Ketika aku sedang menjahit di ruang depan rumahku, aku dikejutkan oleh kedatangan seorang lelaki yang secara tiba-tiba dan tanpa mengucap salam, ia masuk begitu saja ke dalam rumah. Lelaki itu terlihat sedang tergesa-gesa, sekujur tubuhnya berkeringat dan wajahnya seperti diliputi oleh kepanikan yang besar. Ia hanya memandangku sebentar, lalu berlari masuk ke dalam rumah.
Ya, aku memang mengenal lelaki itu, bahkan sangat mengenalnya. Dia adalah Mas Rismanto, tetanggaku sendiri. Tapi kenapa ia berlari dan terlihat ketakutan seperti itu? Bukankah ia seorang preman, tukang berkelahi?
Aku masih diam tidak mengerti, yang aku lakukan hanya termangu sambil bertanya-tanya sendiri sebenarnya apa yang terjadi dengan Mas Ris. Beberapa saat kemudian, beberapa orang juga masuk ke rumahku. Aku terkejut lagi. Orang-orang berbadan besar itu mengenakan baju serba hitam, dan masing-masing menggenggam sebuah pistol. Ketika aku memandang mereka, mereka juga menatapku dengan pandangan penuh curiga.
“Apakah ada seorang laki-laki yang masuk ke rumah ini?” tanya seorang dari ketiga orang itu.
Aku diam, tidak menjawab.
“Jawab!” gertak lelaki yang lain. “Dia memakai kaos putih. Ris, ya namanya Rismanto. Kau pasti mengenalnya.”
“Saya memang kenal dia, tapi saya tidak melihatnya. Di sini tidak ada siapa-siapa selain saya.” Aku menjawab dengan tenang, walau sebenarnya hatiku masih dilanda ketakutan yang luar biasa. “Kalau tidak percaya, periksalah ke dalam,” ujarku lagi.
Orang-orang tersebut memandangiku dengan dalam. Sebenarnya aku merasa sangat takut, namun aku terus mencoba untuk menyembunyikan ketakutanku dan bersikap tenang di hadapan mereka. Beberapa saat kemudian, satu dari mereka memberikan instruksi untuk pergi dari rumahku.
Beberapa saat setelah kepergian orang-orang itu, Mas Ris muncul dari ruang tengah rumah. Aku melihat kelegaan pada wajahnya saat ia sedang berjalan mendekatiku.
“Terimakasih, Hen,” ujar Mas Ris pelan. “Kau telah menyelamatkanku,” lanjutnya.
“Sama-sama, Mas,” jawabku, lalu aku diam sejenak.”Mereka siapa?”
“Polisi.”
“Kenapa mereka mengejar Mas Ris?”
“Entahlah. Tadi aku hanya menolong seseorang yang sedang dikeroyok oleh beberapa preman. Eh, saat beberapa polisi datang aku malah diteriakin ‘pencopet’ sama preman-preman itu.”
“Kenapa Mas malah lari? Kenapa tidak mas jelaskan kepada polisi-polisi itu kalau mas bukan pencopet?”
“Aku sudah mencoba menjelaskan. Tapi preman-preman itu sangat pintar bersandiwara. Apalagi para polisi itu sudah hapal benar dengan aku, siapa aku. Dan mereka lebih percaya kepada para preman tadi. Mereka percaya kalau aku baru saja mencopet.”
“Sabar ya, Mas.”
“Tak apa, Hen. Sudah menjadi resikoku menjadi orang yang hidup di jalan. Sekeras apapun hidup, ya harus dihadapi.”
“Iya, Mas.” Aku mengiyakan saja apa yang Mas Ris katakan.
“Oh ya, kamu ada makanan nggak. Aku lapar, Hen.”
“Mas mau makan?”
“Iya, kalau ada sih.”
“Sebentar, aku ambilkan dulu ya.”
Satu hal yang tidak bisa terpungkiri, bahwa aku merasa deg-degan berada berdua dengan Mas Ris. Kenapa? Sejujurnya sudah sejak lama aku menaruh hati dengan preman tampan ini. Ya, sudah cukup lama. Namun aku tidak berani mengatakannya kepada Mas Ris. Bagiku, seorang perempuan mengungkapkan perasaan cintanya kepada lelaki adalah hal yang memalukan, meski jika dilogika sebenarnya sah-sah saja.
Bagai ada gerimis di tengah kemarau panjang, itu yang kemudian aku rasakan ketika tiba-tiba Mas Ris memberikan sebuah pengakuannya kepadaku,
“Sebenarnya sudah lama aku menaruh perhatian kepadamu. Aku mencintaimu.” ujarnya ketika ia masih duduk di depanku, sedang menikmati makanan yang sebelumnya kuambilkan. “Tapi aku merasa perlu untuk menyembunyikan kesukaanku ini. Karena aku sangat yakin dan percaya, mana ada perempuan baik-baik yang mau menjadi pacar atau bahkan istri dari seorang preman sepertiku.” lanjut Mas Ris dibarengi tawa ringannya.
“Mas tidak adil jika hanya berpegang pada pandangan sendiri.” ujarku malu-malu.
“Maksud kamu?” tanya Mas Ris dengan gurat wajah bingung.
“Mas belum bertanya kepadaku.”
“Bertanya apa?”
“Mas ini aneh. Kurang bisa ngertiin wanita.”
“Aku benar-benar tidak mengerti maksud pembicaraanmu.”
“Tadi mas berbicara tentang perasaan, benar?”
Mas Ris mengangguk.
“Mas cinta sama aku, benar?”
Mas Ris mengangguk lagi.
“Mas Ris tidak mau tahu tanggapanku?”
Mendengar pertanyaan terakhirku, kebingungan Mas Ris mendadak berubah menjadi senyum segaris, seolah ia sudah paham kemana arah pembicaraanku.
“Maksud kamu aku harus bertanya apakah kamu mau menjadi kekasihku?” tanya Mas Ris sementara sesimpul senyum mas tergambar di bibirnya.
“Seharusnya begitu,” jawabku dengan malu-malu.
Bagi laki-laki dan perempuan dewasa, kalimatku tersebut tentunya sudah dipahami apa maksudnya. Itu karenanya Mas Ris tidak perlu lagi menanyaiku apakah aku mau menjadi kekasihnya atau tidak. Aku hanya menyambut dengan senyum saja ketika Mas Ris berjanji bahwa kalau sudah waktunya nanti, ia akan menjadikanku sebagai istrinya.
“Aku tidak ingin menjalani jalinan kekasihan ini dalam konteks pacarannya anak muda. Aku mencintaimu sebagai lelaki dewasa yang sedang mengidamkan pendamping hidup,” kata Mas Ris dengan raut keseriusannya.
Semenjak malam itu dan pada hari-hari berikutnya, Mas Ris jadi sering datang ke rumahku. Namun aku sering juga melarangnya. Aku tidak enak dengan para tetangga, karena di rumah aku tinggal sendirian. Kedua orang tuaku sudah meninggal sejak aku masih duduk di bangku SMA. Jadi, aku dan Mas Ris lebih sering pacaran di luar rumah, entah hanya sekedar jalan-jalan di taman kota atau makan bersama di lesehan pinggir jalan.
Hubungan kami semakin hari semakin dekat. Bahkan orang tua Mas Ris sudah pernah menyingung mengenai pernikahanku dengan anaknya. Kita tinggal memikirkan waktu yang tepat, bulek Martinah, ibunya Mas Ris, sering berbicara seperti itu kepadaku dan aku sangat senang. Sebenarnya sudah berkali-kali para kerabat dan teman-temanku memberikan nasehat agar sebaiknya aku tidak menikah dengan Mas Ris, dikarenakan Mas Ris sudah dikenal oleh penduduk kampung sebagai seorang preman, anggota sebuah gengster terkenal. Namun aku tidak punya keinginan untuk mundur dari perhelatan cintaku dengan Mas Ris. Aku sudah begitu mengenal sosok Mas Ris. Walau pada masa sekarang ia seorang lelaki bertato yang suka berkelahi, namun aku meyakini bahwa suatu saat ia akan berubah, karena aku tahu kalau bahwa di balik tampang sangarnya itu, tertanam kelembutan dan pengertian kepada sosok wanita.
