Mohon tunggu...
Feryanto W. K
Feryanto W. K Mohon Tunggu... -

Staf pengajar Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor (IPB)

Selanjutnya

Tutup

Money

Kelaparan dan Diversifikasi Pangan

15 Januari 2011   04:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:34 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Jumlah penduduk Indonesia yang pada saat sekarang ini berjumlah 220 juta jiwa lebih merupkan suatu angka yang cukup besar untuk memenuhi kebutuhan  pangannnya, sehingga tak heran bila ketahanan pangan kita yang tidak pernah
beres akan menimbulkan ancaman kelaparan yang akhirnya dapat menimbulkan kerawanan terhadap kestabilan keamanan bangsa. Hal ini mengisyaratkan bahwa pemantapan ketahanan pangan harus dilakukan dengan (a) diversifikasi pangan, mengandalkan keunggulan keragaman sumberdaya bahan pangan, kelembagaan dan budaya (termaksuk budaya dan kebiasaan pangan) lokal; (b) mengutamakan produksi dalam negeri, dan menjamin tersedianya pangan dan nutrisi dalam jumlah dan mutu yang dibutuhkan pada tingkat harga yang terjangkau; dan (c) peningkatan pendapatan masyarakat terutama petani dan  nelayan.

Pangan lokal

Meski hambatan-hambatan itu nyata, mengembalikan ’kejayaan pangan lokal’ tidaklah sulit. Hanya diperlukan perhatian dan dukungan semestinya dari pemerintah. Sama halnya dengan Pemerintah Jepang, dukungan itu dapat diberikan melalui banyak cara, mulai dari bantuan teknologi pascapanen, penyediaan bibit berkualitas, pengembangan teknologi pengolahan pangan, penyediaan infrastruktur gudang, penjaminan pasar, sampai promosi.

Potensi ketersediaan pangan lokal sangat melimpah. Misalnya umbi-umbian. Tidak seperti beras, umbi-umbian dapat tumbuh dengan baik di hampir seluruh wilayah di Indonesia, bahkan dapat ditanam di lantai hutan sebagai tanaman sela. Sebagai gambaran jika satu persen lantai hutan Indonesia ditanami ubi kayu berpotensi menghasilkan 20 juta ton ubi kayu segar atau setara 7 juta ton tepung ubi kayu. Biaya investasi untuk mengembangkan lahan sehingga siap ditanami umbi-umbian jauh lebih kecil dibandingkan dengan investasi pembukaan lahan untuk padi.

Agar dapat menggantikan beras, pengolahan umbi-umbian menjadi tepung adalah pilihan terbaik dengan beberapa alasan. Pertama, tepung adalah produk yang praktis dari sisi penggunaan. Dalam bentuk tepung, produk bisa langsung diproses sebagai makanan instan atau sebagai bahan baku produk pangan lain. Kedua, teknologi pengolahan tepung sangat mudah dikuasai dengan biaya murah. Karena itu, para pelaku usaha skala kecil-menengah juga dapat terlibat dalam mengembangkan usaha ini. Ketiga, tepung mudah difortifikasi dengan nutrisi yang diperlukan. Dan keempat, masyarakat telah terbiasa mengonsumsi makanan yang berasal dari tepung.

Baru-baru ini tim peneliti pangan dari sebuah universitas di Jawa Timur berhasil mengembangkan tepung ubi kayu dengan karakteristik tertentu yang memungkinkannya dapat menggantikan beras dan terigu. Tepung tesebut—yang harga pokok produksinya jauh lebih murah dibandingkan dengan harga pokok produksi terigu—telah digunakan untuk berbagai bahan makanan olahan, seperti roti, kue kering, kue basah, mi instan, dan mi basah.

Bisa dibayangkan, dari satu persen lantai hutan saja, kita dapat menghasilkan 7 juta ton tepung ubi kayu, suatu jumlah yang dapat menambal kekurangan beras secara signifikan sehingga kita tidak lagi harus mengimpor. Kita juga dapat mengganti penggunaan terigu, bahan pangan yang setiap tahun juga kita impor sekitar 4 juta ton. Belum lagi efek lain, seperti penciptaan banyak lapangan kerja baru di sektor budidaya—sektor ini umumnya padat karya, industri pengolahan dan pemasaran.

Jadi jelas sekali bahwa fenomena bahaya kelaparan, kurang gizi, busung lapar bahkan sampai bahaya kematian dapat dicegah dengan program diversifikasi ini menuju ketahanan pangan yang dicita-citakan. Oleh karena itu dituntut keseriusan pemerintah dalam mewujudkan masyarakat yang menikmati pemerataan pembangunan, sehingga lost generation dapat kita cegah bersama. Sehingga salah satu criteria keberhasilan dari Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan adalah dengan terciptanya kondisi ketahanan pangan yang berbasis pada kebudayaan dan sumberdaya lokal. Besar harapan, baik Pemerintah Pusat dan Daerah bisa bekerjasama sesuai jargon Presiden SBY “Bersama Kita Bisa”  mampu mewujudkan terciptanya kondisi masyarakat yang hidup dalam tingkat dan kondisi gizi yang baik melalui Program Revilatisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan.

Hanya dengan memberi perhatian cukup ke pengembangan pangan lokal, kita dapat menuntaskan masalah impor beras

*)  Staff Pengajar Departemen Agribisnis-FEM IPB

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun