Saya baru mengenal kata SJW mungkin di awal tahun 2018 lalu, melalui berbagai cuitan di Platform Media Sosial Twitter. Penasaran, kemudian mencari tahu apa sih SJW itu.
Awalnya saya percaya betul bahwa SJW itu memang memiliki konotasi positif. Dari akronim nya saja sangat mentereng "Sosial Justice Warriors".Â
Pejuang keadilan sosial, beuh, luar biasa bukan. Keadilan sosial yang saya pahami waktu itu karena sering membaca cuitan-cuitan akun yang digelari SJW, berkisar pada masalah lingkungan, persamaan gender hingga kepedulian terhadap ketidakadilan di masyarakat.
Ya bagus dong, idealnya setiap orang di dunia ini harus jadi SJW kalau memang tujuan dan tindakannya seperti itu.
Kemudian saya coba search melalui peramban Google, untuk mengetahui apa sebenarnya SJW dan bagaimana kiprah mereka di kehidupan nyata.
Menurut Wikipedia, istilah SJW muncul di Twitter mulai tahun 2011. Definisinya kurang lebih seperti ini, "sebuah istilah peyoratif bagi seseorang yang mengusung  pandangan progresiveme sosial, termasuk di dalamya feminisme, hak sipil, multikulturisme, dan politik identitas".
Seharusnya, jika yang diusung adalah hal-hal positif seperti itu tak perlu juga ada suara-suara sumbang untuk para SJW ini. Karena kata "peyoratif" di awal kalimat itu memiliki arti yang kurang elok.
Peyoratif atau peyorasi dalam bahasa Indonesia menurut situs Dosenbahasa.com memiliki arti perubahan makna pada suatu kata, dimana makna yang telah mengalami perubahan tersebut menjadi lebih buruk dari makna sebelumnya.
Dengan mengacu pada kata peyorasi tersebut, maka makna SJW sebenarnya lebih buruk dari kenyataan yang sebenarnya.
Sebagaian pihak malah menganggap SJW hanya mampu menggonggong tak pernah menggigit. Jadi tataran kerjanya hanya dalam wacana saja bukan aksi nyata.
Mereka hanya sibuk mencari pembenaran diri, bukan yakin terhadap pandangan yang mereka miliki. Mereka hanya pura-pura ikut terlibat dan sibuk berdebat.