Oleh,
Feryanto W K*)
(satu lagi artikel lama yang sayang jika dibuang....)
Di akhir penghujung abad ke-20 ini kita menyaksikan bahwa walaupun dunia telah memasuki abad pengetahuan dan informasi, kita disadarkan bahwa pertanian kita masih rapuh, dan sangat labil dalam persaingan di tingkat global. Dimana kekuatan global yang menganut kepada ‘mahzab’ mekanisme pasar, menjadikan Indonesia salah satu negara ‘pengimpor beras’ terbesar di dunia, dan ketidakberdayaan produk pertanian kita yang ditolak oleh negara-negara Eropa dan Amerika akibat ketidaksesuaian mutu produk kita dengan standar mereka, produk kita kalah bersaing dan kalah pamor dengan hasil pertanian dari negara Thailand, China dan sekarang dengan produk pertanian Vietnam, negara yang baru bangkit dari ‘perang saudara’.
Kemajuan suatu bangsa, khususnya bagi bangsa yang penduduknya besar seperti Indonesia, dan memiliki kekayaan alam terbesar nomor lima di dunia, seharusnya ditentukan oleh kemajuan pertaniannya. Sektor pertanian, seharusnya adalah prime mover perekonomian nasional sehingga mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya yang sekitar 150 juta orang hidupnya tergantung kepada sektor pertanian. Tapi, ironisnya hal itu seperti hanya sekedar impian dari founding fhaters bangsa ini, dan hanya sekedar retorika dari pengambil kebijakan di negara ini.
Di Indonesia, citra petani dan pertanian seolah-olah menjadi simbol keterbelakangan, sebagai akibat kebijakan makro yang tidak berpihak kepada pembangunan pertanian nasional, sektor pertanian tetap menjadi sektor nomor kesekian, atau masuk kedalam urutan perioritas ‘utama’ paling akhir. Walaupun sebenarnya pada tanggal 1 Juni 2005, Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) dengan jargon ‘bersama kita bisa’-nya, ingin mengangkat sektor pertanian melalui konsep Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutananan (RPPK) dan hampir 1,5 tahun lebih berlalu, banyak kalangan menilai bahwa RPPK ini merupakan tindakan dan kebijakan yang gagal dan tidak lebih hanya sebatas ‘pemenuhan’ janji kampanye SBY-JK yang hampir tidak terealisasi. Terbukti dimana kita masih gagal dalam manajemen perberasan dan ketahanan pangan, seperti yang kita ketahui bersama hampir dipastikan pada minggu ketiga Januari 2007 ini beras akan masuk sekitar 308.000 ton ke Indonesia dari 500.000 ton yang telah disepakatai (Kompas, 26 Desember 2006), belum lagi masih banyaknya lahan yang mengalami kekeringan, kebanjiran di musim penghujan, sistem irigasi yang rusak parah dan kekuatan rent sekker yang tidak tergoyahkan untuk terus melakukan impor, belum lagi permasalahan kasus gizi buruk yang belum terselesaikan dan flu burung yang mulai berkembang lagi.
Jika kita cermati dari tataran konsep yang ada bahwa salah satu “Triple Tracks Strategy” dari pemerintahan sekarang adalah Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutananan (RPPK) dalam upaya pengurangan angka kemiskinan dan pengangguran, serta yang utama peningkatan daya saing ekonomi yang berbasis kepada komoditas nasional. Diharapkan jumlah kemiskinan yang pada tahun 2004 sekitar 16,6% dari jumlah penduduk Indonesia dan sebagian besar merupakan petani yang tinggal di pedesaan dapat turun menjadi 8,2% pada tahun 2009. Dengan kondisi tersebut diatas, maka akan sulit mewujudkan target pemerintah tersebut.
Kalau kita perhatikan, walaupun RPPK merupakan blue print pembangunan pertanian nasional. Namun, grand strategy pembangunan perekonomian kita lebih condong kepada pembangunan dan peningkatan sektor industri ataupun manufaktur yang berbasis non pertanian dan properti. Terkait dengan ekonomi pasar, kita menyaksikan bahwa ada kesan negara kita ‘’terlalu maju’’ untuk berkompetisi di pasar internasional. Beberapa kebijakan bea masuk sangat rendah, dan sisi lain menghadapi beban pajak ekspor dan pungutan yang cukup tinggi. Seringkali kita harus tunduk dan taat terhadap tekanan yang dilakukan oleh negara-negara maju untuk menghilangkan subsidi pertanian kita. Petani kita dipaksa untuk bisa mengikuti standar mutu yang relatif tidak bisa dijangkau oleh kualitas pertanian kita akibat keterbatasan teknologi yang dimiliki, sehingga dengan skenario-skenario tersebut para petani negara maju dapat memasukkan produk mereka ke negara-negara sedang berkembang atau negara berkembang seperti Indonesia. Ironis memang di negeri yang subur makmur “gemah ripah loh jinawi’’ ini, petaninya menjadi pelaku subsisten dalam perekonomian bangsanya.
Padahal bukan rahasia umum lagi, bahwa negara-negara maju tetap memberikan subsidi kepada petani dan pertaniannya, sebagai contoh bahwa setiap sapi di Uni Eropa mendapat subsidi dari pemerintahnya sebesar 2,2 dollar AS per hari. Angka itu jahu lebih besar ketimbang pengeluaran per hari 1,2 miliar penduduk termiskin di dunia yang hidup dengan biaya kurang dari satu dollar AS per harinya (Kompas, 22 Desember 2005). Serta jutaan dollar dikeluarkan pemerintah Amerika Serikat untuk melindungi para petaninya melalui subsidi harga. Alasannya demi melindungi petani, konstituen politik mereka dan ini menjadi argumen yang selalu diajukan dan diperdebatkan negara maju dalam setiap perundingan yang membahas masalah keadilan perdagangan pertanian antar negara. Padahal, menurut Presiden Brasil Lula da Silva, petani yang dimaksud adalah warga kaya Eropa, warga kerajaan, penghasil anggur merek Bordeaux, dan keju merek terkenal.
Kesepakatan WTO (World Trade Organization)
Sejak disepakati perjanjian perdagangan sektor multilateral di sektor pertanian yakni Agreement on Agriculture (AoA) pada tahun 1994, telah terjadi penyesuaian kebijakan nasional masing-masing negara WTO. Di dalam AoA dimuat kesepakatan negara anggota untuk melaksanakan : 1) perluasan akses pasar produk untuk pertanian melalui, pengurangan tarif, dan ratifikasi non tarif, 2) pengurangan subsidi ekspor, dan 3) penurunan subsidi domestik (domestic support). Kesepakatan ketiga ini yang sangat sering diperdebatkan dalam forum-forum WTO, dimana negara-negara maju menginginkan negara berkembang untuk mengurangi atau bahkan mencabut subsidinya, sehingga akan memperlemah petani negara tersebut dan merusak sektor pertanian mereka sehingga secara perlahan produk-produk negara maju akan memasuki negara kecil, seperti yang terjadi di Indonesia.