Zaman SMA dulu, bayanganku untuk laki-laki yang akan menjadi suamiku adalah, cerdas, laki-laki yang memiliki kulit bersih, wajah ramah, dan dibingkai kacamata….
Memasuki masa kuliah sudut pandangku tidak berubah.. Masih dengan ciri-ciri yang sama tapi ditambah dengan dengan harus soleh… Semester per semester saya lalui, pandangan tersebut pelan-pelan luntur. Ternyata pandanganku untuk seorang laki-laki yang kelak akan menjadi pendamping hidup haruslah dibingkai kacamata berubah menjadi: soleh adalah syarat mutlak yang tak bisa diganggu gugat; ganteng, ya setidaknya enak dipandang mata; cerdas! Harus, karena nggak enak kalo diajak ngobrol nggak nyambung karena tulalit; melek teknologi! Iya dong perlu, karena kalo hanya berkutat di mesjid dan di perpustakaan saja khawatir jadi manusia antik nantinya yang susah untuk bersosialisasi dalam masyarakat; struggle! Ini karena arus zaman yang semakin deras, maka seseorang yang kelak menjadi pendampingku harus bisa bertahan dan melaju melawan arus zaman yang tidak sesuai dengan hati nurani; romantis! Ah, terkesan berlebihan ya untuk ciri yang satu ini? Tapi, membaca sirah Rasulullah dengan perilaku beliau terhadap istri-istrinya itu adalah hal yang romantis menurutku! Lomba lari dengan Aisyah, menjadikan Khadijah adalah satu-satunya istri yang tidak ‘dimadu’, memperlakukan istri-istrinya sesuai dengan karakternya.. Ya, Rasulullah juga romantis, dan kenapa tidak jika saya memimpikan hal yang sama? Walaupun pasti tidak ada yang sesempurna beliau. Saya memimpikan laki-laki pendamping saya membangunkan dengan mesra ketika akan tahajud dengan sebuah ciuman di kening, betapa indahnya.. Sebuah keromantisan dikemas dengan nilai-nilai kesalehan seorang hamba kepada Rabbnya.. Ternyata banyak juga ya kriteriaku.. Memang siapa aku, sehingga bisa mematok calon suamiku sebegitu banyak kriterianya? Dengan hal-hal yang tidak mudah pula! Sombong sekali ternyata kriteria yang kubuat, seolah aku adalah perempuan luar biasa yang pantas menjadikan orang lain sesuai kriteriaku.. Akhirnya, karena khawatir dengan penetapan kriteria itu terkategori sombong, akhirnya aku ringkas sedikit. Kriteria yang aku ringkas itu adalah cerdas memaknai hidup dan dewasa mentarbiyah diri. Sesimpel itu… tapi, memang maknanya termasuk berat untuk beberapa yang maju.. Tapi ternyata ada seorang laki-laki yang merasa memiliki kriteria tersebut! Pun dia bilang dalam masa belajar untuk menjadi seseorang yang lebih baik.. Ahh, membimbing seseorang yang akan menjadi imamku?? Rasanya memang sangat berat.. Terlalu lelah aku menghadapi hidup yang selalu menuntutku untuk menjadi yang terbaik dan pedoman orang lain, terlalu lelah rasanya menuntut untuk selalu tegar dalam hidup ini… selain itu, ketika menilai secara langsung dari percakapan kami dan rekomendasi teman-teman yang lain, rasanya dia tidak masuk dalam kriteriaku!!! Kini, laki-laki yang bukan tipeku itu sudah hampir tiga tahun menjadi suamiku. Dia memang sedang belajar membaca Al-Qur’an ketika menikah denganku, belajar lagu untuk melantunkan ayat-ayat-Nya yang indah, belajar untuk membaca dengan tartil. Aku ternyata salah sangka, lantunan ayat Al-Qur’annya dan hafalannya membuatku pertama kali jatuh cinta di malam pertama kami menikah! Kini laki-laki yang bukan tipeku ini, menjadi penyeimbangku dalam hidup ini. Aku yang selalu berpikir terlalu global, terbantu olehnya yang berpikir lebih realistis dan detail. Laki-laki yang dulu bukan tipeku ini, memang berbeda sekali dalam cara pandang hidup. Kesederhanaanya pandangannya membuatku terasa mudah dalam melangkahkan kaki dalam menjalani hidup ini. Dia yang kupikir tidak romantis dan terasa tidak nyambung ini adalah laki-laki yang rajin memijatku ketika sedang hamil dulu, mencuci baju merupakan hobinya, rapi-rapi rumah adalah kebiasaannya, mencuci piring tak luput dari kesehariannya. Dia juga dengan senang hati mengasuh, bermain, dan mengajar anak kami, dan kini dia menjadi orangtua favorit anak perempuanku. Aku pun kalah olehnya.. Dia yang dulu bukan tipeku ini, bangunnya selalu lebih awal dariku. Membangunkanku dengan penuh sayang, dan tidak pernah memarahiku secara langsung apalagi bermain kasar. Lembut memperlakukanku sebagai perempuan dan sangat menyayangi ibunya yang telah melahirkan dan membesarkannya.. Seseorang yang dulu kupikir bukan tipeku ini, kini sedang berusaha menambah kegiatannya untuk membantu sesamanya, karena dia memiliki moto hidup, sebaik-baik manusia adalah yang banyak manfaatnya untuk orang lain. Dia yang dulu aku cari-cari dimana kelebihan fisiknya yang akan membuatku jatuh cinta. Kini adalah seseorang yang menjadi lelaki terindahku. Tidak indah di dalam lensa sebuah kamera, tetapi selalu indah di mataku karena dia adalah manusia real yang hidup bersamaku.. Yang dulu kupikir orang yang berkacamata dengan kulit bersih adalah terlihat cerdas. Tapi kini, orang yang menjadi pendampingku sekarang memang tidak perlu memakai kacamata untuk terlihat cerdas, tapi cukup dengan menyampaikan sesuatu dengan cerdas memiliki konsistensi dalam perkataan dan perbuatan, yang memiliki mata hati yang tajam dalam kebutuhan istrinya, yang memiliki kulit kulit bersih walaupun tidak putih karena rajin merawatnya.. Ahh, ternyata Sang Rabbul Izzati memberiku yang kubutuhkan bukan yang kuinginkan… Untuk laki-laki yang dulu bukan kriteriaku, tetapi kini menjadi laki-laki yang selalu mengulurkan tangannya dalam ketertatihanku.. Di sisa usiamu kini, masih terbentang luas jalan untuk selalu menjadi seseorang yang selalu lebih baik dari sebelumnya. Masih banyak PR yang harus segera dikerjakan, karena umat membutuhkan bantuan kita. Selalu ada jalan untuk kita menambah kebiasaan-kebiasaan baik dalam hari-hari yang akan kita jalani.. Semoga, langkahmu dalam menjadi imamku selalu dalam jalan yang di ridhoi-Nya.. Selalu dalam menjaga sunnah-sunnah Rasulullah yang akan menunjukkan jalan kita ke dalam kesenangan tidak semata-mata di dunia, melainkan di kampung akhirat kelak… Allahumma amiin………… Barakallahu fii umriik lelaki separuh dienku……..