Katamu, kita sudah tak ada lagi.
Sejak kau putuskan untuk memilih pergi dengan caramu sendiri.
Lalu aku?
Aku terlalu asyik menjadi pendongeng dengan dongeng-dongeng yang ku ciptakan sendiri.
Katamu, kita tetaplah yang dulu.
Tanpa sekat yang membuat kita terus dekat.
Tanpa dekap yang membuat kita tetap memeluk erat.
Tanpa tatap, bibir saling mengucap.
Nyatanya, ini lebih pahit dari sekedar kopi yang menjadi candumu di petang hari.
Tak semanis gula, yang mempu menjadi penawar pahitmu.
Kau ciptakan celah untuk kita perlahan berpisah.
Tak ada lagi dialog senja.
Cerita, dongeng-dongeng yang ku ciptakan, kau kandaskan begitu saja.
Kini, tak ada lagi cerita tak bertema.
Antaraku dan kamu.
Semua beda.
Senja menenggelamkan sinarmu dalam gelapnya peraduan, hinggi kini kau tak lagi ku jumpai.
Dalam bait-bait semu yang begitu menghantuiku.
Hadirmu kini tak lebih dari sebatas bayangan yang menjadi teman.
Sedang aku, manusia yang kau paksa untuk tuli dan bisu.
Tak ada ruang yang kau batasi.
Hanya saja aku yang akan mati dalam lingkar yang membuatku hidup hanya dalam sebuah ilusi.
Asrama khodijah, 08/12/2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H