Intensitas unjuk rasa di Indonesia seperti tidak ada habisnya, hampir setiap hari kita disuguhi berita tentang aksi massa yang turun ke jalan. Tidak terbatas hanya di Jakarta sebagai pusat kekuasaan namun juga menyebar hampir di semua sudut daerah dalam ruang lingkup NKRI. Pada prinsipnya Demokrasi membiarkan aktifitas menyampaikan pendapat seperti ini sebab merupakan hak kebebasan dalam perbedaan melihat persoalan, akan tetapi apabila interval waktunya begitu sering terjadi tentu menjadi sebuah tanda Tanya lain, dalam artian ada sesuatu yang tidak beres di sini.
Secara logika massa hanya akan turun ke jalan apabila ada hal atau hak darinya yang tak tersampaikan, memang kondisi tersebut bila hanya satu dua kasus yang terjadi tentu tidak akan menjadi masalah berarti karena jelas tidak mungkin Negara mengakomodir semua keinginan perorangan dalam kebijakan pemerintahannya. Tapi yang kita saksikan sehari-hari justru fenomena massal yang berulang-ulang, tidak hanya melibatkan sekelompok orang akan tetapi melibatkan sejumlah massa dalam berbagai kelompok yang jumlahnya tidak bisa diremehkan begitu saja.
Wacana kearah penggulingan kekuasaan melalui kekuatan rakyat (People Power) semakin kerap terdengar, meskipun berbeda pandangan namun dari semua elemen yang menyuarakan tuntutan jelas tergambar bahwa rasa ketidaksenangan mereka di picu oleh kekecawaan sama yang berlarut-larut. Bila selama ini analisa terhadap kasus tersebut selalu berkesimpulan bahwa pemicunya adalah masalah ekonomi dan kesejahteraan, sekarang agaknya mesti dipertimbangkan karena tidak semua demonstran menggunakan tuntutan tersebut akan tetapi justru terlihat lebih fokus pada kasus-kasus politik dan akuntabilitas Negara.
Solidaritas terhadap ketua KPK (Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto) yang terlibat perseteruan dengan Kepolisian beberapa waktu lalu sekiranya mampu menggambarkan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum ternyata sudah sampai pada titik nadir, bahkan kasus ini menguap begitu saja karena tekanan massa. Kondisi tersebut kembali berulang dalam kasus Susno Duadji vs Mabes Polri (Makelar Kasus), lagi-lagi hampir tidak ada dukungan berarti bagi pihak kepolisian, masyarakat terus mendorong tindakan kedalam bagi Institusi Polri seraya memberikan dukungan penuh bagi pihak yang berseberangan dengannya.
Krisis kepercayaan masyarakat secara mayoritas dengan lembaga-lembaga Negara terus terjadi dalam kasus-kasus lain baik menyangkut Pemerintahan, Lembaga Keuangan bahkan Kejaksaan. Semakin hari gerakan parlemen jalanan ini terus menemukan momennya untuk menyerang secara terbuka sesuatu yang dianggap sebagai pelanggaran bagi hak-hak rakyat oleh pemerintah.
Ditengah ketidakpastian hukum dan keadilan seperti sekarang pemerintah selaku pihak otoritas pemegang amanat rakyat bukannya melakukan perbaikan namun justru terusan-terusan membela diri atau kalau boleh dikatakan tidak bereaksi. Presiden selaku orang nomor satu di negeri ini terlihat lebih senang bersumpah dengan nama tuhan di forum pertemuan daripada menempuh jalur-jalur legal sebagai upaya penyelesaian hukum.
Tidak ada langkah konkrit dari pemerintah ini lah kemudian yang menjadikan masyarakat lebih senang bergabung dengan organisasi yang menawarkan mimpi perubahan daripada harus menunggu Political Will penguasa. Kesempatan ini tentu menjadi hawa segar bagi sejumlah kalangan untuk mengolah krisis demi krisis menjadi berbagai kepentingan, walaupun kebanyakan rencana yang di bangun masih sangat kabur akan tetapi dukungan terlihat jelas dari ramainya massa yang terbentuk.
Gerakan rakyat di Indonesia sebenarnya bukanlah hal yang baru, kekuatan massa seperti dalam beberapa kasus pernah terjadi di sini meskipun tidak menghasilkan perubahan mendasar, tapi upaya-upaya perlawanan ini selalu menemukan momentum dengan bergantinya rezim yang berkuasa, sebutlah dua kasus yang paling besar :
- (Orde Lama : 1945-1965) ketika kekecewaan memuncak terhadap kepemimpinan Soekarno, mahasiswa selaku pihak intelektual yang paling menonjol pada saat itu secara massal berhari-hari terus melakukan demonstrasi yang mengkritik dan menghujat rezim. Lama kelamaan aktifitas tersebut berhasil memunculkan dukungan dari ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) selaku pemilik kekuatan, dukungan dari militer ini banyak dilukiskan oleh aktor-aktor lapangan pada saat itu seperti yang dilukiskan Soe Hok Gie dalam catatan hariannya yang diterbitkan Yayasan Mandalawangi. Walaupun akhirnya memunculkan kekecewaan baru setelah naiknya Soeharto ke tampuk kekuasaan (Soeharto merupakan seorang Jendral) namun rezim ini mampu bertahan sampai kurang lebih 32 tahun.
- (Orde Baru : 1966-1998) Demo kekuatan rakyat muncul lagi ketika tuntutan reformasi terhadap kepemimpinan Soeharto mencapai puncaknya pada Mei 1998, rezim tersebut berhasil dilengserkan setelah terjadi kerusuhan besar-besaran yang memakan korban jiwa tidak sedikit, mahasiswa dengan dukungan rakyat melakukan aksi unjuk rasa besar-besaran berhari-hari untuk menuntut reformasi, militer pun pada saat itu tidak mampu lagi membendung arus perubahan tersebut .
Dibandingkan dengan beberapa kasus terdahulu, kini aspirasi masyarakat bawah terhadap perubahan Indonesia terlihat mulai bergeser dari upaya-upaya perbaikan (Reformasi) menuju upaya perubahan mendasar (Revolusi). Pihak-pihak yang mengatasnamakan rakyat mulai berkonsentrasi pada perubahan dasar Negara ketimbang kepada pergantian rezim semata, bahkan kini mereka mengemuka dengan basis ideologi kuat yang harus dipertimbangkan. Seperti kemunculan kembali haluan-haluan Sosialis dengan basis massa utama buruh dan kaum miskin kota juga adanya simpati besar rakyat terhadap gerakan Islam Ideologis yang mengusung agenda utama Restorasi Negara Islam.
Upaya kearah perubahan sepertinya sangat dibutuhkan bagi bangsa ini sehingga wacana apapun yang dimunculkan kini selalu menempati posisi dalam masyarakat, ide-ide kepada “Ganti Rezim Ganti Sistem” merupakan keniscayaan karena dasar Negara Sekuler-Kapitalis sekarang telah terbukti gagal memimpin masyarakat, tidak hanya dalam studi kasus Indonesia namun juga dunia bahkan Negara kampiun pengusungnya saja (baca: Amerika) kini semakin oleng.