Tapak jejak sejarah peradaban yang semakin menjauh meninggalkan hitungan jam hari bulan dan tahun . Selalu di ingat , namun sayang .... seolah hanya sebatas untuk dikenang...hanya sebatas lewat nama dan hanya sebatas lewat wajahnya. Pikiran-pikiran nya terasa semakin bias dari realitas yang ada . "Bukan salah bunda mengandung" jika hadir emansipasi yang tak terukur - jika ada azas persamaan hak (gender) manipulatif yang justru sering mencederai semangat RA. Kartini itu sendiri .
Saya ber-'asumsi' lemahnya bangsa kita dalam mencatat sejarah secara lengkap dan utuh, . mengakibatkan peristiwa- peristiwa besar pada masa lalu bagaikan 'tembang kenangan'. Atau memang karena kurangnya kebijakan pendidikan yang intens untuk bisa membuat kita mengenal sejarah secara lebih akurat.
Dia memang dikenang..tapi sebatas "klangenan”. Saya memaknai RA. Kartini lewat subyektivitas saya sendiri, tentu saya tak berharap menggiring opini agar sejalan dengan apa yang saya kehendaki .
Dahulu, R.A. Kartini berjuang untuk membela hak belajar kaum wanita meskipun awalnya harus sembunyi-sembunyi dari titah sang ayah.
Sekarang sebagian perempuan sembunyi-sembunyi dari orang tuanya untuk bermaksiat, sampai-sampai ada yang tega 'berjuang' melawan nasehat kebaikan orang tuanya, meskipun mereka sadar bahwa itu untuk kebaikan mereka sendiri.
Masya ALLAH...akhir zaman memang menyesakkan, dan saya pernah termasuk salah satu dari mereka, meskipun saya bukan dari golongan Kartini.
Alhamdulillah, saya mencoba bertaubat dari melawan orang tua dan bermaksiat kepada ALLAH SWT. Sekarang, sebagian dari kita mencoba untuk sekedar berpartisipasi memperingati (baca: in memoriam) perjuangan R.A. Kartini dengan cuma mengikutsertakan anak-anak kita pergi ke karnaval dan menghabiskan uang untuk menyewa kain batik plus kebaya dan pergi ke salon untuk sanggulan. Bernyanyi-nyanyi sambil mengibaskan bendera, lalu pulang dan hampir pingsan karena kepanasan.
Hal yang sia-sia dan tidak memberi manfaat sama sekali bagi kita dan anak-anak kita karena hal tersebut hanya seremonial, dan harus mengeluarkan uang pula. Bila saja uang yang dikeluarkan untuk sewa kain batik, kebaya dan sanggul kita shodaqohkan bagi kaum perempuan yang dhuafa, anak yatim atau piatu yang membutuhkan, maka setidaknya kita akan lebih realistis memberikan contoh yang baik bagi anak-anak kita agar memori kebaikan itu menjadi kebiasaan mereka kelak dikemudian hari. Bukan hanya pada hari Kartini saja, melainkan pada setiap hari.
Peringatan hari Kartini akan lebih berarti dengan melakukan renungan dan evaluasi sejauh mana hak-hak perempuan sudah diberikan dan dilindungi baik dalam koridor hukum maupun tatanan budaya. Yang juga perlu dibicarakan adalah jangan sampai Kartini dijadikan alasan utk menyadur mentah-mentah gerakan emansipasi wanita di negara-negara barat yang sejarah dan kondisinya tentu sangat berbeda dengan yang ada dan terjadi di negeri kita, Indonesia tercinta.
Cinta budaya memang penting, tetapi memoles budaya secara berlebihan dan sifatnya seremonial saja, ibarat orang bilang cinta namun hanya sekedar pemanis bibir belaka dan akhirnya menjadi "masyarakat basa-basi" dan cenderung menjadi hipokrit.
Yockie Suryo Prayogo's notes & comments
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H