan pukul dua. Sri terbangun dari tidurnya. Dan bergegas berdiri.

Setelah suster Maya meninggalkan bangsal Satria. Sri duduk menghampiri suaminya.

“ Maaf mas, saya tadi ketiduran. Mas mau minum apa mau makan roti “, kata Sri dengan rasa bersalah.

Satria tersenyum getir. ” SRI MAS YANG HARUS MINTA MAAF, SAMPAI KAPAN MAS HARUS MENYIMPAN RAHASIA INI.....“ Satria hanya bisa berkata dalam hati karena suaranya tercekat oleh bebannya yang berat….

Lalilahaila anta inni kuntum minadzolimin………….Satria tak berhenti berdzikir…..

Mata satria terpejam. Setelah dzikir ia merasa tenang….Dzikir yang di ucapkan nabi Nuh ketika diperut ikan paus. Seperti itu harapan Satria. Pertolongan Allah akan datang ketika hambanya dalam cobaan.

Amiin.

( Sidoarjo 2011 )

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun