Aku berjalan tertatih, baru saja pulang dari lingkaran mimpi, dan namamulah yang tereja dalam bisikan bibirku. Padahal segalanya sedang pekat terasa, segala irama terdengar seperti bisikan para iblis yang berpentas di panggung orkestra. Namun keherananku adalah ketika mata belo dan kening lebarmu tiba-tiba yang nampak, susunan abjad namamu lah yang terangkai di sekitar otakku. Aneh bukan?
Aku dan kamu pernah tinggal dalam satu rumah yang begitu indah, rumah itu bernama persahabatan. Tetapi semenjak pertengkaran kita dulu, barangkali waktu telah mengutuk kita sebagai sepasang sosok yang berada pada jalan tanpa tepi, pada dua buah titik yang saling ragu, atau kini kita hanya sebatas legenda yang hampir terlupa, yang disembunyikan dalam sebuah kurungan waktu yang bersifat sangat rahasia.
Bisa jadi juga rumah cinta kita yang dulu sudah terbangun kini telah terhuni oleh ribuan semut, menjadi kandang ular, atau tempat persembunyian tikus mungkin? Aku tidak mau begitu memikirkannya. Toh rumah persinggahan itu sudah lama kita sia-siakan, kita tinggalkan, sampai kita lupa mengambil ribuan arti yang tersimpan di sana, sampai kita lupa mengemasi seragam kasih yang pernah kita kenakan bersama, atau bahkan kita justru menelantarkan rumah itu, membiarkan seluruh ruangnya berdebu.
Ah, sahabatku. Segalanya menjadi berubah ketika diriku dan dirimu ditiadakan dari sebuah kotak bernama persahabatan. Dulu aku pernah bilang kepadamu, perbedaan di antara kita seharusnya tidak menjadi dinding penjara, yang mengurung kita pada ruang ambisi, menempatkan kita pada harapan yang membabi buta, di mana harapan itu justru mencengkeram jantung kita, melemparkan tubuh kita masih-masing pada sebuah jurang yang asing, dan kita jadi sulit bertemu.
Aku masih ingat kata-katamu saat itu; Aku ingin berjalan sendiri. Sebab kita sudah tidak lagi sehati. Kamu suka rujak yang pedas, sementara aku alergi dengan cabai. Aku suka martabak, sedangkan penyakit gatalmu akan kambuh jika kau mengkonsumsi telur.
Aku yakin, jika saat itu kita bisa saling memahami, maka saat ini dan saat nanti kita masih berjalan bersama, mengejar impian yang sudah kita petakan sejak lama, yang sering kita bicarakan di bawah pohon cemara itu. Aku percaya kau tidak akan pernah lupa dengan semua yang telah kita lewati bersama; perjuangan kita, tawa dan air mata yang tertumpah seiringan, perkelahian masa kecil kita ketika berebut layangan yang putus itu.
Kau ingat di senja itu kita bersama mencandai pelangi; peri bersayap turun pelan-pelan ke sungai yang damai dan kita mengintipnya saat para peri itu sedang mandi. Atau ketika pada suatu malam kita sering mendengar deru ombak bersama; kau saat itu bernyanyi tentang lagu kehidupan, nada-nada indah tercipta seperti sebuah nada magis yang membangkitkan jiwa dan aku lebih suka menjadi pendengar setiamu. Semua ingatan itu adalah gumpalan-gumpaan halus yang seharusnya membuat kita merasai kembali, membuat kita paham bahwa kita pernah menyimpan kenangan yang indah selama bertahun-tahun.
Ah, sahabatku. Merasakan keadaan ini, aku jadi sesak. Kita bagai dua raga yang disatukan oleh kenangan dan dipisahkan oleh alasan masa muda yang begitu naïf. Kita bagai dua nyawa yang disampirkan di masing-masing ujung tali penghubung dua kutub bumi, dimana kerinduan kita akan selalu membeku dan entah sampai kapan cahaya mentari akan menyeret kita untuk tersampir secara berdampingan.
Ah, sahabatku. Kuharap ada waktu yang bisa mempertemukan kita lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H