Mohon tunggu...
Fetriza Rinaldy
Fetriza Rinaldy Mohon Tunggu... -

23 tahun, lulus dari Institut Teknologi Bandung dan saat ini bekerja sebagai field engineer. Gemar menulis, jalan-jalan, tertarik pada ekologi dan wildlife

Selanjutnya

Tutup

Nature

Konflik Alam Liar, Adilkah?

17 Agustus 2012   23:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:36 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu konflik bisa terjadi karena adanya kepentingan-kepentingan yang tidak sejalan dan saling bersinggungan. Manusia dengan segala keinginan dan kepentingannya, sejatinya adalah makhluk yang tak bisa lepas dari konflik, dalam bentuk apapun. Konflik manusia dengan manusia, itu sudah menjadi santapan sehari-hari. Namun, pernahkah terpikir konflik antara manusia dengan makhluk lain?

Beberapa waktu lalu saya membaca berita mengenai seorang pemuda yang tewas diterkam seekor harimau di perkebunan kelapa sawit, Riau. Ironis, karena kejadian tersebut terjadi tiba-tiba tanpa ada perlawanan dari korban hingga akhirnya nyawa korban tak terselamatkan. Lalu, kalau mau kita telusuri, apa penyebab ini semua? Murni kecelakaan? Menurut saya tidak.

Setiap makhluk dan jenis organisme di bumi memiliki relung masing-masing, atau dalam ilmu ekologi disebut sebagai "Niche". Relung memuat bagaimana organisme tersebut hidup, mempertahankan hidup, dan meneruskan kehidupan ke generasi berikutnya. Ketika relung tersebut bersinggungan, maka terjadilah kompetisi. Tentu pernah mendengar teori "Survival of the fittest", bukan? Disinilah teori tersebut bisa dibuktikan.

Hewan jelas memiliki relung yang berbeda dengan manusia yang seharusnya bisa sejalan dan selaras. Sejatinya hewan memiliki kehidupan mereka sendiri, tanpa ada campur tangan manusia. Sekalipun spesies kunci atau spesies payung seperti harimau. Mereka tidak akan menyerang tanpa sebab, mereka tidak akan menyerang ketika merasa aman dan nyaman. Namun semua akan berbeda cerita ketika mereka merasa terancam. Sudah nalurinya suatu organisme untuk mampu mempertahankan hidupnya, karena itu pula sudah nalurinya suatu organisme untuk bertarung supaya dapat meneruskan hidup.

Tidak ada asap, kalau tidak ada api. Begitu perumpamaannya. Serangan hewan liar yang memicu konflik dengan manusia tidak akan terjadi tanpa sebab. Bisa dikarenakan banyak hal, namun yang paling krusial dan paling banyak ditemukan adalah masalah habitat. Habitat asli mereka dirampas, dialih gunakan, dibuat kebun kelapa sawit, dibuat lahan pertambangan, dan kepentingan-kepentingan lain. Mereka yang merasa terancam dan kebingungan, pada puncaknya dapat memberontak, karena mereka bukan benda mati, mereka punya naluri dan perasaan. Apa yang akan kita lakukan jika hak kita dirampas? Tidak terima, bukan? Itulah yang terjadi pada mereka, hewan-hewan liar yang habitatnya diambil dan dirusak. Sayangnya, mereka tidak diberi kemampuan seperti manusia untuk dapat menyelesaikannya secara baik-baik.

Mungkin ini yang terjadi pada kasus di atas. Bukan sepenuhnya salah korban, namun kasus ini mungkin akumulasi dari masalah-masalah ekologi yang ada di daerah tersebut, yang sering dikesampingkan oleh manusia.

Oleh karena itu, penting bagi suatu pemangku kepentingan/stakeholder/pemrakarsa untuk dapat mempertimbangkan dampak konflik antara manusia dengan kondisi flora dan fauna eksisting. Pertimbangan tersebut harus dilakukan dengan studi mendalam, baik dalam bentuk feasibility study atau AMDAL. Jika keberadaan suatu rencana kegiatan akan mengganggu keberadaan mereka, maka menjadi kewajiban bagi kita untuk memberi solusi dan pertanggungjawaban. Kemana komunitas akan dipindahkan, bagaimana alurnya dan sebagainya. Jika kita tidak mampu memberi solusi, berlapang hatilah untuk mengalah.

Karena yang hidup di bumi ini bukan cuma kita, manusia. Bahwa sekali lagi mereka bukan benda mati.

Salam,

Fetriza Rinaldy

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun