(suatu Tinjaun Kritis Terhadap Revitalisasi Pertanian dalam Konteks Ketahanan Pangan)
Oleh,
Feryanto W.K*)
Beberapa waktu yang lalu kita disuguhi dari berbagi media, mengenai kasus busung lapar yang terjadi, kasus gizi buruk Karena kurangnya asupan dari bahan makanan yang bergizi, dan banyaknya para pengungsi yang belum ataupun tidak menerima bahan pangan. Sehingga sebagai manusia yang peduli terhadap sesamanya, kita menjadi sedih dan terpukul mendengarnya, Bila kita cermati secara seksama, ada sesuatu hal yang menarik terjadi disini dimana dalam kondisi sekarang ini dengan era yang terbuka dalam segala hal termaksuk informasi, kita baru mengetahui kondisi busung lapar yang melanda beberapa daerah di Indonesia, seolah-olah ada suatu konspirasi dalam hal ini untuk berusaha menutup-nutupi kondisi yang ada, mengenai ‘bahaya kelaparan’ dinegara yang ‘Gemah ripah loh jinawi’ ini.
Itulah adalah sekelumit permasalahan yang dialami bangsa ini, dimana pemerintahnya ‘salah urus’ mengenai dunia pangan, yang sebenarnya merupakan kebutuhan yang sangat hakiki yang ahrus dipenuhi bagi setiap warga negara. Hal ini tentunya dapat diantisipasi jika pemerintah serius dalam mengurus masalah pangan dengan penekanan dan memperhatikan kepada kearifan lokal dalam artian meningkatkan program diversifikasi pangan. Pencanangan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) yang dilaksanakan pada tanggal 11 Juni 2005 yang lalu merupakan tantangan bagi perintah. Apakah program tersebut mampu menjawab permasalahan dan tantangan yang dihadapi bangsa ini, terutama dalam hal pengadaan pangan bagi warganya.
Pangan hak asasi setiap manusia
Pangan merupakan kebutuhan manusia yang paling asasi, sehingga ketersediaan pangan bagi masyarakat harus selalu terjamin. Manusia dengan segala kemampuannya selalu berusaha mencukupi kebutuhannya dengan berbagai cara. Dalam perkembangan peradaban masyarakat untuk memenuhi kualitas hidup yang maju, mandiri, dalam suasana tentram, serta sejahtera lahir dan bathin, oleh karena itu semakin dituntut penyediaan pangan yang cukup, berkualitas, dan merata. Oleh karena itu, kecukupan pangan bagi suatu bangsa merupakan suatu hal yang sangat strategis. Oleh karena itu sudah kewajiban
pemerintah untuk menyediakan pangan yang cukup baik dari segi jumlah, mutu dan ketersediaannya yang terjangkau. Sehingga Kondisi ketahanan pangan dapat terpenuhi, sesuai dengan undang-undang No. 7 Tahun 1996 menyatakan bahwa pengertian ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan yang tercermin dari : (1) tersedianya pangan secara cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya; (2) aman; (3) merata; dan (4) terjangkau. Dari pengertian tersebut jelas sekali kalau pemerintah di’amanahi’ untuk bisa mengisi perut-perut rakyatnya secara cukup baik dari segi jumlah dan kualitasnya.
Masalah busung lapar dan kondisi gizi buruk mungkin saja dapat tidak terjadi jikalau saja, pemerintah baik pusat dan daerah memenuhi kewajibannya bedasarkan UU No. 7 Tahun 1996. Ketahanan pangan merupakan kunci dari hal itu, dimana untuk memenuhi kondisi itu harus memacu peningkatan produktivitas pertanian, melakukan impor ataupun melakukan diversifikasi pangan yang merupakan alternatif yang sangat relevan pada saat sekarang. Mewujudkan kondisi ketahanan pangan melalui peningkatan produktivitas pertanian bukan suatu hal yang sangat sederhana, karena membutuhkan waktu perencanaan yang mantap, apalagi membutuhkan waktu yang relatif cukup lama. Memang dengan dicanangkannya Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan oleh Presiden SBY, merupakan suatu hal yang positif dalam peningkatan volume pangan dan salah satu tujuan dari program ini adalah swasembada pangan yang menuju ketahanan pangan, namun sekali lagi hal ini
membutuhkan waktu yang cukup lama.
Sedangkan rakyat kita sudah menderita kekurangan gizi, busung lapar bahkan sudah ada korban. Apaka kita masih ingin menunggu program ini berjalan sambil menghitung koban-korban lain berjatuhan satu-persatu.
Jika, pemerintah mengambil kebijaksanaan untuk melakukan impor pangan dari luar negeri guna memasok makanan yang bergizi kedaerah-daerah yang rawan busung lapar, memang tindakan yang cukup tepat dan cepat untuk menanggulangi bahaya kelaparan tersebut. Namun, satu hal yang kita mungkin lupa bahwa dengan melakukan impor secara terus menerus kita akan mengalamai ketergantungan kepada pihak luar, pasar akan terdistorsi dengan merebaknya produk-produk impor karena kran impor yang dibuka oleh pemerintah dengan pajak rendah. Impor juga akan membebani pengeluaran
negara, memang langkah cepat sebagai tindakan awal, pemerintah bisa saja melakukan impor baru diikuti oleh program diversifikasi pangan.
Diversifikasi pangan
Pemerintah sebagai penjamin terhadap ketersediaan pangan bagi warga negaranya, tidak bisa hanya terpaku kepada ketersediaan beras saja. Harus ada suatu diversifikasi pangan untuk menjamin ketahanan pangan, karena ketika kita berbicara mengenai pangan yang terpikirkan oleh kita adalah beras dan beras. Mindset manusia Indonesia harus mampu dirubah bahwa pangan itu hanya beras saja, sehingga budaya “kalau belum makan nasi sama saja belum makan” yang melekat di warga kita bisa kita tanggalkan. Diversifikasi harus digalakkan dengan berusaha mengkonsumsi atau mengganti pola makan nasi dengan pangan lainnya seperti mie, ubi, sagu, dan lainnya yang nilai gizi dan kalorinya setara denga nasi. China dan Vietnam mempunyai kebudayaan untuk memakan mie, India mempunyai kebudayaan memakan roti, sedangkan kita?, Negara yang jelas-jelas mempunyai beragam makanan, seperti Pecel, Gado-gado, Papeda dan lainnya yang tak kalah dengan China dan Vietnam dengan mie-nya, dan India dengan rotinya.
Jumlah penduduk Indonesia yang pada saat sekarang ini berjumlah 220 juta jiwa lebih merupkan suatu angka yang cukup besar untuk memenuhi kebutuhan pangannnya, sehingga tak heran bila ketahanan pangan kita yang tidak pernah
beres akan menimbulkan ancaman kelaparan yang akhirnya dapat menimbulkan kerawanan terhadap kestabilan keamanan bangsa. Hal ini mengisyaratkan bahwa pemantapan ketahanan pangan harus dilakukan dengan (a) diversifikasi pangan, mengandalkan keunggulan keragaman sumberdaya bahan pangan, kelembagaan dan budaya (termaksuk budaya dan kebiasaan pangan) lokal; (b) mengutamakan produksi dalam negeri, dan menjamin tersedianya pangan dan nutrisi dalam jumlah dan mutu yang dibutuhkan pada tingkat harga yang terjangkau; dan (c) peningkatan pendapatan masyarakat terutama petani dan nelayan.
