Sore ini, lagi-lagi aku berlari ke taman dan menjatuhkan diri di bawah sebuah pohon mahoni besar. Duduk dan menangis. Terisak. Sendiri. Membenamkan wajahku ke dalam kedua tanganku yang memeluk lutut.
Refleks, tangisanku berhenti ketika mendengar grasak-grusuk dari balik dedaunan pohon mahoni yang sudah tua ini. Aku berdiri dengan penasaran. Aku mencoba mendekati dedaunan yang bergerak itu. Dan, tiba-tiba, wuusss,,,
Sesosok wanita kecil dengan dua sayap di punggungnya keluar dari balik dedaunan itu dan langsung berhenti tepat di depan wajahku. Ukurannya tidak lebih besar dari boneka barbie yang biasa kulihat. Kulitnya putih dan berparas cantik. Ia melayang, tubuh dan gaunnya penuh dengan kerlap-kerlip menyala.
“Peri,” ucapku ragu.
“Kamu bisa melihatku?” tanyanya. Lalu ia mengerutkan dahinya, seakan ragu.
Aku hanya mengangguk dan masih bingung. Peri itu hanya tersenyum. Cantik.
“Wooww!!” ia tampak terkejut. “Hai,, aku, Swietenia Meliacea,” serunya sembari menjulurkan tangan mungilnya itu.
Dengan polos, kuulurkan juga tanganku untuk menjabat tangannya. Tapi, aku justru takut akan menghancurkan tangan mungil itu. Akhirnya, kujulurkan jari telunjukku, dan ia menjabatnya.
“Kamu beneran peri?” tanyaku heran.
“Iya, aku peri pohon mahoni.”
“Aku nggak percaya ada peri. Pasti aku sedang bermimpi.”
“Duduklah, Anggela!”
“Kamu tahu namaku?”
“Pasti. Lagipula, hampir setiap senja kamu habiskan di sini hanya untuk menangis.”
Kata-kata itu langsung menusukku. Aku hanya menunduk mendengarnya. Lalu duduk.
“Jadi, kamu tinggal di pohon ini? Dan kamu terganggu dengan kehadiranku?”
“Hhmmm,,” ia tampak berfikir. “Apa yang kamu tangisi?”
“Hidupku.”
“Hidupmu?” ia diam sejenak.
Mungkin ia bingung, bagaimana mungkin anak kecil seusiaku sudah begitu serius memikirkan tentang hidup.
“Kamu mau mendengar sebuah dongeng?” tanyanya kemudian.
Aku menyeka lagi sisa-sisa air mata dan sembab di wajahku. “Boleh,” jawabku.
“Jadi begini,” makhluk kecil yang mengaku peri itu mulai bercerita. “Di sebuah hutan, ada seorang anak perempuan yang suka sekali menyendiri. Di antara banyaknya pohon yang menghiasi hutan, ia justru lebih memilih menyendiri di bawah pohon mahoni besar yang sudah tua. Duduk, bersedekap memeluk kedua lututnya, dan membenamkan wajahnya. Menyendiri dan menangis.”
Ia berhenti. Menatapku lekat-lekat, seoalah sedang menyelami pikiranku.
“Hingga pada suatu hari, gadis kecil itu berhenti menangis karena terkejut dengan kehadiran seorang makhluk kecil yang mengaku sebagai peri penunggu pohon mahoni.” Ia berhenti lagi dan tersenyum melihatku mengerutkan dahi.
“Lalu, apa yang diperbuat oleh gadis kecil itu?” tanyaku penasaran.
“Gadis kecil itu terheran-heran. Namun pada akhirnya ia senang, karena bisa mendapatkan teman dan tak lagi menyendiri.”
“Kenapa gadis itu suka sekali menangis dan menyendiri?” tanyaku lagi.
“Gadis itu menangisi hidupnya. Hidupnya di panti asuhan sederhana dan selalu dikucilkan oleh teman-teman sekolahnya. Ia merasa Tuhan tidak adil padanya. Ia tidak punya orangtua, teman-temannya selalu meledeknya sebagai anak miskin yang dibuang. Ia merasa sangat hina di hadapan teman-temannya dan tidak bisa berbuat apa-apa. Hingga pada akhirnya ia menjadi anak yang keras, egois, dan kasar. Ia sering berulah, baik di sekolah maupun di panti. Nilai-nilainya di sekolah pun turun drastis. Namun, di balik sikap kerasnya itu ternyata ia rapuh. Menangis dan menyendiri di bawah pohon mahoni, hanya itu yang bisa ia lakukan.” Peri itu berhenti lagi.
“Lalu?”
“Sang peri mengajak gadis itu ke istananya. Istana yang sungguh berbeda dari dunia manusia. Dan hanya anak-anak baiklah yang bisa melihat peri.” Ia selesai.
“Kenapa dongengmu mirip dengan kisahku?”
“Kamu mau tahu siapa nama gadis itu?”
“Siapa?”
“Anggela!”
Aku diam dan makin tidak mengerti.
“Gadis itu adalah kamu Anggela. Kamu gadis baik, makanya kamu bisa melihatku. Kamu seperti ini berarti kamu sudah kalah! Dan teman-teman yang meledekmu pasti senang dan merasa menang!” lanjutnya.
“Lalu aku harus bagaimana?”
“Kamu harus kuat! Kamu harus bisa membuktikan pada mereka bahwa apa yang mereka katakan itu adalah salah. Buktikan dengan sikap baikmu. Buktikan dengan nilai-nilaimu yang kembali bagus!”
“Aku ingin ikut bersamamu saja ke dunia peri. Bolehkah?” pintaku.
“Boleh. Tapi tidak sekarang.”
“Kenapa?”
“Kamu harus buktikan padaku akan membuat teman-temanmu itu merasa kalah. Bersikap baik dan kembalikan goresan nilai-nilai indahmu lagi!” serunya. “Oiya satu lagi, kamu harus ke sini setiap senja dengan senyuman, bukan dengan deraian air mata.”
Aku menatap senja yang tergores di langit luas. Indah. Begitu indah.
“Terlalu indah bukan untuk dilewatkan dengan tangisan? Seharusnya senja itu dinikmati dengan senyuman yang merekah. Selami maknanya dengan kedamaian,” ujarnya.
Aku tersenyum dan mengangguk. Kini aku mengerti. Ya, aku tak seharusnya melewatkan senja.
“Lalu kamu akan mengajakku ke istanamu?” tanyaku.
“Tentu.”
~ selesai ~
@fetihabsari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H