Setelah lebih 2 dekade gerakan mahasiswa sepertinya tertidur lelap, disesaki mimpi-mimpi digital. Dalam beberapa hari belakangan mereka seolah terbangun dari tidur lelapnya, tak terduga sebelumnya tiba-tiba menggeliat, berbagai aturan yang  dianggap tak memihak rakyat, sedianya akan disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membangunkan hibernasi  gerakan mahasiswa.
Gerakan masif berupa aksi demontrasi turun ke jalan dihampir seluruh kota besar di Indonesia menandai geliat mereka. Yang agak berbeda hanya isu yang mereka bawa.Â
Tak ada urusan dengan turun menurunkan Presiden, seperti pada saat reformasi 98, aturan berupa Undang-Undang yang dianggap tak sesuai dengan semangat reformasi  kali ini menjadi keprihatinan mereka.
Terdapat hal baru lain dalam aksi  kali ini, siswa-siswa Sekolah Menengah pun ikut terlibat di dalamnya. Walau mereka sejatinya tak terlalu memahami apa yang mereka suarakan, namun paling tidak memiliki semangat kepedulian terhadap kondisi bangsa ini.
Anggapan bahwa generasi milenial dan Gen Z itu cenderung egois dan hanya mencari kenyamanan dalam hidupnya, sepertinya mulai terkikis. Mereka peduli terhadap kondisi bangsa yang sedang peluk oleh oligarki politik.Â
Mereka mulai menampakan diri karena kegelisahan saat menyaksikan betapa rentetan masalah bangsa ini bak antrian sembako tak kunjung usai.Â
Kasus Papua, Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) dan puncaknya urusan Capim KPK dan Revisi UU KPK yang kemudian ditingkahi dengan berbagai RUU lain, seperti RKHUP, RUU Pemasyarkatan, RUU Sumberdaya Air, RUU Pertanahan, RUU PKS dan beberapa RUU lain yang saat itu segera akan disahkan oleh anggota dewan yang terhormat saat injury time periode jabatannya.
Tanpa sosialisasi, tanpa komunikasi terkesan sembunyi-sembunyi bak penyelundup narkoba. Padahal yang akan DPR sahkan itu adalah aturan-aturan yang akan langsung bersentuhan dengan masyarakat setiap harinya. Kehidupan privat diobrak-abrik, kebebasan berpendapat berpotensi diberangus.Â
Perwakilan Rakyat itu berkilah mahasiswa tak paham benar soal itu, dan RUU ini tidak dibuat ujug-ujug sudah melalui proses panjang dan lama (kaya iklan choki-choki).Kenyataannya mahasiswa saja yang memiliki akses informasi yang baik tak memahami, apalagi masyarakat luas.Â
Menyikapi demonstrasi Mahasiswa dan elemen masyarakat lain  dengan sigap pemerintah dan pihak keamanan bertindak tegas. Sampai saat tulisan ini dibuat 2 Mahasiswa meninggal dunia, 1 orang luka berat dan tak terhitung luka ringan. Pendekatan kekerasan atas aksi unjuk rasa mahasiswa oleh pihak keamaanan ini saya nilai sangat berlebihan.Â
Berbeda sekali pada saat polisi menangani aksi unjuk rasa terkait pilpres 2019 kemarin. Mereka terlihat sangat hati-hati sekali, entah apa alasannya. tak cukup sampai disitu, pihak Pemerintah kemudian menuduh bahwa aksi mahasiswa ini ditunggangi.Â
Hal ini disebutkan oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Wiranto. Â Ia menuturkan, penunggang aksi demonstrasi tersebut bertujuan menggagalkan pelantikan anggota DPR/MPR/DPD dan Presiden serta Wakil Presiden pada Oktober nanti. Dengan adanya kerusuhan, maka nantinya pemerintah akan memiliki citra yang buruk dengan adanya demonstrasi berujung rusuh.Â
"Tujuan akhirnya adalah menggagalkan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih," ucap Wiranto dalam konferensi pers di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Kamis (26/9/2019)kemarin, seperti yang dikutip dari Inews.id.
Narasi-narasi kontraproduktif seperti ini rasanya sudah kudet. Teringatnya saya kata "ditunggangi" ini lancar disebutkan oleh orang yang sama 21 tahun lalu.Â
Saat reformasi 98 terjadi, saya yang saat itu masih berstatus mahasiswa, dan kebetulan ikut berdemo menduduki gedung DPR. Padahal tak ada satu pun yang menunggangi kami saat itu, yang menungangi kami saat itu adalah "Rakyat", tak ada yang lain.
Saya pikir seiring perubahan jaman cara negara menghadapi demonstrasi akan berubah, ternyata sama saja. Menggunakan kekerasan hingga 2 orang mahasiswa meninggal di Kendari Sulawesi Tenggara kemudian label ditunggangi dilekatkan kepada mahasiswa yang berdemonstrasi.Â
Kenyataan dilapangan itu tak ada seperti itu, disusupi mungkin saja terjadi, karena akan sangat sulit mengontrol ribuan orang seperti itu meskipun strukturnya sudah dibuat serapi mungkin.Â
Seharusnya pendekatan yang dilakukan keamanan itu berubah, lebih humanis dan mengedepankan dialog. Bukan memframing seolah-olah mahasiswa itu ditunggangi untuk kemudian dicitrakan salah. Sebaliknya Polisi dan Negara adalah pihak yang innocent.
Tiba saatnya Jokowi untuk mengganti pejabat-pejabat yang bertanggungjawab terhadap kejadian ini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H