Hingga pada suatu hari, Mas Ris tiba-tiba menghilang tanpa ada sesiapapun yang tahu kemana perginya dan apa alasannya. Padahal keluarga besarnya sudah pernah berbicara kepadaku bahwa mereka sudah punya rencana untuk menikahkan Mas Ris denganku beberapa bulan ke depan, dan Mas Ris juga sudah membeli sepasang cincin untuk pernikahan kami nanti.
Seminggu, sebulan, hingga setahun, tidak ada kabar tentang keberadaan Mas Ris. Namun aku tetap memiliki keyakinan bahwa kepergian Mas Ris pasti ada alasannya. Pihak keluarga Mas Ris sudah pernah menemuiku dan meminta maaf kepadaku sekaligus membebaskanku untuk mencari tambatan hati lain. Namun aku bilang kepada mereka bahwa aku akan menunggu Mas Ris pulang.
* * *
Sepuluh tahun sudah aku menjadi seorang penunggu cinta. Orang-orang selalu menyebut kesetiaanku sebagai kesetiaan yang gila. Ya, mungkin di hadapan mereka aku terlihat seperti perempuan gila atau perawan tua yang sudah hilang kewarasannya. Pada usia tiga puluh lima tahun, dimana seharusnya pada masa sekarang-sekarang ini aku sudah hidup bersama suami dan anak-anakku, tapi justru aku masih memilih untuk hidup sendiri, rela menjadi sosok yang sepi. Tanpa aku harus bilang kepada para tetangga, mereka sudah tahu alasan apa yang menyebabkan aku menjadi seorang perawan tua. Ya, ini karena kecintaanku kepada Mas Ris begitu besar.
Di sebuah malam, setelah kuselesaikan beberapa pesanan jahitan, aku duduk sendiri di dalam kamarku. Siapa lagi yang hendak kupikirkan kalau bukan Mas Ris. Ketika pikiran semakin menjamah sosok seorang Rismanto, maka jiwaku seperti melayang kembali pada masa-masa kebersamaan kami dulu. Beribu kenangan bersamanya, tak ada satupun yang bisa pergi dari ingatanku. Aku benar-benar merasa kehilangan kekasihku itu. Aku bahkan tidak tahu di manakah dia sekarang, apakah ditangkap oleh polisi atau ia telah terbunuh oleh musuh-musuhnya sesama preman. Entahlah. Telah kuserahkan semua urusan ini kepada yang di atas sana.
Ah, sebenarnya pikiran ini tidak ingin membayangkan hal itu lagi. Aku tidak ingin hatiku tersedu oleh sedih ini. Aku tidak ingin jiwaku mengembara pada ladang berkabut lantas aku tercekat oleh kesamaran cahaya yang membuatku menjadi orang paling bingung sejagat raya. Akan tetapi, semakin kuat aku menjauh dari pikiran itu, semakin kuat pula bayangan itu bertahan dalam perasaanku.
Aku sadar, bahwa aku tidak bisa menghindar terhadap pikiran ini. Lama- kelamaan, tiba-tiba ada percampuran antara sedih dan rasa takut yang hadir dalam diriku, lantas menggelayut tak seimbang dalam jiwaku. Ketakutan yang kurasakan, adalah rasa takut jika Mas Ris benar-benar terbunuh. Airmataku mulai berlinang menaburi kelopak mataku. Selang beberapa saat kemudian, air itu sudah terjatuh, membasahi kedua pipiku.
Dalam kesunyisunyatan yang mencekam ini, rasa perasaanku menembus tirai jarak nun jauh dari pelupuk mata, melayang-layang seolah berhasrat menggapai cakrawala, seirama desir angin malam yang terbangkan hamparan dedaunan nan tercerai dari rerantingnya menuju satu arah, mengikuti desir angin yang sedang begerak menuju ke sebuah pemilik hati yang sedang kurindui.
Ya, pada akhirnya penglihatan hatiku berujung pada sosok Mas Ris juga. Aku merindukan kata-kata lembut dari pemuda bertampang sangar itu. Aku masih ingin melihat ketulusan, saat cahaya matanya memancar hangat lalu membuat hatiku menjadi tenteram. Aku rindu dengan keluguan yang ada di balik sikap kerasnya, ketika ia selalu meminta agar aku mau menikah dengannya. Aku masih berat untuk mengikhlaskannya. Sampai sekarang, detik ini, aku masih gemar sekali memutar rekaman wajah kekasihku itu.
* * *
Hari ini genap tiga belas tahun aku hidup dalam penantian cinta. Dalam jelang panjang kesendirianku, sudah ada tujuh pria yang pernah mengungkapkan kesukaannya kepadaku, bahkan lima diantara pria-pria itu berbicara blak-blakan bahwa mereka ingin melamarku. Sejak beberapa tahun belakangan, semakin banyak pula para kerabat dan orang-orang yang mengataiku sebagai perempuan yang naif, namun aku tidak pernah merasa bahwa diriku adalah seorang yang naif. Begitupun ketika para tetangga mulai mempergunjingkanku dan menyebutku sebagai perempuan gila, aku pula tetap teguh pada pendirianku, menunggu kebenaran cintaku. Aku hanya berpegang kepada prinsipku sendiri. Aku sering menyebut apa yang aku lakukan ini sebagai kesabaran seorang manusia dalam menanti cinta yang sejati.
Entah kenapa, walau di hadapan orang-orang kini aku mengemban julukan sebagai perawan tua, namun aku tidak pernah merasa gelisah. Aku tetap tenang dan membiarkan gunjingan serta ejekan dari orang-orang sebagai angin lalu. Salah satunya yang sering mengataiku adalah Bu Hastuti, seorang tetanggaku yang masih mempunyai hubungan kekerabatan denganku, meski aku tidak tahu persis bagaimana silsilah kekerabatan kami. Ia sering berkata kepadaku bahwa aku sudah kehilangan akal sehat, kurang waras.
Dari dulu aku selalu mengiyakan di mulut mengenai perkataan Bu Hastuti dan orang-orang lain, walau di hatiku tersimpan jawaban yang lain. Namun itu dulu, sebelum kini ada kejutan besar yang aku temui. Kejutan apakah itu? Ini sebuah kejutan besar. Barangkali ini adalah ujung dari pembelaanku atas diri sendiri, ujung dari usahaku menanti cinta sejati.
Beberapa jam lalu aku menerima kabar dari Bu Hastuti bahwa Mas Riswanto sudah pulang. Dan aku sangat senang. Di dalam hati aku menertawakan Bu Hastuti dan orang-orang yang selama ini menganggap penantianku sebagai penantian yang gila,
“Sekarang kalian pasti akan menilai kerja kerasku selama ini sebagai usaha yang berhasil,“ kataku dalam hati. “Aku selalu meyakini bahwa suatu saat Mas Ris akan pulang untuk menikahiku, dan kini itu terbukti.“ Hatiku masih tak berhenti bergembira.
Akan tetapi kegembiraanku tidak berlangsung lama saat tiba-tiba Bu Hastuti berkata,
“Mungkin mulai saat ini kamu akan benar-benar menjadi perempuan yang gila. Sia-sia kau memilih menjadi perawan tua, sedangkan apa yang kau dapat kini justru melukai pilihanmu sendiri.“
Aku menelan ludah ketika Bu Hastuti berbicara seperti itu kepadaku. Aku menyangka kalau Bu Hastuti hanya ingin mempercandaiku saja.
“Rismanto pulang dengan membawa istri dan kedua anaknya,“ lanjut Bu Hastuti.
Bagai terbawa badai yang besar, pikiranku segera tercekat dan mati. Mendengar informasi itu, mungkin beberapa kali hembusan nafas lagi, seorang Heni Listyarani benar-benar menjadi perawan tua yang gila.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H