Pangan lokal
Meski hambatan-hambatan itu nyata, mengembalikan ’kejayaan pangan lokal’ tidaklah sulit. Hanya diperlukan perhatian dan dukungan semestinya dari pemerintah. Sama halnya dengan Pemerintah Jepang, dukungan itu dapat diberikan melalui banyak cara, mulai dari bantuan teknologi pascapanen, penyediaan bibit berkualitas, pengembangan teknologi pengolahan pangan, penyediaan infrastruktur gudang, penjaminan pasar, sampai promosi.
Potensi ketersediaan pangan lokal sangat melimpah. Misalnya umbi-umbian. Tidak seperti beras, umbi-umbian dapat tumbuh dengan baik di hampir seluruh wilayah di Indonesia, bahkan dapat ditanam di lantai hutan sebagai tanaman sela. Sebagai gambaran jika satu persen lantai hutan Indonesia ditanami ubi kayu berpotensi menghasilkan 20 juta ton ubi kayu segar atau setara 7 juta ton tepung ubi kayu. Biaya investasi untuk mengembangkan lahan sehingga siap ditanami umbi-umbian jauh lebih kecil dibandingkan dengan investasi pembukaan lahan untuk padi.
Agar dapat menggantikan beras, pengolahan umbi-umbian menjadi tepung adalah pilihan terbaik dengan beberapa alasan. Pertama, tepung adalah produk yang praktis dari sisi penggunaan. Dalam bentuk tepung, produk bisa langsung diproses sebagai makanan instan atau sebagai bahan baku produk pangan lain. Kedua, teknologi pengolahan tepung sangat mudah dikuasai dengan biaya murah. Karena itu, para pelaku usaha skala kecil-menengah juga dapat terlibat dalam mengembangkan usaha ini. Ketiga, tepung mudah difortifikasi dengan nutrisi yang diperlukan. Dan keempat, masyarakat telah terbiasa mengonsumsi makanan yang berasal dari tepung.
Baru-baru ini tim peneliti pangan dari sebuah universitas di Jawa Timur berhasil mengembangkan tepung ubi kayu dengan karakteristik tertentu yang memungkinkannya dapat menggantikan beras dan terigu. Tepung tesebut—yang harga pokok produksinya jauh lebih murah dibandingkan dengan harga pokok produksi terigu—telah digunakan untuk berbagai bahan makanan olahan, seperti roti, kue kering, kue basah, mi instan, dan mi basah.
Bisa dibayangkan, dari satu persen lantai hutan saja, kita dapat menghasilkan 7 juta ton tepung ubi kayu, suatu jumlah yang dapat menambal kekurangan beras secara signifikan sehingga kita tidak lagi harus mengimpor. Kita juga dapat mengganti penggunaan terigu, bahan pangan yang setiap tahun juga kita impor sekitar 4 juta ton. Belum lagi efek lain, seperti penciptaan banyak lapangan kerja baru di sektor budidaya—sektor ini umumnya padat karya, industri pengolahan dan pemasaran.
Jadi jelas sekali bahwa fenomena bahaya kelaparan, kurang gizi, busung lapar bahkan sampai bahaya kematian dapat dicegah dengan program diversifikasi ini menuju ketahanan pangan yang dicita-citakan. Oleh karena itu dituntut keseriusan pemerintah dalam mewujudkan masyarakat yang menikmati pemerataan pembangunan, sehingga lost generation dapat kita cegah bersama. Sehingga salah satu criteria keberhasilan dari Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan adalah dengan terciptanya kondisi ketahanan pangan yang berbasis pada kebudayaan dan sumberdaya lokal. Besar harapan, baik Pemerintah Pusat dan Daerah bisa bekerjasama sesuai jargon Presiden SBY “Bersama Kita Bisa” mampu mewujudkan terciptanya kondisi masyarakat yang hidup dalam tingkat dan kondisi gizi yang baik melalui Program Revilatisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan.
Hanya dengan memberi perhatian cukup ke pengembangan pangan lokal, kita dapat menuntaskan masalah impor beras
*) Staff Pengajar Departemen Agribisnis-FEM IPB
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H